Kopi TIMES

Pendidikan dan Masalah Struktural Pengangguran

Sabtu, 17 Mei 2025 - 19:48 | 17.27k
Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI
Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah semangat pembangunan ekonomi dan visi besar 2045, pendidikan nasional sering digadang-gadang sebagai solusi utama bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Namun, realitas sosial-ekonomi hari ini menunjukkan paradoks yang mencolok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia berada pada angka 4,76%, atau sekitar 7,28 juta orang. 

Kendati tampak menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, data ini menyimpan ironi: mayoritas penganggur berasal dari kelompok usia muda dan lulusan pendidikan formal. Di sinilah letak kontradiksi mendasarnya: pendidikan dijanjikan sebagai gerbang masa depan melalui pekerjaan, tetapi justru melahirkan generasi frustrasi sebagai kaum pengangguran.

Advertisement

Pendidikan pun seakan kehilangan ruh dan arah, serta menjadi ‘institusi’ yang gagap menjawab realitas sosial. Alih-alih menjadi alat emansipasi, ia beralih menjadi sarana reproduksi ketimpangan sosial. Banyak lulusan tidak mampu terserap ke dalam dunia kerja bukan semata karena kualitas individu, melainkan karena sistem yang timpang dan tidak menyediakan ruang kerja yang layak. Dalam perspektif filsafat kritis, fenomena ini dapat dibaca sebagai kegagalan struktural—bukan individual—dari relasi kuasa dalam sistem pendidikan dan ekonomi.

Paradoks ini menuntut refleksi ulang secara radikal. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan individu atau menyarankan “menyesuaikan diri dengan pasar kerja,” sebab pasar itulah yang perlu dikritik. Pendidikan tidak boleh berhenti pada fungsi instrumental sebagai penghasil tenaga kerja, tetapi harus menjadi arena pembentukan subjek merdeka yang sadar akan realitas dan mampu mengubahnya.

Menyoal Politik Pendidikan

Dalam kacamata filsafat kritis, khususnya pemikiran Paulo Freire (1970), pendidikan tidak pernah netral. Ia adalah alat politik—baik sebagai alat pembebasan maupun penindasan. Dalam konteks Indonesia, pendidikan masih cenderung direduksi menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, bukan sebagai ruang pengembangan manusia seutuhnya. 

Kurikulum kerap dikendalikan oleh logika industri; siswa dilatih bukan untuk berpikir kritis, tetapi untuk patuh dan dogmatis. Negara, dalam hal ini, malah berfungsi sebagai agen ideologis yang mereproduksi sistem kapitalisme global melalui kebijakan pendidikan—yang masih jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan.

Bentuk paling kentara dari politik pendidikan ini adalah orientasi vokasional yang menempatkan SMK sebagai penyuplai utama tenaga kerja. Namun, menurut data BPS per Februari 2025, lulusan SMK justru menempati posisi tertinggi kedua dalam tingkat pengangguran setelah lulusan SMA. 

Secara khusus per Februari 2025, angkatan kerja tamatan SMA dan SMK masing-masing sebanyak 32,12 juta orang (20,99 persen terhadap total angkatan kerja) dan 20,35 juta orang (13,30 persen) (Kompas, 16/5/25). Ini menandakan kegagalan mendasar dari logika “link and match” yang selama ini dijunjung tinggi. Apa yang gagal bukan hanya kebijakan teknis, melainkan ‘ideologi’ di baliknya—yakni anggapan bahwa pendidikan harus tunduk pada kebutuhan pasar.

Filsafat kritis menantang asumsi ini dengan menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak mengabdi pada pasar, melainkan pada transformasi sosial. Freire (1970) menyebutkan bahwa pendidikan adalah praksis pembebasan: tindakan reflektif-kritis dan berkesadaran penuh untuk mengubah dunia yang lebih baik. 

Maka, ketika pendidikan hanya mencetak “manusia pasar,” ia telah kehilangan watak kemanusiaannya. Secara mendesak, kita butuh ketegasan politik pendidikan yang berbasis pada kesadaran kritis, keadilan sosial, dan penghormatan terhadap pengembangan kualitas manusia.

Membaca Masalah Pengangguran

Lebih lanjut, masalah pengangguran sering kali disederhanakan menjadi isu kurangnya keterampilan, minimnya etos kerja, atau mismatch antara lulusan dan kebutuhan industri. Namun, pendekatan semacam ini justru mengaburkan akar persoalan: yakni kegagalan struktural dari sistem ekonomi-politik kita. 

Dalam hal ini filsafat kritis mengajukan analisis yang lebih tajam: pengangguran adalah produk dari relasi produksi kapitalistik yang menjadikan manusia semata-mata sebagai komoditas.

Data BPS Februari 2025 menunjukkan bahwa meski TPT secara umum menurun, jumlah penganggur muda tetap dominan. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan pendidikan formal, khususnya tingkat menengah ke atas. Fenomena ini tidak bisa dipahami hanya dari sisi kurikulum atau kualitas lulusan. 

Ia harus dibaca sebagai konsekuensi dari sistem ekonomi yang tidak inklusif, yang gagal menciptakan lapangan kerja bermutu dan berkeadilan. Dengan kata lain, ada jarak antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang tidak bisa dijembatani hanya dengan gelar, pelatihan, atau sertifikasi.

Sistem ekonomi neoliberal yang dianut sejak reformasi menekankan privatisasi, fleksibilitas tenaga kerja, dan deregulasi. Konsekuensinya, ketidakpastian kerja (precarity) menjadi norma baru. Banyak ditemukan lulusan bekerja di sektor informal atau sebagai gig-workers dengan upah rendah dan tanpa perlindungan hukum. 

Ini bukan sekadar masalah ekonomi, akan tetapi juga soal etika dan keadilan sosial. Jika pendidikan justru menjerumuskan lulusan ke dalam jerat kemiskinan baru, maka kecurigaan yang kemudian patut dipertanyakan: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh sistem ini?

Oleh karena itu, pengangguran bukan sekadar soal statistik. Ia adalah krisis eksistensial dan politik. Para penganggur adalah korban dari sistem yang meminggirkan manusia demi akumulasi modal. Kita mesti berani melihat fenomena pengangguran sebagai bentuk kekerasan struktural yang menuntut perubahan radikal dalam struktur sosial dan orientasi pendidikan.

Menakar Masa Depan

Di tengah situasi yang suram ini, harapan masih tetap bisa ditumbuhkan jika kita berani membayangkan ulang masa depan pendidikan. Filsafat kritis menawarkan arah baru: menjadikan pendidikan sebagai praksis pembebasan. 

Artinya, pendidikan kembali difungsikan untuk perubahan sosial, melalui ruang dialektika—antara realitas dan kemungkinan alternatif, antara ketertindasan dan pembebasan. Di sinilah peran guru, sekolah, dan institusi pendidikan berubah: bukan sebagai agen pengabdi sistem, melainkan fasilitator kesadaran kritis.

Masa depan pendidikan tidak bisa bergantung pada industrialisasi dan otomasi semata. Kita butuh pengukuhan paradigma yang memosisikan manusia bukan sebagai objek pasar, tetapi sebagai subjek sejarah. 

Pendidikan harus mampu meretas batas-batas struktural dan membuka ruang bagi ‘imajinasi sosial’ yang membebaskan diri dari pembodohan. Kurikulum perlu dirombak untuk membangun nalar kritis, etika kolektif, dan kepekaan sosial. Hal-hal ini tidak bisa diajarkan lewat modul kompetensi teknis, tetapi melalui dialog, seni, sejarah, dan filsafat.

Revolusi pendidikan harus dimulai dari kesadaran bahwa tujuan akhir pendidikan bukanlah pekerjaan, tetapi kemanusiaan. Pendidikan yang membebaskan akan mampu melampaui persoalan pekerjaan dan secara simultan memberdayakan individu untuk menciptakan makna hidupnya sendiri. 

Karenanya, pendidikan harus berani melampaui logika utilitarian dan kembali menjadi kekuatan transformasi sosial secara berkelanjutan. Hanya melalui pendidikan yang membebaskan, kita bisa menyalakan kembali api harapan akan manusia Indonesia yang lebih baik—sejak dalam pencerahan pikiran maupun praksis kehidupan.

***

*) Oleh : Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES