
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hari-hari ini gedung Mahkamah Konstitusi (MK) selalu berantrean para tamu. Mereka ramai-rami bermunculan untuk menggugat Undang-Undang (UU) hasil kinerja antara DPR dan pemerintah. Setidaknya, berkas yang masuk per Mei 2025 sudah mencapai 167 permohonan Pengujian UU.
Seabrek permohonan tersebut memperlihatkan betapa kinerja DPR dan pemerintah pada akhirnya memaksa MK menjadi semacam ‘DJ konstitusi’ yang terus di-request untuk mengacak ulang hukum nasional. Bahkan MK harus menjadi ‘tukang tambal’ dari sistem legislasi yang tidak cermat, sarat kepentingan, dan nir-partisipasi.
Advertisement
Meskipun kita tahu salah satu fungsi MK adalah melakukan tugas-tugas itu, tetapi praktik legislasi yang kotor justru terus mencerminkan kemelut moralitas yang tiada habisnya. UU yang telah disahkan terus menimbulkan reaksi negatif dari publik sehingga permohonan demi permohonan harus diterima dan disidangkan ulang.
Di waktu yang sama, emak-emak pelaku usaha rumahan resah dan turut bersuara, aktivis turun ke jalan, dan sebagian akademisi harus siap siaga di kampus maupun hadir di tengah masyarakat memberikan edukasi. Tapi ironisnya, mengapa hal ini tidak membuka ruang kesadaran bagi DPR dan pemerintah?
Mungkin untuk memahami kedalaman dari fenomena ini, kita bisa menjelajahi tiga pemikir yang memberikan dimensi berbeda tetapi korelasinya saling menguatkan.
Misalnya dalam Taking Rights Seriously (1977), Ronald Dworkin menolak hukum yang bersifat positivistik. Baginya, hukum harus dibangun di atas prinsip moral dan penghormatan terhadap hak-hak fundamental, sebab tanpa itu produk hukum kehilangan prinsip etiknya.
Sebelum itu, Roberto M. Unger juga pernah memberi perspektif yang agak progresif. Dalam Law in Modern Society (1976), filsuf kelahiran Brazil ini menegaskan bahwa hukum tidak boleh berdiri tegak mendukung status quo, tetapi harus mampu memperkuat perlindungan yang setara termasuk kepada rakyat miskin. Di Indonesia, perspektif ini masih jauh panggang dari api, banyak UU justru dibentuk untuk mendukung jaringan kekuasaan elite.
Demikian Jurgen Habermas juga pernah mengangkat diskursus terkait fenomena ini. Lewat buku Between Facts and Norms (1996), Habermas menekankan pentingnya legitimasi hukum yang lahir dari proses deliberatif, harus melalui proses yang terbuka, inklusif, dan berbasis dialog rasional antara pembuat kebijakan dan masyarakat.
Konsep Habermas ternyata bertolak belakang dengan dinamika politik hukum Indonesia saat ini, RUU disahkan dalam waktu yang sangat cepat, meniadakan ruang dialog, bahkan masukan ahli kerap dianggap tidak bernilai.
Proses pembentukan legislasi semacam ini memang tidak paralel dengan konsep deliberasi Habermas. Akibatnya kita sebagai warga negara biasa selalu bertanya: kalau sudah disahkan, bakalan diributkan lagi, nggak, ya?
Karena itu, pemikiran Dworkin, Unger, maupun Habermas, sangat perlu untuk menjadi pandu dalam transformasi hukum nasional kita. Meski demikian, bagaimana dorongan untuk memperbaiki sistem sebagaimana diuraikan ketiga pemikir di atas berhasil mengubah pola pikir pemangku kebijakan bebas dari kepentingan sesaat?
Apapun itu, pemikiran di atas menantang kita untuk mencari jalan keluar untuk mereposisi hukum dalam masyarakat modern bukan sekadar sebagai sistem aturan yang dibentuk mengabaikan suara publik, melainkan sebagai cerminan nilai dan karakteristik ber-hukum yang benar-benar autentik.
Sebenarnya, bahaya akan ketidakberesan dalam urusan legislasi sudah diingatkan dari abad-abad sebelumnya, bahkan sebelum republik ini terbentuk. Montesquieu melalui buku The Spirit of the Laws (1748), telah memberi peringatan serius kepada kekuasaan legislatif agar tidak diperalatkan oleh kekuasaan lain yang hendak mendominasi kepentingan rakyat.
Demikian, Jeremy Bentham dalam An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789), mengingatkan supaya hukum yang dibuat harus bermanfaat bagi masyarakat luas. Prinsip utilitarian yang dicetuskannya merupakan roh UU yang fleksibel dengan satu keadaan ke keadaan tertentu dalam masyarakat.
Dari landasan pemikiran di atas bukan sekadar kekhawatiran akademik abstrak semata, tetapi itu adalah suara keras yang berulang kali kita gaungkan secara kolektif, termasuk para ahli hukum tata negara Indonesia yang datang dari latar kampus yang berbeda-beda.
Bivitri Susanti, Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar, dan sejumlah pakar lain di bidang yang sama berulang kali mengingatkan pembentukan UU bukan hanya soal prosedur, tapi juga menyangkut legitimasi moral. Di mana-mana, di berbagai forum, mereka memberi edukasi kepada publik, termasuk tidak ada habis-habisnya mengoreksi kinerja pemerintah dan DPR.
Meski begitu, kenyataannya semua produk legislasi terus bermasalah. Zalim secara substantif. Maka wajar jika publik terus bertanya: mengapa hal ini tidak membuka ruang kesadaran bagi DPR dan pemerintah, mungkin harus diubah: kalau hukum terus dibuat dengan cara amburadul, lalu diuji dan dibatalkan berkali-kali, siapa sebenarnya yang patut diuji?
Kalau jawabannya adalah DPR dan pemerintah, maka publik berhak menuntut akuntabilitas lebih dari sekadar sidang paripurna dan jumpa pers. Dan, tuntutan itu selain pada seruan untuk turun ke jalan dan melalui diskursus publik, juga harus berlabuh ke MK sebagai lembaga yang kita posisikan sebagai penebus dosa legislator yang gagal.
Tapi bagaimana jika MK juga menjadi lembaga yang tidak mencerminkan prinsip kemandirian, berpihak, dan dan tidak independen? Kita akan bicarakan itu nanti.
***
*) Oleh : Igrissa Majid, Alumni STHI Jentera.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |