Energi Terbarukan: Pilar Kedaulatan Nasional di Era Geopolitik Baru

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketika dunia membicarakan transisi menuju energi terbarukan, fokus utama sering kali tertuju pada isu lingkungan dan keberlanjutan. Namun, di balik panel surya dan turbin angin, terdapat dimensi strategis yang lebih mendalam: energi adalah soal kedaulatan nasional.
Ketergantungan Energi sebagai Ancaman Geopolitik
Jepang menjadi contoh nyata. Selama puluhan tahun, negara ini sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Pada 2022, sekitar 94% konsumsi energinya berasal dari luar negeri.
Advertisement
Ketika krisis Ukraina meletus dan rantai pasokan global terganggu, Jepang menyadari bahwa ketergantungan energi dapat menjadi kelemahan geopolitik.
Melalui 7th Strategic Energy Plan, Jepang mempercepat peralihan ke energi terbarukan, bukan hanya untuk menyelamatkan iklim, tetapi juga untuk memperkuat pertahanan dan stabilitas ekonominya.
Indonesia di Persimpangan Jalan Energi
Indonesia saat ini berada di persimpangan serupa. Meskipun diberkahi dengan sumber daya energi terbarukan seperti matahari, angin, air, dan panas bumi yang melimpah, lebih dari 50% kebutuhan energi Indonesia masih berasal dari impor. Ketergantungan ini berisiko tinggi di tengah ketegangan geopolitik global dan krisis ekonomi.
Presiden Prabowo telah menyampaikan rencana ambisius: menutup pembangkit batu bara dan fosil pada 2040 serta membangun kapasitas energi terbarukan hingga 75 gigawatt.
Ini adalah langkah yang patut diapresiasi. Namun, untuk mencapainya, diperlukan lebih dari sekadar kemauan politik; strategi yang matang sangat dibutuhkan.
Tiga Tantangan Utama Transisi Energi
Pertama, Biaya Investasi Rencana. Energi Nasional menyebutkan bahwa Indonesia memerlukan sekitar USD 30 miliar per tahun untuk mencapai target transisi energi.
Angka ini besar, tetapi dapat dicapai jika pemerintah membuka ruang untuk kemitraan publik-swasta dan menarik pendanaan iklim global.
Kedua, Ketergantungan Teknologi. Saat ini, Indonesia masih sangat tergantung pada alat dan bahan dari luar negeri, khususnya Tiongkok. Ketergantungan ini membuat rantai pasokan rapuh dan dapat menjadi titik tekanan dalam hubungan internasional.
Ketiga, Risiko Industrialisasi Prematur. Pengalaman hilirisasi nikel dan sawit menunjukkan bahwa industrialisasi tanpa kesiapan teknologi dan standar lingkungan yang memadai dapat menyebabkan kerusakan ekologis. Energi hijau tidak boleh menjadi "baju baru" untuk praktik lama yang tidak berkelanjutan.
Energi sebagai Isu Keamanan Nasional
Oleh karena itu, kami mengusulkan agar Indonesia mengadopsi pendekatan keamanan nasional dalam kebijakan energi terbarukan. Energi tidak bisa lagi dilihat sebagai urusan sektoral semata. Ini adalah soal masa depan bangsa-kedaulatan, diplomasi, dan daya tawar di panggung dunia.
Langkah awal dapat dimulai dengan penguatan manufaktur dalam negeri untuk teknologi energi bersih, pengembangan riset lokal, dan integrasi kebijakan energi dengan strategi pertahanan nasional. Ini bukan pekerjaan satu malam. Namun, jika tidak dimulai sekarang, Indonesia akan terus berada di posisi lemah dalam peta geopolitik energi dunia.
Jepang telah memberikan pelajaran: transisi energi adalah bagian dari menjaga martabat bangsa. Indonesia harus bersiap melakukan hal yang sama-bukan hanya demi langit yang lebih biru, tetapi demi negeri yang lebih berdaulat.
Apabila Anda memerlukan versi yang lebih ringkas atau adaptasi untuk platform tertentu seperti media sosial atau presentasi, saya siap membantu menyesuaikannya.
***
*) Oleh : Rayhan Ryzan (Rikkyo University, Jepang) dan Abdullah Alfarisi (Nagoya University, Jepang).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |