Kopi TIMES

Ketika Suara Menjadi Ancaman: Dampak Battle Sound Horeg dari Kapal terhadap Ekosistem di Laut

Senin, 19 Mei 2025 - 12:00 | 21.36k
Citra Satrya. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan. Universitas Brawijaya
Citra Satrya. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan. Universitas Brawijaya
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Laut selama ini kita bayangkan sebagai ruang tenang tempat paus bernyanyi, udang snapping bertepuk dengan presisi, dan gelombang menyapu pantai dalam kesunyian. Tapi kenyataan semakin berbeda. Di balik biru yang damai, kini tersembunyi ancaman yang tak terlihat, tak selalu terdengar oleh manusia, namun sangat nyata bagi kehidupan bawah laut: polusi suara.

Salah satu bentuk polusi suara terbaru yang luput dari perhatian adalah “battle sound horeg”, musik berdentum keras yang diputar dari atas kapal wisata atau pesta laut. Suara ini tidak hanya mengganggu kenyamanan sesama manusia di laut, tetapi juga menembus batas medium dan ikut menginvasi dunia akuatik di bawah permukaan.

Advertisement

Tingkat kebisingan sound horeg bisa mencapai 135 desibel (dB) di udara. Sebagai perbandingan, suara paus bisa mencapai 180 dB, dan koloni udang snapping bahkan dapat menghasilkan suara hingga 189 dB di bawah air—menjadikannya suara biologis terkeras di lautan.

Namun penting untuk dipahami bahwa pengukuran desibel di udara dan di bawah air menggunakan referensi tekanan yang berbeda (udara: 20 µPa, air: 1 µPa). Oleh karena itu, secara teoritis, suara 135 dB di udara dapat setara dengan sekitar 161 dB re 1 µPa di dalam air, akibat perbedaan impedansi medium (Putu & Beu, 2018).

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa suara dari udara akan mengalami attenuasi (penurunan intensitas) ketika memasuki air. Ini disebabkan oleh perubahan medium, refleksi permukaan, dan kondisi fisis seperti suhu, salinitas, serta tekanan air. Akibatnya, meskipun secara teoritis setara 161 dB, suara yang benar-benar dirasakan oleh organisme laut bisa berkisar antara 115–125 dB, tergantung pada faktor lingkungan (Putu & Beu, 2018; Rustamaji et al., 2018).

Suara adalah gelombang mekanik yang membutuhkan medium untuk merambat. Di air, suara merambat lebih cepat (sekitar 1500 m/s) dibandingkan di udara (~343 m/s), yang menyebabkan gelombang suara, terutama frekuensi rendah seperti dari sound horeg, dapat menempuh jarak yang sangat jauh. Gelombang suara ini sulit teredam dan bisa mempenetrasi lapisan laut yang dalam (Winanta et al., 2022).

Di sisi lain, suara biologis seperti paus dan udang snapping meskipun keras, bersifat alami dan memiliki pola yang dikenali serta dapat diantisipasi oleh organisme lain. Sedangkan suara buatan seperti battle sound tidak hanya asing, tapi juga terus-menerus dan membanjiri ruang akustik bawah laut.

Studi Pujiyati et al. (2023) menjelaskan bahwa suara mengalami kehilangan energi selama propagasi di air karena absorpsi dan dispersi, dan sifat ini tergantung pada frekuensi dan densitas medium. Keninggan et al. (2023) juga menunjukkan bahwa gelembung udara, gelombang laut, dan turbulensi dapat menyebabkan distorsi arah dan kekuatan suara, menciptakan zona gema dan zona senyap yang tidak merata. Ini menambah kompleksitas dalam menilai dampak akustik terhadap biota laut.

Setelah memahami bagaimana suara dari permukaan dapat menembus dan menyebar di laut, penting untuk melihat dampaknya terhadap kehidupan bawah laut:
•    Gangguan komunikasi: Paus, lumba-lumba, hingga dugong menggunakan suara untuk navigasi, berburu, dan interaksi sosial. Suara asing seperti battle sound dapat menenggelamkan sinyal alami mereka.
•    Perubahan perilaku: Ikan dan mamalia laut dapat menjauhi area tertentu, mengubah pola makan, atau menunjukkan perilaku stres.
•    Trauma akustik: Suara keras yang terus-menerus dapat merusak organ pendengaran dan organ dalam spesies yang sensitif terhadap tekanan suara.
•    Ketidakseimbangan ekosistem: Gangguan pada spesies kunci dapat berdampak luas pada rantai trofik dan fungsi ekosistem pesisir.

Lebih parah lagi, kapal pembawa sound system ini berpindah-pindah, menciptakan zona gangguan akustik yang dinamis dan sulit dipetakan. Hal ini memperbesar risiko terhadap biota karena mereka tidak bisa menghindari secara permanen.  Battle sound horeg bukan sekadar urusan selera hiburan—ini adalah bentuk nyata polusi akustik yang tidak kasatmata, sering tak terdeteksi, namun bisa sangat mematikan. Di saat perhatian kita tertuju pada pencemaran plastik dan limbah kimia, suara seharusnya menjadi parameter baru dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Sudah saatnya kebijakan berbasis ilmu pengetahuan hadir. Kajian lintas disiplin seperti biologi laut, akustik lingkungan, dan teknologi kelautan perlu digalakkan. Pemerintah daerah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat bahari harus bersinergi menyusun:
•    Zonasi akustik laut yang membatasi penggunaan sound system di area sensitif.
•    Aturan jam tenang laut, khususnya di habitat penting mamalia laut atau area pemijahan.
•    Edukasi publik agar euforia di atas kapal tidak menjadi bencana senyap di bawah permukaan.

Jika suara bisa membunuh dalam diam, maka diam kita sebagai manusia juga bisa menjadi bentuk pembiaran. Sudah waktunya kita bertindak. Laut adalah rumah bagi jutaan kehidupan yang tidak bisa memilih untuk menutup telinga.

Daftar Pustaka
Keninggan, D. A., Suardana, I. K., & Pradnyawathi, N. L. (2023). Acoustic Propagation in Shallow Marine Environment. Journal of Marine Acoustics.
Pujiyati, S., Utomo, B., & Widiyanto, A. (2023). Kajian Perambatan Suara dalam Ekosistem Laut Tropis. Jurnal Oseanografi Tropis, 11(2), 45–55.
Putu, A. D., & Beu, I. N. (2018). Effect of Sound Transmission from Air to Sea on Marine Mammals. Proceedings of the Indonesian Marine Science Conference.
Rustamaji, D., Santosa, D. A., & Mulyawan, H. (2018). Pengukuran Intensitas Suara Laut Menggunakan Hydrophone. Jurnal Teknologi Kelautan, 9(1), 30–38.
Winanta, A. S., Kartiko, A., & Puspita, N. (2022). Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Persebaran Gelombang Akustik di Laut. Jurnal Kelautan dan Perikanan, 18(1), 77–84.

***

*) Oleh : Citra Satrya. Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan. Universitas Brawijaya

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES