Kopi TIMES

Dibalik Topeng Kapitalisme Hijau

Rabu, 28 Mei 2025 - 09:01 | 24.70k
Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBER – Kalau kamu pernah mendengar istilah “kapitalisme hijau”, mungkin langsung kebayang deretan panel surya dan pabrik yang tetiba ramah lingkungan. Padahal, cerita di balik label itu jauh lebih rumit. 

Sejarahnya, krisis lingkungan global dari Sungai Cuyahoga di AS yang sempat terbakar sampai kabut tebal di kota industri mendorong munculnya regulasi dan tuntutan publik supaya perusahaan bertanggung jawab. Dari situ, tumbuh peluang bisnis baru: solusi hijau. 

Advertisement

Korporasi besar melihat potensi cuan dengan menjual energi terbarukan, kendaraan listrik, hingga kemasan ramah lingkungan. Pemerintah ikut mendukung lewat subsidi dan insentif pajak, investor berbondong menanam modal pada perusahaan berpredikat ESG tinggi, dan perlahan “hijau” jadi nilai jual utama. Namun, motivasi ekonomi seringkali mendahului niat tulus untuk memulihkan alam. 

Inti kapitalisme hijau pada dasarnya adalah cara baru meraup keuntungan sekaligus menepuk dada soal kepedulian lingkungan-tapi kita perlu menelisik lebih jauh, apakah yang terjadi benar-benar transformasi fundamental atau hanya soal mencetak label.

Akar Kapitalisme Hijau

Karena polusi industri pernah “membakar” sungai dan mengubur kota dalam kabut, dunia bereaksi dengan regulasi lingkungan yang ketat. Pemerintah negara maju memaksa emiten besar menurunkan tingkat emisi, sementara lembaga internasional menetapkan standar keberlanjutan global. 

Dari situ, para pelaku industri mendeteksi peluang: jika mereka bisa menawarkan solusi hijau, seperti panel surya, kendaraan listrik, atau kemasan daur ulang, maka sekaligus membantu menangani masalah lingkungan dan memperlebar lahan bisnis. 

Insentif pajak, subsidi, dan keringanan bea masuk untuk teknologi ramah lingkungan semakin membuka akses pasar, hingga sertifikat “hijau” menjadi semacam tiket emas untuk meraup investasi. 

Dana pensiun dan manajer aset pun tak mau ketinggalan: mereka mulai melirik perusahaan dengan skor ESG tinggi, menganggapnya lebih aman dari risiko regulasi dan potensi boomerang kampanye negatif. 

Pada titik ini, “sosialisme pasar” ala Deng Xiaoping bertemu “green economy” dunia barat produksi tetap diutamakan, hanya saja dibubuhi label ramah lingkungan.

Industri otomotif, misalnya, mengejar target emisi nol lewat riset mobil listrik dan jembatan pengisian baterai di setiap kota besar. Di sektor kemasan, pabrik-pabrik besar mengklaim sudah beralih ke plastik biodegradable atau material berbasis tumbuhan. 

Sekilas, inovasi ini memang terasa transformatif. Namun saat menelusuri laporan tahunan, kita sering menemukan bahwa porsi produk hijau masih relatif kecil dibanding arus utama produksi. 

Modal investor yang mengalir bukan selalu dipakai memperluas lini hijau, melainkan untuk mendanai kampanye pemasaran agar merek tampak lebih progresif. Akhirnya, akar kapitalisme hijau lebih banyak dipacu oleh logika profit, bukan oleh kepedulian murni pada alam.

Topeng Greenwashing

Greenwashing adalah praktik mencitrakan diri sangat peduli lingkungan, padahal di balik layar, model bisnisnya nyaris tak berubah. Contohnya, sabun deterjen dengan label “eco-friendly” yang sebetulnya masih mengandung surfaktan sintetis sulit terurai. 

Atau kemasan makanan instan yang memakai klaim “100% biodegradable” padahal lapisan plastik tipis sekali pun membutuhkan puluhan tahun untuk terurai di alam. 

Perusahaan pun gemar memasang foto pepohonan hijau atau lautan biru di iklan, sembari menutup-nutupi angka emisi dan limbah berbahaya di lampiran laporan yang hampir tak ada yang membaca.

Laporan ESG yang disusun sendiri pun seringkali dipoles seindah mungkin. Data emisi total dipilihkan per sub-sektor, agar tampak menurun, meski jumlah pabrik dan jam operasi meningkat. Bagian limbah racun dan pemakaian air tekstil misalnya, bisa disembunyikan di dokumen terpisah. 

Bila dikorek lebih dalam, ternyata pabrik utama masih memompa polutan ke sungai setempat, menunggu audit rutin untuk menutupi pelanggaran. Bahkan proyek hijau berskala kecil seperti menanam sejuta pohon kadang hanya sekadar gimmick CSR. 

Produksi minyak, batubara, atau produk kimia berbahaya terus beroperasi dan menyumbang emisi jauh lebih besar daripada manfaat program penanaman pohon tersebut. Hasilnya, konsumen dan investor terjebak pada baju hijau kosong, tanpa perubahan substansial yang mengarah pada ekosistem yang lebih sehat.

Melepaskan Diri dari Topeng

Kalau kapitalisme hijau yang ala-ala sudah terbukti banyak tipu muslihat, apakah kita harus menolak semua klaim hijau begitu saja? Tidak juga. Solusinya terletak pada model bisnis yang benar-benar mendasar: ekonomi sirkular sejati. Bayangkan desain produk yang modular, setiap komponennya bisa dilepas, diperbaiki, atau didaur ulang tanpa meninggalkan limbah berbahaya. 

Ponsel yang modul baterainya bisa diganti, pakaian yang terbuat dari serat tumbuhan pigmentasinya alami, hingga kemasan makanan yang bukan sekadar “terurai” melainkan memberi manfaat bagi tanah semua ini menuntut perubahan total di rantai pasok, mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, distribusi, hingga pola konsumsi masyarakat.

Selain itu, transparansi mutlak wajib ditegakkan. Pemerintah dan lembaga independen dapat membangun platform opendata emisi pabrik, data jejak air, dan pemantauan kualitas udara di sekitar kawasan industri semua hasilnya bisa diakses publik secara real time. 

Jika ada perusahaan yang masih menyembunyikan jejak karbonnya, konsumen berhak memboikot, investor berhak mencabut dana. Standar global seperti GRI atau SASB perlu dijadikan patokan minimum, tidak sekadar sebagai pajangan di website.

Audit independenbukan yang disewa sendiri harus rutin dilakukan dan dipublikasikan lengkap, bukan sekadar rangkuman memikat di slide presentasi.

Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil juga tak bisa diabaikan. Pemerintah perlu menutup celah regulasi yang mempermudah greenwashing dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggaran. Bisnis pun harus berani mengalokasikan dana riset untuk inovasi jangka panjang, bukan hanya memoles kampanye sosial media. 

Masyarakat, dari konsumen hingga aktivis, punya peran strategis lewat pilihan belanja dan tekanan publik: kalau produk tidak terbukti berkelanjutan, pindahkan dukungan ke merek lain yang transparan. Sekali pun model ini menuntut komitmen, inilah satu-satunya jalan melepaskan topeng hijau dan mendorong transformasi sejati. (*)

***

*) Oleh : Sajad Khawarismi Maulana Musthofa, Mahasiswa Aktif UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES