
TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia adalah tanah air "Gemah ripah lohjinawe", keberlimpahan sumberdayanya merupakan anugerah terbaik yang diberikan Allah SWT, keberagaman manusia dan entitasnya adalah penguat bangsa dan negara dalam harmoni.
Kebangkitan bangsa hakekatnya adalah urun juang bersama dari seluruh anak bangsa sampai akhir. Perjalanan spirit kebangkitan bangsa ini setidaknya telah ditandai sejak 117 tahun lalu, atau lebih petanya 37 tahun sebelum Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat.
Advertisement
Gairah perjuangan untuk menjadikan bangsa ini besar dan berkemajuan serta jauh dari ketertinggalan setidaknya telah dimulai oleh sekelompok pemuda bernama Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Raden Ongko Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, Raden Mas Goembrek yang sadar dan merasa penting untuk melakukan gerakan bersama membangun kebangkitan bangsa.
Indonesia dengan segudang resourcesnya tentu memiliki potensi yang sangat besar untuk terus bertumbuh menjadi negara yang maju, berdaulat, adil dan makmur, namun tentu tidak bisa dipungkiri perubahan zaman dan percepatan dunia global menuntut bangsa ini dapat beradaptasi dengan cepat dan tepat agar bisa menjawab dan memenuhi tuntutan zaman tersebut.
Kemiskinan, kebodohan, kesehatan, pemerataan pendidikan, jaminan sandang pangan dan papan merupakan isu penting dan perihal serius yang harus terus di upayakan dalam upaya mewujudkan kebangkitan nasional.
Per maret 2023 tahun lalu, dibangsa ini masih ada 25,9 juta masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, disatu sisi gini rasio atau tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat di tanah air justru mengalami peningkatan pada Maret 2023. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio Gini Indonesia naik menjadi 0,388 poin, dari sebelumnya 0,381 pada September 2022 atau meningkat 0,007 poin. Angka ini juga meningkat 0,004 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2022 yang sebesar 0,384. Padahal jika standar ukuran kemiskinan itu di samakan dengan standar bank dunia, maka setidaknya ada 44 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam garis kemiskinan.
Pemerataan pendidikan dan pemberantasan kebodohan juga menjadi hal penting dalam mewujudkan kebangkitan nasional. Kemajuan teknologi dan perubahan arah zaman menuntut setiap bangsa untuk memiliki sumber daya manusia yang berdaya saing, memiliki komptensi yang tinggi dan kinerja terbaik.
Setiap anak usia sekolah sudah dijamin didalam Undang-undang untuk dapat mengakses pendidikan seperti dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Pada tahun 2023, proporsi pendidikan tertinggi penduduk usia 15 tahun ke atas hanya pada tingkat pendidikan menengah sebanyak<50% (SMP dan SMA).
Menurut data UNESCO tahun 2023, Indeks baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Indeks baca wargaIndonesia baru mencapai 0,001.
Warga Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, cuma satu orang yang rajin membaca. Indonesia urutan ke-60 dari 61 negara soal minat baca dan ini menjadi permasalahan yang fundamental.
Sebagaimana semangat yang tertuang dalam SDG’s atau Tingkat Pembangunan Berkelanjutan (TPB), maka pemerintah harus benar-bennar hadir dan mengawal serta memberikan jaminan terhadap pemerataan pendidikan diseluruh penjuru negeri ini. Ketidaksiapan manusia Indonesia dalam kompetisi global serta mulai banjirnya SDM asing yang datang menjadi ancaman serius bagi eksistensi bangsa ini. Sebagaimana ungkapan Bung Hatta proklamator bangsa ini, bahwa menurutnya yang menentukan kauat tidaknya sebuah bangsa sangat tergantung dari seberapa kuat sumber daya manusianya.
Awal 2023, Indonesia dikejutkan dengan pemberitaan meninggalnya pasien dari kepulauan terluar, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, saat menempuh perjalanan ke rumah sakit. Menggunakan perahu selama 26-32 jam. Minimnya fasilitas kesehatan, keterbatasan dokter, dan kesenjangan pelayanan kembali menjadi isu yang mencuat.
Mengapa masih terjadi kesenjangan? Banyak akar permasalahannya. Dari keterbatasan kuota penerimaan peserta pendidikan dokter, mahalnya biaya pendidikan, rumitnya izin praktek, tidak meratanya distribusi dokter, hingga ketiadaan gaji bagi dokter praktik yang menempuh pendidikan spesialis. Semua berdampak pada macetnya produksi dan pemerataan dokter sehingga terjadilah ”krisis pelayanan kesehatan”.
Data Kemenkes 2023 menyebutkan bahwa 650 (6,27 persen) puskesmas belum memiliki dokter dan 5.354 (51,85 persen) belum memiliki 9 jenis tenaga kesehatan lengkap, serta 170 (24,69 persen) RSUD kabupaten/kota belum terpenuhi 7 pelayanan dokter spesialis. Rasio dokter dengan jumlah penduduk juga terhitung masih tinggi di angka 0,58/1.000 penduduk, sedangkan rasio dokter spesialis 0,15/1.000 penduduk, dengan rasio ideal standar WHO 1/1.000 penduduk. Pendekatan rasio sejatinya belum mampu menggambarkan krisis kekurangan dokter, apalagi ke depan ada pengembangan telehealth dan telemedicine.
Niat baik pemerintah membentuk Kopdes Merah Putih ini dengan dalil akan menghidupkan gairah ekonomi didesa sejalan dengan data DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional) yang menyebutkan bahwa 40 persen masyarakat miskin di Indonesia bekerja sebagai buruh tani dan mayoritas bekerja diwilayah perdesaan.
Tentu jika anggaran 3 - 5 miliar per koperasi tersebut benar-benar digulirkan lewat Kopdes Merah Putih sebagai penguat Dana Desa dan Alokasi Dana Desa yang juga masih ada, maka hal ini akan berpotensi menyulap lanskap perekonomian desa menjadi lebih maju dan menjadi wujud dari kebangkitan nasional.
Selain itu jaminan akan ketersediaan pangan dan papan yang memadai bagi seluruh masyarakat Indonesia juga seyogyakannya menjadi konsen yang serius dalam konteks mewujudkan kebangkitan nasional. Indonesia sebagai bangsa dengan populasi terbesar ke 4 di dunia, pangan dan papan adalah permasalahan fundamental bagi sebuah bangsa, ketersediaannya dan ketercukupannya adalah faktor kunci bagi sebuah bangsa untuk menjadi bangsa yang maju.
Berbicara tentang kualitas sebuah bangsa memang tidak akan bisa terlepas dari seberapa berkualitas Sumber Daya Manusia yang ada didalamnya, dan berbicara tentang kualitas Sumber Daya Manusia sebuah bangsa tidak akan bisa terlepas dari seberapa berkualitas pola pendidikan yang ada disebuah bangsa, seberapa banyak angka kemiskinan, seberapa layak terhadap jaminan kebutuhan dasar bagi masyarakatnya.
Membangun generasi berdaya untuk Indonesia gemilang merupakan narasi yang harus terus dikuatkan bersama, menjadi tanggungjawab seluruh elemen anak bangsa dan menjadi urun tugas bagi semua komponen bangsa dalam upaya mewujudkan kebangkitan nasional diseluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
***
*) Oleh : H. Puguh Pamungkas, Presiden NGG.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |