Kopi TIMES

Doa yang Pergi, Penolong bagi yang Tinggal

Kamis, 15 Mei 2025 - 21:12 | 33.05k
Bernadette Meini Lestari M., Guru Perkumpulan Strada Mahasiswa S2-Pendidikan Bahasa Inggris-Universitas Tidar Magelang
Bernadette Meini Lestari M., Guru Perkumpulan Strada Mahasiswa S2-Pendidikan Bahasa Inggris-Universitas Tidar Magelang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MAGELANG – Kematian adalah satu-satunya kepastian dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Dan kehilangan seseorang yang dekat dengan kita meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.

Beberapa waktu lalu, saya mengalami kehilangan itu secara langsung. Seorang teman sekantor yang tempat duduknya tak jauh dari saya, perlahan mulai melemah.

Advertisement

Dari balik meja kerja, saya menyaksikan tubuhnya makin hari makin lelah berjuang. Kami, rekan-rekan di kantor, mencoba menyarankan untuk opsi pengobatan medis. Namun ia memilih pengobatan alternatif yang menurutnya lebih sesuai dengan keyakinannya. 

Sayangnya, kondisi ginjalnya terus memburuk. Rambutnya rontok, kulitnya menggelap, dan tubuhnya membengkak. Meski begitu, ia tetap menunjukkan semangat untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.

Hingga suatu hari, ia tak lagi mampu berjalan dan harus dirawat di ruang ICU. Dalam kondisi tak sadar dia harus menjalani cuci darah. Namun, takdir berkata lain. Tiga minggu kemudian, kabar duka itu datang. Ia telah berpulang.

Yang paling menyakitkan bukan hanya kehilangan, tetapi juga penyesalan. “Mengapa ia tidak mendengarkan kami?” Dalam keheningan malam setelah kabar itu datang, saya hanya bisa menangis. 

Saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah saya sudah cukup peduli?” Lalu saya berdoa. Dalam doa yang saya panjatkan, saya mencurahkan semua emosi: sedih, marah, kecewa, bahkan amarah yang tidak tahu ditujukan kepada siapa.

Doa merupakan ruang untuk berbicara langsung dengan Tuhan. Dan dalam momen itu, manusia merasa didengarkan. Tanpa penghakiman. Doa menjadi tempat aman bagi setiap orang untuk meluapkan kesedihan, sekaligus mulai menerima kenyataan yang tidak bisa dirubah.

Banyak orang mengira doa hanya bentuk penghormatan terakhir, semacam ucapan perpisahan spiritual bagi jiwa orang yang pergi. Namun ternyata itu keliru. Doa itulah yang menyelamatkan.

Doa membuat manusia menjadi tenang, membantu berhenti menyalahkan keadaan, dan menerima bahwa hidup ini seringkali berjalan di luar kendali kita.

Doa menjadi jembatan antara kegelisahan dan keikhlasan. Ia menghubungkan rasa kehilangan dengan kekuatan untuk terus melangkah. Bukan karena duka itu menghilang, tetapi karena melalui doa, manusia bisa menatapnya dengan lebih tenang.

Dalam bukunya Handbook of Religion and Health (2001), Dr. Harold G. Koenig, seorang psikiater dan pakar spiritualitas dalam kesehatan, menjelaskan bahwa praktik keagamaan seperti doa dapat memberikan makna hidup, harapan, dan ketenangan bagi mereka yang sedang berduka. 

Ia menyebut bahwa religious coping, atau penanggulangan stres berbasis agama, seperti doa, terbukti secara ilmiah dapat mengurangi stres emosional akibat kehilangan dan membantu proses penyembuhan psikologis. “Religious coping, such as prayer, can significantly lower grief-related stress and contribute to psychological healing,” tulis Koenig.

Doa bukan semata-mata penghantar bagi jiwa yang telah tiada. Doa juga penolong bagi mereka yang ditinggal. Di tengah dunia yang riuh dan tak pasti, doa memberi ruang sunyi untuk kita berdamai. Ia menjadi cara paling murni untuk menyentuh kembali kenangan dengan kasih, bukan dengan luka.

Secara psikologis, tindakan mendoakan orang yang sudah meninggal termasuk dalam mekanisme coping atau penanggulangan stres emosional. Ketika kita berdoa, sesungguhnya kita sedang memproses kesedihan, mengubahnya menjadi kasih sayang yang paling dalam. Doa bukan hanya ucapan, tetapi juga tindakan penerimaan yang tulus.

Setiap orang yang berduka membutuhkan jalannya sendiri untuk berdamai. Bagi saya, doa adalah jalan itu. Bukan karena ia menawarkan jawaban, tetapi karena ia memberi ruang untuk mengajukan pertanyaan tanpa takut dihakimi. Bagaimana dengan anda?

Kepergian memang menyakitkan, tapi bukan akhir dari segalanya. Karena selama doa masih kita panjatkan, dan kenangan masih kita peluk, kasih itu tetap hidup.

***

*) Oleh : Bernadette Meini Lestari M., Guru Perkumpulan Strada Mahasiswa S2-Pendidikan Bahasa Inggris-Universitas Tidar Magelang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES