
TIMESINDONESIA, MALANG – Kebangkitan Nasional sejatinya adalah kebangkitan akal sehat. Namun, akal sehat kerap dianggap musuh dalam sistem demokrasi yang terjebak pada popularitas, bukan kualitas. Kebenaran pun diputuskan oleh jumlah likes, bukan oleh nalar dan akal sehat.
Apalagi, di zaman ketika kebohongan dapat berlari lebih cepat dari cahaya, masyarakat sering tertinggal oleh pikirannya sendiri. Polarisasi bukan lagi soal ideologi, melainkan penyakit struktural yang menggerogoti logika dan empati. Disinformasi seolah menjelma “agama baru” yang diimani tanpa dalil.
Advertisement
Polarisasi hari ini bukan hanya perbedaan pendapat, tapi pemutusan total atas kemungkinan berdialog. Yang berbeda tidak dilawan dengan argumen, tapi disingkirkan dengan stigma dan label. Dengan demikian, setiap forum publik menjadi ladang perang identitas yang sunyi dari isi.
Padahal, sejarah bangsa ini tidak dibangun dari konsensus pasif, tetapi dari dialektika yang penuh keberanian. Seperti kata Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya", dan para pahlawan itu adalah kaum yang berani berpikir berbeda. Kini, keberanian berpikir diganti dengan keberanian membagikan tautan yang tak diverifikasi.
Selanjutnya, "Cita-cita Indonesia merdeka ialah kemerdekaan berpikir bagi seluruh rakyat," tulis Hatta. Namun, bagaimana bisa berpikir merdeka jika kita terpenjara dalam gema algoritma dan klikbait. Kita terlalu sibuk saling mencurigai sehingga minim sekali kesempatan untuk berpikir.
Oleh sebab itu, "Sekali merdeka, tetap merdeka," yang digaungkan Sutan Sjahrir, tampaknya tidak berlaku bagi akal budi. Kita telah memerdekakan tubuh, tetapi menjajah pikiran dengan kebencian dan ketakutan yang disebar sistematis. Inilah kolonialisme baru: kolonialisme digital.
Mereka yang menyuarakan keragaman gagasan malah dicurigai sebagai pembelot. Padahal, kata Tan Malaka, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh anak muda." Kini idealisme itu dicurigai sebagai provokasi, dan pemikiran kritis dianggap subversif.
Akibatnya, ironi demi ironi membanjiri republik (bangsa) ini. Para buzzer dianggap pahlawan, sementara cendekiawan dikubur dalam sunyi. Masyarakat mulai bingung untuk membedakan antara agitasi dan argumentasi.
Selain itu, Bung Karno juga menegaskan, "Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” Tapi bagaimana percaya pada diri sendiri jika setiap hari kita dicekoki bahwa kita lemah, terancam, dan harus membenci yang lain. Akhirnya ketakutan adalah komoditas yang paling laris dalam pasar politik.
Kita terperangkap dalam ekor panjang status-status media sosial, sehingga lupa pada percakapan yang membangun. Tidak ada ruang untuk mendengarkan, hanya ada ruang untuk menyerang. Dampaknya, kita tercerai-berai bukan karena senjata, tapi karena narasi.
Padahal sejatinya, "Kemerdekaan hanyalah didapatkan dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad 'Merdeka!”, kata Bung Hatta. Namun, kobaran itu kini berubah jadi amukan maya yang dangkal dan impulsif. Emosi menggantikan logika, dan sensasi menggantikan substansi.
Sebenarnya, kita tidak sedang kekurangan informasi tapi keracunan informasi. Dalam laut data yang begitu luas, masyarakat atau bangsa ini seolah tenggelam dalam kebingungan. Seperti orang lapar yang tidak tahu mana makanan dan mana racun.
Oleh karena itu, kebangkitan hari ini bukan lagi sekadar fisik, tapi spiritual dan intelektual. Bukan pula sekadar bendera dan mars nasional, tapi soal kemampuan bertanya, meragukan, dan memahami. Sayangnya, kita terlalu sibuk berteriak daripada untuk merenung dan bertindak.
Semua mehamami, "Kita tidak mendirikan negara untuk satu orang, satu golongan, tapi untuk semua," seperti kata Bung Karno. Namun kini, banyak yang merasa berdaulat atas kebenaran versi mereka sendiri, seolah negeri ini hanya milik satu kelompok. Kebenaran telah dimonopoli oleh yang paling berisik dan “penjahat-penjahat politik”.
Jadi, polarisasi hari ini bukan ujian politik, tapi ujian kebudayaan. Masih mampukah kita mengembangkan budaya berpikir, budaya mendengar, dan budaya berbeda pendapat. Dengan demikian, kita tidak terlalu cepat marah dan malas memahami.
Oleh sebab itu, Hari Kebangkitan Nasional ke-117 ini harus menjadi momentum pertobatan spiritual dan intelektual. Kita harus kembali pada semangat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan membodohi sesama demi kepentingan jangka pendek. Harus ada jihad nalar melawan kedangkalan massal.
Jangan lagi mengandalkan algoritma untuk menentukan kebenaran. Jangan lagi menjadikan politik sebagai tontonan, dan opini sebagai barang dagangan. Bangkitlah, bukan dengan dada yang panas, tapi kepala yang dingin dan hati yang jernih.
Sebab kalau bukan kita yang menjaga akal sehat bangsa ini, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Saatnya kita bangkit, baik secara spiritual maupun intelektual. (*)
* Oleh: Mohamad Sinal, Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |