Kopi TIMES

Kritik, Serempetan, dan Hantu Orde Lama

Minggu, 25 Mei 2025 - 09:31 | 10.86k
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – Penunjukan purnawirawan militer sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai belum reda diperdebatkan. Tapi baru-baru ini, nyali publik untuk mengkritiknya seperti kembali diuji dengan cara yang mengingatkan kita pada era ketika opini bisa berujung intimidasi.

Tulisan itu terbit pada Kamis, 22 Mei 2025. Sebuah opini kritis di kolom Detik.com yang mempertanyakan urgensi dan kepatutan penunjukan seorang purnawirawan jenderal untuk memimpin Direktorat Jenderal Bea dan Cukai-lembaga yang seharusnya dijalankan oleh teknokrat sipil dengan pengalaman panjang dalam seluk-beluk kepabeanan. 

Advertisement

Tak lama setelahnya, sang penulis yang namanya tak disebutkan oleh redaksi Detik.com mengaku mengalami dua insiden yang oleh sebagian orang disebut “teror samar”: dua kali diserempet pengendara tak dikenal dalam kurun waktu singkat.

Ia meminta agar tulisannya diturunkan dari situs. Detik.com belum mengeluarkan pernyataan resmi, tapi artikel itu memang tak lagi bisa diakses.

Di negara demokrasi yang konon menjunjung kebebasan berpendapat, hilangnya sebuah opini karena alasan keselamatan pribadi menimbulkan pertanyaan lebih dalam: siapa yang tidak siap dikritik? Dan, apakah institusi yang semestinya bertumpu pada kepercayaan publik kini membutuhkan perisai dari rasa takut?

Penunjukan purnawirawan untuk jabatan strategis bukan hal baru dalam politik Indonesia. Tapi masuknya mereka ke pos-pos sipil yang teknis, seperti Direktorat Bea dan Cukai, menyulut perdebatan yang tidak hanya soal kompetensi, tapi juga tentang arah demokrasi dan akuntabilitas birokrasi.

Direktorat Bea dan Cukai adalah benteng fiskal sekaligus garda perbatasan ekonomi negara. Ia bertanggung jawab mengawasi aliran barang masuk dan keluar negeri, serta memungut ratusan triliun rupiah pendapatan negara setiap tahunnya. 

Lembaga ini penuh jebakan korupsi, seperti pernah diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani saat mengungkap kasus-kasus penyelundupan dan gratifikasi yang membelit pejabat Bea Cukai.

Mengelola institusi serumit ini tentu bukan perkara seragam atau kedisiplinan militer semata. Ia menuntut pemahaman teknis, reformasi sistemik, serta pendekatan transparansi berbasis data bukan pendekatan komando.

Dalam opini yang tak lagi tayang itu, penulis diduga menyampaikan pertanyaan-pertanyaan semacam itu: mengapa jabatan teknis diserahkan kepada orang di luar karir birokrasi kepabeanan? Apa dasar seleksinya? Apakah langkah ini mencerminkan kembalinya gaya pemerintahan “tentara serba bisa” seperti era Orde Baru?

Respon yang datang bukan perdebatan intelektual, tapi ancaman yang membungkam.

Kejadian diserempet dua kali oleh pengendara tak dikenal sebagaimana kesaksian narasumber, mengingatkan pada pola tekanan yang kerap menghantui penulis kritis sejak era reformasi mulai kehilangan giginya. Intimidasi dengan cara seolah “kecelakaan” adalah bentuk teror paling licik: tak cukup bukti untuk melapor, tapi cukup untuk membuat ciut.

Kondisi ini mencemaskan bukan hanya bagi si penulis, tapi bagi ekosistem kebebasan pers dan opini yang telah dibangun sejak runtuhnya Orde Baru. Jika sebuah opini harus hilang dari ruang publik karena nyawa penulisnya terancam, maka yang kita pertaruhkan bukan hanya satu artikel, tapi seluruh fondasi demokrasi.

Masalahnya menjadi lebih besar ketika media tempat opini itu dimuat-belum bersuara. Detikcom, sebagai salah satu portal berita terbesar di Indonesia, hingga artikel ini ditulis, belum memberikan klarifikasi resmi atas hilangnya artikel maupun situasi yang menimpa penulisnya. Apakah mereka melindungi si penulis, atau justru menghindari konfrontasi dengan pihak yang merasa tersinggung?

Media punya peran strategis dalam menjaga ruang publik tetap terbuka bagi kritik, terutama kritik terhadap kekuasaan. Jika media memilih diam atau tunduk pada tekanan, maka ia kehilangan otoritas moralnya.

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga belum menyatakan akan menyelidiki dugaan intimidasi tersebut. Tak ada pengamanan, tak ada penegasan bahwa negara berdiri di belakang hak warga untuk menyatakan pendapatnya.

Mengangkat purnawirawan ke posisi sipil bukan hal tabu dalam demokrasi. Tapi ketika dilakukan tanpa akuntabilitas dan disertai upaya membungkam kritik, publik patut curiga. 

Reformasi birokrasi bukan sekadar mengganti orang lama dengan orang baru berseragam berbeda, tapi soal mengubah sistem agar lebih transparan, profesional, dan berpihak pada pelayanan publik, bukan pada rasa takut.

Jika satu artikel opini bisa mengundang “serempetan”, maka kita sedang hidup dalam demokrasi yang rapuh, demokrasi yang hanya tahan terhadap pujian, bukan masukan.

Kasus ini seharusnya menjadi alarm. Bukan hanya bagi jurnalis atau akademisi, tapi bagi siapa saja yang percaya bahwa opini yang sehat adalah bagian dari oksigen demokrasi. Ketika ruang itu dibatasi, kita perlahan kembali ke era ketika kritik dianggap ancaman, dan perbedaan pendapat dianggap pembangkangan.

Ketika seorang penulis harus menurunkan tulisannya karena takut diserempet untuk ketiga kalinya, maka yang luka bukan hanya dirinya. Yang luka adalah kita semua.

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES