Ketika Desibel Berbicara: Merenungi Riuh Rendah Sound Horeg, Antara Euforia Kampung dan Benang Kusut Budaya-Politik

TIMESINDONESIA, MALANG – Rasakan getarannya. Bukan cuma di telinga, tapi juga di dada, bahkan sampai ke tulang. Di kampung-kampung, di pelosok desa di sekitar Malang Raya, getaran itu kini punya nama: SOUND HOREG CARNIVAL.
Fenomena ini hadir bukan diam-diam, tapi menggelegar, memekakkan, dan dalam kurun waktu singkat – tak sampai tujuh tahun – entah bagaimana bisa menjelma jadi trending topic, bahkan melintas batas regional. Ini bukan lagi sekadar sound system; ini perayaan, unjuk gigi ekspresi kreatif kolektif ala masyarakat akar rumput.
Advertisement
Fenomena ini bisa dipandang sebagai manifestasi dari popular culture yang tumbuh organik dari keseharian, lahir dari "bawah", dari geliat masyarakat sendiri yang mencari bentuk ekspresi dan hiburan. Mengapa fenomena ini bisa tumbuh subur, bahkan meledak, terutama di kalangan masyarakat akar rumput? Padahal, jika kita telisik lebih dalam, biaya yang digelontorkan untuk satu perhelatan Horeg ini tidaklah murah.
Unit-unit sound raksasa, truk-truk modifikasi, belum lagi pernak-pernik visual dan aksesoris pendukungnya. Angka-angka yang kadang selangit ini terasa kontras dengan citra "rakyat biasa". Mungkin, ini adalah refleksi aspirasi modern, hasrat untuk menunjukkan status atau kebanggaan, atau sekadar kebutuhan akan spektakel, tontonan yang memukau di tengah realitas yang serba terbatas.
Mungkin, ini adalah wujud modern dari kebutuhan primal manusia untuk berkumpul, berekspresi, dan merayakan. Di tengah gempuran informasi digital, di tengah kesibukan mencari nafkah, Sound Horeg menawarkan pelarian yang nyata, kebersamaan yang terasa, sebuah panggung di mana identitas komunal bisa ditampilkan dengan gemuruh.
Ia menjelma menjadi "selametan desa" atau wujud syukur yang dibalut kosmetika teknologi terkini – komunikasi via grup, internet untuk promosi, dan tentu saja, sound system raksasa sebagai pusat gravitasi. Ia adalah pesta rakyat di era disrupsi. Dalam lensa sosiologi, ini bisa dipahami sebagai bentuk ritual kolektif kontemporer yang menciptakan semacam getaran kegembiraan bersama, atau collective effervescence (mengambil konsep dari Émile Durkheim), di mana solidaritas komunal menguat di tengah keramaian.
Dalam momen "liminal" perayaan ini (gagasan Victor Turner tentang fase transisi dalam ritual), sejenak terwujud suasana communitas, rasa kebersamaan yang intens dan egaliter di luar struktur sosial sehari-hari.
Namun, di sinilah letak kerumitan itu. Kita perlu berhati-hati memaknai kata 'kreatif' hari ini, terutama di pedesaan dan perkampungan. Di era banjir informasi dan kemudahan akses teknologi, masyarakat kita membacanya seringkali semata dari kacamata 'inovasi' yang dikaitkan dengan potensi ekonomi, dibungkus narasi 'ekosistem'.
Parameter 'kreatif' jadi terukur dari seberapa besar gebyarnya, seberapa viral di media sosial, seberapa banyak uang berputar – seolah derap langkah 'ekonomi kreatif' menjadi satu-satunya tolok ukur. Dorongan 'berinovasi' dalam konteks ini kadang luput dari, atau bahkan sengaja mengabaikan, 'pagar' norma etik dan sistem kontrol sosial budaya yang seharusnya menjadi landasan fundamental.
Kreativitas jadi terasa "bebas lepas" tanpa kompas moral dan sosial, mengabaikan dampak sosialnya demi gegap gempita sesaat atau potensi ekonomi parsial. Ini adalah cermin bagaimana narasi besar tentang 'industri kreatif' di tataran global dan nasional berhadapan, berinteraksi, dan terkadang menimbulkan ketegangan dengan realitas serta nilai-nilai lokal.
Seperti dua sisi mata uang, geliat Horeg ini juga sarat pro dan kontra. Bagi sebagian orang, ini adalah hiburan murni, kebanggaan lokal, mesin penggerak ekonomi mikro (setidaknya bagi penyedia jasa sound, modifikator, hingga penjual makanan di lokasi). Namun, bagi yang lain, ini adalah gangguan besar. "Over load suara" yang mengguncang rumah, mengusik ketenangan, mengganggu mereka yang sakit atau membutuhkan istirahat.
Ini bukan sekadar kebisingan biasa, ini adalah perubahan fundamental dalam soundscape, atau 'bentang bunyi' desa (seperti yang dibahas dalam kajian Sound Studies yang dipelopori antara lain oleh R. Murray Schafer). Horeg menciptakan lingkungan akustik yang dominan, bahkan agresif, yang tentu berdampak pada kualitas hidup dan hak warga atas lingkungan yang nyaman. Ekspresi yang tersaji pun kadang terlalu polos, terlalu vulgar, tanpa pola sensor sosial yang biasanya menjaga batas-batas kesantunan di ruang publik kampung, menimbulkan pertanyaan tentang etiket sosial dan regulasi diri masyarakat di era keterbukaan informasi.
Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, garisnya jadi buram dan seringkali saling tindih.
Di titik ini, peran pemegang kebijakan, tokoh masyarakat, hingga pemuka agama menjadi krusial, sekaligus rumit. Mereka ada di mana saat euforia ini mencapai puncaknya? Apakah mereka mencoba menjembatani? Memberi rambu? Atau justru ikut terbawa arus, atau bahkan melihatnya sebagai peluang?
Ini adalah dilema governance di tataran lokal: bagaimana menyeimbangkan aspirasi populer, potensi ekonomi (sekecil apapun bagi sebagian pihak), dengan kebutuhan akan ketertiban sosial, norma etika, dan hak-hak dasar warga?
Ah, bicara peluang. Tak bisa dimungkiri, dalam konstelasi politik kita, kerumunan massa Sound Horeg adalah "lahan subur". Massa akar rumput yang berkumpul, yang mudah tersulut euforianya, adalah konstituen potensial.
Dalam kajian ilmu politik, fenomena massa dan mobilisasi publik selalu menjadi subjek penting, terutama dalam konteks politik elektoral di mana dukungan akar rumput sangat vital. Peristiwa budaya seperti ini bisa menjadi arena untuk mobilisasi massa atau sekadar ajang unjuk pengaruh dan menjaga popularitas.
Muncul pertanyaan kritis: apakah "benang kusut" pro-kontra, norma yang longgar, dan biaya selangit ini sengaja dibiarkan dalam dinamika sosial budaya kita? Sebagai bagian dari strategi instrumentalisasi budaya populer atau tradisi lokal untuk "memelihara" basis massa jelang kontestasi politik? Pertanyaan ini menggantung di udara, seolah menjadi misteri publik yang tak perlu dijawab gamblang, cukup dirasakan geliatnya – sebuah studi kasus menarik tentang bagaimana budaya populer bersinggungan dengan kepentingan politik praktis dan bagaimana kekuasaan berinteraksi dengan ekspresi akar rumput.
Kini, jelang bulan Juni, getaran itu mulai terasa lagi. Obrolan di warung kopi, postingan di media sosial, semua mengarah ke satu titik: musim Horeg akan kembali marak. Dari Juni hingga September, di titik-titik kampung yang berbeda, euforia itu akan tumpah ruah lagi, membawa serta segala kontradiksinya.
Melalui platform digital, fenomena ini juga bertransformasi menjadi digital performance yang menyebar cepat, berkontribusi pada virality-nya dan memperluas gaungnya jauh melampaui batas geografis awal.
Melalui musik dan visual yang lahir dari sentuhan teknologi AI – teknologi yang ironisnya juga menjadi salah satu "kosmetika" dalam perhelatan ini – mari kita coba merenungkan fenomena Sound Horeg Carnival ini. Lebih dari sekadar bising, ini adalah narasi sosial yang kompleks.
Ini adalah cermin bagaimana teknologi bersua tradisi (syukuran desa), bagaimana ekspresi kolektif bertemu kepentingan politik, bagaimana euforia massa berbenturan dengan hak individu atas ketenangan, dan bagaimana makna kata 'kreatif' itu sendiri menemukan tafsir yang beragam, terkadang tanpa pagar-pagar etika dan sosial. Ini adalah fenomena yang menantang kita untuk melihat lebih dalam dinamika masyarakat akar rumput di era digital, di persimpangan antara tradisi, teknologi, ekonomi, dan politik, serta bagaimana ruang publik (fisik dan digital) kini diperebutkan dan dibentuk.
Mari lihat dan dengarkan. Apa yang sebenarnya sedang dirayakan? Apa yang dipertaruhkan? Dan di tengah gemuruh desibel itu, pesan apa yang sebenarnya coba disampaikan oleh masyarakat kampung, oleh akar rumput, tentang diri mereka, tentang budaya mereka, dan tentang realitas yang mereka hadapi kini?
Semoga karya ini bisa menjadi secuil jembatan untuk memahami "benang kusut" yang penuh warna dan suara ini, dan menjadi refleksi bersama tentang makna 'kreativitas', 'komunitas', 'ruang publik', 'popular culture', dan dinamika sosial-politik di era disrupsi. (*)
***
*) Oleh : Dr. Redy Eko Prastyo, S.Psi., M.I.Kom Pengajar Prodi Desain Grafis, Departemen Industri Kreatif dan Digital, Fakultas Vokasi, Universitas Brawijaya
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |