
TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Science without conscience is the soul’s ruin,” (Ilmu tanpa hati nurani adalah kehancuran jiwa) tulis François Rabelais dalam Pantagruel (1532). Ilmu tanpa etika hanyalah kilauan tanpa jiwa: jadi cahaya yang membutakan, bukan membukakan. Di tengah derasnya arus informasi, ilmu pengetahuan sering tergelincir dari hakikat diri sendiri; dari pencarian kebenaran sejati menjadi perlombaan publikasi, dari kontemplasi menjadi komodifikasi. Dalam semangat itu, tulisan ini bertujuan membingkai ulang etika ilmiah bukan sebagai prosedur administratif semata, melainkan sebagai laku batin dan kompas moral agar setiap jejak ilmiah tetap berpihak pada kebenaran, keadilan, dan nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan merupakan fondasi tempat etika ilmiah bertumpu. Dengan demikian, setiap langkah pencarian ilmu tidak sekadar cerdas secara logika tetapi juga luhur dalam nurani manusia. Ilmu sejati bukan sekadar akumulasi pengetahuan, melainkan ikhtiar untuk menyingkap makna realitas dengan kesadaran moral. Dalam pandangan Douglas (2009) dalam bukunya “Science, Policy, and the Value-Free Ideal,” tidak ada pengetahuan yang sepenuhnya bebas nilai sebab setiap pilihan metodologis, setiap interpretasi data, bahkan setiap keputusan untuk meneliti sesuatu, membawa serta muatan etis dan tanggung jawab sosial.
Advertisement
Oleh karena itu, etika ilmiah tidak boleh direduksi menjadi sekadar perangkat administratif yang menghindari plagiarisme dan/atau memenuhi kode etik formal. Sebaliknya, etika adalah jiwa dari keilmuan itu sendiri; sikap jujur, adil, rendah hati, serta bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan moral dari setiap simpulan ilmiah. Dengan kata lain, etika ilmiah adalah perwujudan komitmen spiritual terhadap kebenaran yang mengakar dalam hati nurani, dan menjulang dalam peradaban ini.
Peradaban saat ini, sayangnya, cenderung terkungkung dalam bayang-bayang era “publish or perish;” secara perlahan ilmu tergelincir dari ziarah kebenaran menjadi perlombaan sitasi, indeksasi, dan pencitraan keilmuan. Akademisi terdorong bukan oleh kerinduan akan kebenaran, melainkan oleh tekanan administratif dan obsesi terhadap algoritma dan metrik. Sudah sewajarnya bila keberhasilan ilmiah sejati bukan hanya diukur dari hasil, tetapi juga dari proses yang dijalani dengan jujur, terbuka, dan bertanggung jawab. Krisis etika dalam dunia akademik bisa teratasi bukan hanya dengan regulasi tetapi juga melalui budaya memuliakan integritas tanpa “menekan” kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpikir, menyelidiki, dan menyatakan pendapat adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan akademik. Kebebasan ilmiah adalah fondasi kemajuan pengetahuan namun tetap harus berada dalam bingkai etika. Sebab, di balik setiap kebebasan, terdapat tanggung jawab moral untuk tidak menyalahgunakannya sebagai alat menyerang, mendiskreditkan, apalagi mengeksploitasi sesama.
Hingar bingar kasus ijazah palsu, misalnya, bisa menjadi cermin penting untuk menakar bagaimana etika ilmiah diuji di ruang publik. Meski dibalut dengan istilah teknis dan retorika keilmuan, pertanyaan fundamental tetap menggema: “Apakah pendekatan itu benar-benar ilmiah dan etis, atau sekadar instrumen retoris untuk membentuk opini publik?”
Dalam Peraturan LIPI No. 19 Tahun 2019 tentang Klirens Etik Penelitian Pasal 3, dinyatakan hukumnya “fardlu ain” kalau dalam riset harus melindungi subjek penelitian dari bahaya secara fisik (ancaman), psikis (tertekan dan penyesalan), sosial (stigma, diasingkan dari masyarakat) dan konsekuensi hukum (dituntut) sebagai akibat turut berpartisipasinya dalam suatu Penelitian. Lebih jauh, UU ITE No. 19/2016 Pasal 26 Ayat 1 berpesan agar penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Secara universal, dalam “UNESCO’s Handbook for Ethical Conduct” (2018) sudah diingatkan segala perilaku ilmiah harus tunduk pada standar hak asasi manusia yang universal.
Dengan kata lain, untuk melakukan penelitian, ada etika yang harus diperhatikan secara universal. Penyebaran informasi, termasuk analisis teknologi, tidak boleh melanggar hak privacy dan martabat individu. Resnik (2020) dalam “The Ethics of Science Communication. Accountability in Research” juga mengingatkan akan sangat bahaya ketika komunikasi ilmiah menyimpang dari etika dan berubah menjadi alat dominasi. Agar hal itu tidak terjadi. etika ilmiah diperlukan bukan hanya menjaga metode, tetapi juga melindungi marwah ilmu dari penyalahgunaan yang merusak kepercayaan publik.
Etika ilmiah tidak akan berakar hanya melalui ceramah dan peraturan ia harus dihidupi sebagai budaya, dibiasakan dalam setiap detak kehidupan akademik. Lembaga pendidikan tinggi memikul tanggung jawab bukan hanya untuk mengajarkan etika, tetapi untuk menjadi teladan etika itu sendiri. Artinya, institusi harus menyediakan ruang bagi tumbuhnya role model yang integritasnya tak tercemar ambisi dengan mendampingi mahasiswa serta dosen muda menapaki jalan keilmuan.
Penilaian akademik pun semestinya tidak melulu berbasis angka dan indeks, tetapi juga mengakui nilai kejujuran, keberanian bersikap, dan dampak tanggung jawab sosialnya. Ruang kelas tak hanya menjelaskan apa yang benar, tetapi juga mengapa itu penting secara etis. Bahkan dalam riset paling teknologis sekalipun, harus tersedia ruang dialog tentang etika. Jika tidak. kecanggihan tanpa kebijaksanaan hanya akan mempercepat kekeliruan.
Saat ini, institusi akademik harus menjadi penjaga lentera dengan api yang terus berkobar menyinari tanpa membakar institusi. Etika ilmiah bukanlah beban yang menghambat kebebasan berpikir, melainkan cahaya penuntun di tengah gelapnya ambisi, sensasi, dan kecepatan zaman. Ketika popularitas lebih mudah diraih daripada kebenaran, ilmuwan dipanggil untuk tidak sekadar cerdas, tetapi juga jernih dalam berpikir, adil dalam menimbang, dan arif dalam bertindak. Sebab ilmu yang tercerabut dari etika tak hanya kehilangan jiwanya sebagai pencarian makna, tetapi juga melululantakkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik yang bermartabat.
***
*) Oleh: Assoc. Prof. Suparto, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |