Kurikulum PAI dan Prinsip Relevansi: Bisakah Menjawab Tantangan Gen Z?

TIMESINDONESIA, MALANG – Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk Indonesia pada 2020 mencapai 270,2 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 71,5 juta jiwa di antaranya merupakan generasi Z atau sekitar 26,4% dari total populasi nasional. Ini menunjukkan bahwa Gen Z merupakan kelompok usia terbesar di Indonesia saat ini.
Perilaku Gen Z yang lahir dan tumbuh di era kemajuan teknologi digital yang cenderung narsis. Terkadang mereka yang terlihat religious secara digital namun faktanya mereka mudah terprovokasi dengan berita-berita yang belum tentu kebenarannya. Ini menjadi tantangan utama bagi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam, bagaimana materi-materi yang padat bisa membekali siswa menghadapi dilema zaman mereka?
Advertisement
PENTINGNYA KESESUAIAN MATERI DENGAN KEBUTUHAN PESERTA DIDIK DAN TUNTUTAN ZAMAN
Teori kurikulum Ralph W. Tyler, yang dipublikasikan dalam bukunya "Basic Principles of Curriculum and Instruction" pada tahun 1949, menekankan empat langkah utama dalam pengembangan kurikulum: 1. Tujuan Pendidikan apa yang ingin dicapai?, 2. Pengalaman belajar apa yang akan mendukung tujuan tersebut?, 3. Bagaimana mengorganisir pengalaman belajar?, 4. Bagaimana evaluasi dilakukan?.
Dari teori kurikulum Ralph W. Tyler konteks relevansi kurikulum PAI dengan kebutuhan Gen Z maka 1) Apakah tujuan Pendidikan agama Islam? Mencetak penghafal qur’an atau generasi yang berakhlak digital? 2) Jika kurikulum PAI masih didominasi pengalaman ceramah maka lebih dibutuhkan pengalaman belajar yang berbasis project based learning, missal nya seperti proyek pembuatan konten media sosial yang berbasis dakwah. Sehingga tujuan yang awal tadi bisa terealisasi. 3) Materi pembelajaran PAI selama ini tersekat-sekat kedalam topik-topik yang kaku tanpa keterkaitan dengan realitas kehidupan siswa. Kurikulum PAI tradisional sering terbagi menjadi disiplin ilmu yang terpisah, masing-masing bab diajarkan secara terisolasi tanpa menunjukkan keterkaitan anta-materi. 4) Evaluasi PAI selama ini yang dilakukan hanya mengukur hafalah, bukan perubahan perilaku siswa. Menurut Tyler Kurkulum PAI tujuan capaian yang tidak jelas dan sering gagal dalam merumuskan tujuan operasional karena fokus utama terletak pada proses perencanaan dan pemilihan tujuan Pendidikan, tanpa memperhatikan implikasi praktis dan penerapannya. Jika diaplikasikan untuk kurikulum PAI tujuan Pendidikan harusnya menyiapkan muslim Gen Z yang paham fiqih kontemporer seperti hukum transaksi digital, Kesehatan mental dan etika berteknologi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
KETIDAKRELEVANAN KURIKULUM PAI UNTUK GEN Z
Dalam dokumen Permendikbud No. 7/2022 Pasal 3: "Kurikulum PAI harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik, perkembangan zaman, dan tantangan global." Yang artinya, sudah seharusnya kurikulum PAI harus memiliki keterkaitan atau relevansi dengan kebutuhan peserta didik, perkembangan zaman dan tantangan global. Lantas bagaimana dengan faktanya di lapangan saat ini? Apakah sudah ada penjelasan operasional tentang “kebutuhan peserta didik” seperti Kesehatan mental dan literasi digital?
Kurikulum PAI masih terjebak dalam “zaman batu”. Fakta dilapangan yang sangat terlihat dari materi PAI yang diajarkan masih berfokus pada tata cara wudhu, shalat atau haji namun mengabaikan isu-isu actual fiqih kontemporer seperti: transaksi digital (e-wallet, investasi halal), etika berteknologi (hoaks, cyberbullying), mental health dari sudut pandang Islam. Contoh nyata seperti, siswa hafal rukun sholat, namun mereka bingung menghadapi cancel culture di media sosial yang dapat merusal mental. Materi PAI yang kaku dan tidak update membuat gen Z memandang agama sebagai ritual usang bukan panduan hidup.
Selain kritik dari materi, metode pengajaran PAI juga masih monoton dan tidak partisipatif. Selama ini pembelajaran PAI yang sering terjadi yaitu metode satu arah, guru hanya sebagai penceramah. Siswa menganggap Pelajaran PAI membosankan dengan metode yang seperti itu. Faktanya gen Z saat ini terbiasa dengan pembelajaran visual, interaksi dua arah seperti Q&A di platform digital. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di salah satu sekolah Islam, siswa lebih suka pembelajaran PAI yang menarik dan hal ini dibuktikan dengan perbandingan hasil belajar mereka yang sangat jauh antara yang menggunakan metode ceramah dengan metode pembelajaran yang menarik seperti (problem based learning). Selain itu, siswa juga tidak diajarkan pada proyek nyata yang seharusnya metode pembelajaran PAI bisa menggunakan project based learning seperti membuat konten dakwah singkat kreatif di TikTok/Instagram. Jika pembelajaran PAI bisa dikemas dengan menarik maka siswa akan terhindar dari sikap pasif dan lebih terlatih berpikir kritis tentang agama
Setelah materi dan metode pengajaran PAI, maka evaluasi PAI saat ini harus diperbarui juga. Selama ini evaluasi hasil pembelajaran hanya terfokus pada aspek kognitif saja, mengukur hafalan bukan pemahaman mereka. Nilai yang tertulis di rapor juga berdasarkan ujian tulis mereka bukan berdasarkan observasi perilaku siswa. Contoh nyata seperti: Soal yang diberikan guru “Sebutkan rukun khutbah Jum’at!” seharusnya guru juga memberikan soal yang relevan dengan realita kehidupan gen Z “Bagaimana cara menyikapi influencer yang menyebar konten provokatif atas nama agama?”. Dengan soal-soal yang seperti ini maka diharapkan siswa tidak hanya cerdas secara teoritis namun juga memiliki keterampilan praktis dalam menghadapi masalah realitas.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Bukan hanya yang berkaitan dengan pembelajaran, namun isu-isu psikososial juga masih belum tersentuh dalam kurikulum PAI. Data kemenkes pada tahun 2023, 30% remaja Indonesia mengalami gejala anxiety atau kecemasan, namun materi PAI belum membekali mereka dengan spiritual coping mechanism. Siswa tidak diajarkan untuk mengatasi stress, trauma atau situasi sulit dengan mengandalkan pendekatan spiritual (agama). Materi-materi PAI yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari masih cukup sedikit, sehingga siswa bingung harus bersikap seperti apa ditambah dengan guru PAI yang “kurang memahami” masalah mereka. Dampak dari hal ini membuat siswa-siswa gen Z memandang agama sebagai beban bukan Solusi, mereka yang mental health nya terganggu menganggap agama “hanya mengatur halal haram” tidak memberikan Solusi atas penderitaan yang mereka rasakan. Dampak lain yang terjadi yaitu miskinnya keterampilan regulasi emosi mereka. Dalam pembelajaran materi sabar dan Syukur hanya diajarkan secara dogmatis, tanpa adanya Latihan secara praktis seperti mindfulness berbasis dzikir. Diharapkan dengan praktik meditasi tersebut, siswa dapat meningkatkan kesadaran diri dan fokus sambil memperdalam koneksi spiritual dengan Tuhan. Tapi sudahkah hal-hal praktis sederhana seperti ini dipraktekkan secara langsung di sekolah? Faktanya masih banyak guru-guru yang awam dan kurang aware mengenai isu-isu mental health pada siswa-siswa gen Z
KURIKULUM PAI YANG RESPONSIF UNTUK GEN Z
Gen Z adalah generasi digital native yang berpikir kritis, kreatif namun rentan terhadap krisis identitas, Kesehatan mental dan distorsi nilai agama di ruang digital. Apakah tantangan-tantangan ini sudah terjawab dalam Kurikulum PAI? Berikut saran atau Solusi yang Penulis berikan terkait kurikulum PAI yang responsive untuk gen Z:
1. Konten yang Diperbarui
Integrasi kan secara langsung materi-materi PAI dengan isu-isu gen Z yang terkini, pembaruan seperti ini sangat dibutuhkan untuk Kembali membuat gen Z semangat belajar Pendidikan agama Islam, contohnya seperti:
a) Isu Kesehatan Mental bisa diintegrasikan dengan materi konsep sabar, Syukur dan tawakkal sebagai terapi anxiety. Siswa dapat diaktivitaskan untuk membuat jurnal refleksi yang harus mereka tulis setiap hari, ex: “Aku bersyukur hari ini karena…”
b) Isu literasi digital bisa diintegrasikan ke dalam fiqih menggunakan medsos (ghibah, hoaks, deepfake) berdasarkan QS. Al-Hujurat ayat 6, 11-13. Aktivitas yang diberikn kepada siswa berupa menganalisis kasus-kasus yang sedang viral.
c) Isu keuangan (hukum investasi, NFT dan e-money) bisa diintegrasikan ke dalam materi PAI fiqih muamalah. Aktivitas yang diberikan: siswa melakukan simulasi investasi halal dengan aplikasi fintech.
d) Isu ekologi atau lingkungan dapat diintegrasikan antara konsep khalifah fil ardh (QS. Ar-Rum: 41) untuk isu sampah-sampah plastic. Siswa dapat diberikan aktivitas berupa projek daur ulang sampah yang ada disekolah.
e) Pendekatan secara tematik (bukan hanya hafalan). Contoh dengan menggunakan tema: “Menjadi Muslim Digital yang Berakhlak” dapat diimplementasikan dalam Materi Akidah: tauhidullah vs tren kultus selebriti. Materi fiqih: hukum live streaming donasi. Materi Akhlak: Etika debat di Twitter (QS. Al-Ankabut: 46). Dengan satu tema dapat diimplementasikan pada 3 materi yang ada dalam sub Pendidikan agama Islam.
2. Metode Pembelajaran Inovatif
Perbarui metode pembelajaran PAI dengan menggunakan metode yang inovatif sehingga pembelajaran yang cenderung dianggap “kaku” oleh gen Z akan menghilang. Contoh metode pembelajaran yang dapat digunakan:
a) Project Based Learning, siswa diajak untuk melakukan pembelajaran berbasis projek. Pembelajaran seperti ini diharapkan siswa akan merasa tertantang dan semangat untuk menyelesaikan projek yang ditugaskan. Contoh: Challenge Tiktok: Buat konten dakwah 1 menit tentang konsep toleransi. Lakukan podcast diskusi Bersama teman sekelas dengan tema “Islam dan Gaya Hidup Minimalis.”
b) Gamifikasi dan Teknologi. Hobi gen Z dengan game dan selalu penasaran dengan teknologi harus dimanfaatkan kedalam pembelajaran PAI. Contoh: Buatkan quiz interaktif menggunakan platform Kahoot! Untuk materi Sejarah Nabi. Selain itu dapat melakukan role-play digital, siswa melakukan simulasi menghadapi cyberbullying di grup Whatsapp.
c) Experiential Learning, siswa diajak untuk melakukan proses belajar dengan pengalaman langsung untuk memahami dan mengaplikasikan pengetahuan PAI. Contoh yang dapat dilakukan yaitu melakukan field trip ke bank syariah atau startup halal. Sehingga siswa belajar secara langsung konsep fiqih muamalah yang diterapkan di Masyarakat. Selain itu, guru juga dapat mengundang influencer muslim sebagai guest teacher yang membahas agama dengan gaya kekinian.
3. Evaluasi Holistik
Evaluasi yang dilakukan sudah saatnya tidak hanya terpaku pada aspek kognitif saja melainkan mempertimbangkan seluruh aspek perkembangan siswa.
a) Asesmen Autentik (tidak hanya tes tertulis)
Aspek kognitif: siswa melakukan presentasi analisis kasus yang sedang hangat seperti: “bagaimana hukum investasi crypto?”
Aspek afektif: siswa melakukan observasi partisipasi dalam proyek sosial contohnya melakukan kampanye anti bullying.
Aspek psikomotorik: siswa membuat portofolio berupa konten kreatif yang dapat berupa video, poster atau podcast dengan sesame.
b) Feedback dari siswa
Tidak hanya siswa yang harus dievaluasi, melainkan guru juga membutuhkan evaluasi yang dapat berupa feedback atau tanggapan dari siswa yang bertujuan agar guru terus melakukan pembenahan secara rutin cara mengajar mereka. Guru harus rutin melakukan survei ke siswa “apa yang ingin kamu pelajari di PAI?” selain itu siswa juga perlu dilibatkan secara langsung dalam merancang materi agar sesuai dengan kebutuhan mereka.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
4. Dukungan Sistematik
Dukungan yang dibutuhkan dalam keberlangsungan pembelajaran Pendidikan agama islam. Dukungan tersebut dapat berupa:
a) Pelatihan Guru. Guru PAI harus dibekali keilmuan yang up to date, tidak tertinggal zaman dan dapat menyesuaikan dengan lingkungan gen Z. Contohnya seperti: mengikuti workshop literasi digital, psikologi remaja dan desain pembelajaran kreatif. Selain itu, harusnya ada komunitas guru Dimana antar guru dapat sharing inovasi pembelajaran (via whatsapp atau platform media sosial yang lain)
b) Kolaborasi dengan Ahli multidisiplin. Guru PAI dapat melakukan kolaborasi bersama psikolog untuk membuat modul mental health berbasis Islam. Selain itu, juga dapat berkolaborasi Bersama praktisi digital untuk melakukan pelatihan pembuatan konten dakwah yang kekinian.
c) Sumber daya digital. Belajar tidak hanya dari buku, tetapi juga memanfaatkan sumber daya digital yang ada seperti: menciptakan e-modul PAI interaktif yang bisa diakses via HP kapan saja dan Dimana saja. Selain itu juga dengan menciptakan video animasi tentang “3 menit fiqh medsos”.
Kesimpulannya kurikulum PAI untuk gen Z harus relevan (sesuai kebutuhan zaman mereka), interaktif (menggunakan metode kreatif), empatis (responsive tentang isu psikososial), dan fleksibilitas dalam metode dan evaluasi.
Kurikulum PAI saat ini berada di persimpangan jalan antara harus bertahan dengan model lama yang semakin tidak relevan atau bertransformasi menjadi panduan yang lebih hidup menyapa realitas gen Z dan berdialog dengan zaman. Jika tidak berubah, PAI beresiko akan ditinggalkan karena dianggap sebagai mata Pelajaran “hafalan” tanpa koneksi dengan kehidupan nyata. Reformasi kurikulum PAI bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Gen Z tidak hanya membutuhkan agama yang mengajari “cara menyujikan hadats”, melainkan agama yang mampu menjawab “bagaimana aku bisa tetap suci ditengah banjirnya godaan digital?” Sudah tugas kita untuk terus menyalakan api pemahaman tentang keIslaman yang menyala-nyala di hati generasi muda.
“Agama bukanlah warisan masa lalu, melainkan Kompas untuk masa sekarang dan yang akan dating. Kurikulum PAI harus menjadi jembatan antara nilai-nilai abadi Islam dan tantangan zaman yang terus berubah.”
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Hesty Hyldania Azizah, M.Pd, Mahasiswi S3 Pendidikan Agama Islam (PAI) Multikultural Pascasarjana, Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |