Kopi TIMES

Melihat Polemik Sekolah Rakyat vs Sekolah Garuda dari Sudut Berbeda

Senin, 26 Mei 2025 - 15:17 | 15.87k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerintah Indonesia kembali mencuatkan wacana pembagian sistem pendidikan melalui dua program kontroversial: Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda.

Latar belakang kemunculan ide ini berawal dari kesenjangan kualitas pendidikan yang masih lebar antara sekolah di kota besar dan daerah terpencil. Sekolah Rakyat digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan akses pendidikan dasar bagi masyarakat kurang mampu dengan biaya terjangkau, sementara Sekolah Garuda ditujukan sebagai sekolah unggulan berstandar internasional dengan fasilitas lengkap dan kurikulum berbasis teknologi.

Advertisement

Di satu sisi, program ini dianggap sebagai terobosan untuk memajukan pendidikan, tapi di sisi lain, banyak yang menilai kebijakan ini justru berpotensi memperlebar ketimpangan sosial dan menghamburkan anggaran negara.

Para pendukung Sekolah Rakyat berargumen bahwa program ini akan memberikan kesempatan belajar yang lebih merata bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera.

Dengan biaya operasional yang rendah dan lokasi yang dekat dengan permukiman padat penduduk, sekolah ini diharapkan bisa mengurangi angka putus sekolah dan meningkatkan literasi dasar.

Namun, kritik utama terhadap konsep ini adalah kekhawatiran akan kualitas pengajaran yang minim akibat keterbatasan dana. Pengajar mungkin tidak memiliki kualifikasi memadai, sarana belajar terbatas, dan kurikulum yang terlalu sederhana sehingga lulusannya tetap kalah bersaing di dunia kerja.

Pengalaman serupa pernah terjadi di beberapa daerah, di mana sekolah "murah" justru menjadi tempat pembelajaran ala kadarnya tanpa standar jelas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sementara itu, Sekolah Garuda diusung sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan tinggi yang berdaya saing global.

Sekolah ini rencananya akan dilengkapi laboratorium canggih, guru bersertifikasi internasional, dan kerja sama dengan universitas luar negeri. Proyeksi pemerintah, lulusan Sekolah Garuda akan mampu bersaing di kancah global dan menarik investasi asing.

Namun, masalah terbesar dari program ini adalah kesannya yang elitis. Biaya pendaftaran dan operasional yang tinggi membuatnya hanya bisa diakses oleh kalangan menengah atas, sehingga berpotensi menciptakan kesenjangan baru dalam sistem pendidikan.

Selain itu, skeptisisme muncul karena Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak sekolah unggulan negeri seperti SMAN 8 Jakarta atau SMAN 3 Bandung yang bisa ditingkatkan kualitasnya alih-alih membangun sistem baru dari nol.

Polemik ini semakin memanas ketika dikaitkan dengan anggaran pendidikan yang tidak sedikit. Alih-alih memaksimalkan sekolah yang sudah ada, pemerintah justru seperti membangun dua kutub ekstrem: satu untuk rakyat biasa dengan fasilitas pas-pasan, dan satu lagi untuk kalangan "privileged" dengan fasilitas mewah.

Padahal, idealnya pendidikan berkualitas harus bisa dinikmati semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Kritik lain datang dari kalangan pengamat anggaran yang mempertanyakan efisiensi dana.

Daripada membangun dua sistem terpisah, anggaran seharusnya bisa dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur sekolah yang sudah ada, meningkatkan kompetensi guru, atau memperluas program beasiswa bagi siswa kurang mampu.

Di tengah pro-kontra ini, penulis berpendapat bahwa pemerintah perlu melakukan analisis mendalam sebelum menjalankan program tersebut.

Pertama, harus ada kajian komprehensif tentang dampak jangka panjang terhadap ekosistem pendidikan nasional. Jangan sampai Sekolah Rakyat hanya menjadi "sekolah kelas dua" yang memperparah stigma sosial, sementara Sekolah Garuda berubah menjadi proyek mercusuar yang tidak berkelanjutan.

Kedua, pemerintah harus mempertimbangkan untuk memaksimalkan sekolah yang sudah ada terlebih dahulu. Daripada menghabiskan dana untuk membangun sistem baru, lebih baik memperkuat sekolah negeri yang sudah berdiri dengan pemerataan fasilitas, pelatihan guru berkala, dan pendampingan kurikulum.

Ketiga, perlu ada mekanisme afirmasi yang memastikan anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu tetap bisa mengakses Sekolah Garuda melalui sistem beasiswa yang transparan.

Pendidikan adalah fondasi kemajuan bangsa, tetapi kebijakan di sektor ini harus dirancang dengan hati-hati agar tidak justru menciptakan disparitas baru.

Sekolah Rakyat dan Sekolah Garuda mungkin memiliki niat baik, tetapi jika tidak diimplementasikan dengan perencanaan matang, keduanya berisiko menjadi pemborosan anggaran yang hanya menguntungkan segelintir pihak.

Pemerintah sebaiknya fokus pada pemerataan kualitas pendidikan, bukan malah membagi sistem menjadi kasta-kasta yang semakin menjauhkan cita-cita "pendidikan untuk semua".

Solusi terbaik mungkin terletak pada perbaikan sistem yang ada, bukan menciptakan dikotomi baru yang justru bisa memecah belah kesetaraan di dunia pendidikan. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES