Kopi TIMES

Filossofi Unta Nabi SAW Yang Tak Terkalahkan

Rabu, 28 Mei 2025 - 11:46 | 15.58k
Thoriq Al Anshori, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang dan Wakil Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur.
Thoriq Al Anshori, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang dan Wakil Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dahulu Nabi Muhammad SAW memiliki unta bernama Adhba’. Terkenal larinya sangat cepat. Banyak diantara para sahabat yang ingin mengadu kecepatan untanya dengan adhba’ namun selalu kalah. Maka di saat itu sangat popular sekali jika unta Nabi SAW yang satu ini tak tertandingi. HIngga suatu Ketika datang seorang badui membawa untanya untuk diadu balap dengan unta Nabi SAW. Apa yang terjadi? Ternyata Adhba’ kalah dalam balapan tersebut.

Untuk pertama kalinya Adhba’ kalah. Banyak yang terheran heran dengan fenomena ini. Para sahabat pun seperti berat melihat fenomena tersebut. Di satu sisi mungkin mereka memikirkan bagaimana perasaan Nabi SAW tentang reputasi untanya yang tak terkalahkan tiba tiba harus tumbang oleh unta si badui ini.

Advertisement

Baginda Nabi SAW menyaksikan raut kecewa di wajah mereka seraya mengatakan:

حق على الله أن لا يرتفع الدنيا إلا وضعه

Yang kurang lebih memiliki arti; Sudah merupakan sunnatullah di dunia ini sesuatu yang pernah Berjaya pasti ada fase tumbangnya. Pada moment ini Nabi SAW ingin mengajarkan filosofis kehidupan yang dalam. Bahwa siklus kehidupan dunia adalah tentang datang dan pergi. Watak dunia yang utama adalah ketidak abadian. Kekuatan fisik yang dimiliki, kecantikan, ketampanan, jabatan, kekayaan, pengaruh dan seterusnya ada masanya dan ada batasnya. Pada saatnya nanti pasti akan sirna dan yang kekal hanyalah Allah SWT.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Teladan Nabi Muhammad SAW dalam mendidik para sahabat-sahabatnya sanfat membekas di hati para sahabat-sahabatnya. Bahkan dalam penyebutan orang orang di sekeliling beliau pun beliau lebih memilih diksi SAHABAT atau orang yang menjadi teman baik. Nabi SAW menganggap umatnya sebagai teman baik semua. Sehingga orang orang di sekelilingnya cenderung merasa disayang oleh beliau tidak merasa dijadikan bawahannya atau ada relasi kekuasaan yang dominan.

Sebagaimana apa yang disampaikan Ibnu Athaillah as Sakandari, idza arodta an takuuna laka izzun laa yafna falaa tasta’izzanna bi izzin yafna, jika engkau ingin memiliki kemulyaan yang tak akan rusak maka janganlah engkau menyandarkan kemulyaan kepada kemulyaan yang mudah sirna. Yaitu dari makhluk.

Ibnu Athaillah memandang dunia sebagai tempat ujian dan kesedihan, serta sebagai wadah di mana Allah SWT meletakkan beban kepada manusia. Ia menekankan pentingnya zuhud bukan dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan menjauhkan hati dari selain Allah dan bersyukur atas nikmat dunia dan menggunakannya sebagai jalan menuju Allah.

اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا

Artinya, “Orang-orang ‘ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” (Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id         

Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Namun, bagi orang-orang yang bersifat ârifbillâh, semua itu sangat menakutkan.  Kenapa begitu? Karena itu, orang yang dekat dengan Allah akan merasa lebih tenang dan tenang saat menjalankan semua perintah-Nya. Sebaliknya, jika semua keinginan mereka terpenuhi, orang mungkin menjadi sombong dan tidak bersyukur atas nikmat-Nya.

Kelapangan dapat menyebabkan nafsu untuk melupakan Allah yang memberikan anugerah.  Orang yang lapang lebih cenderung menikmati segala sesuatu yang mereka inginkan.  Ini adalah sikap egois yang kadang-kadang menyebabkan orang lalai.  Seolah-olah ketika hal ini terjadi, kewajiban agama menjadi beban berat, dan ibadah pun dilakukan dengan hati yang tidak ikhlas dan penuh semangat.

Tidak sama dalam situasi sulit. Banyak hal tertahan dan tidak dapat diperoleh. Manusia tidak dapat memanjakan dirinya karena berada dalam kondisi yang sangat terbatas. Oleh karena itu, tidak ada keinginan untuk lalai memanjakan diri, dan kewajiban agama pun dapat dipenuhi dengan mudah. Bagaimana mungkin untuk memanjakan diri sendiri ketika ia berada dalam kondisi yang tidak memadai?

Dalam hal anugerah dan harapan, ini menunjukkan hubungan manusia dengan Allah swt.  Allah menghalangi berbagai harapan dan keinginan manusia karena bahaya yang tidak diketahuinya, sementara manusia sama seperti anak kecil yang lugu dan polos. Semua anggapan baik yang dimiliki manusia mungkin justru merupakan keburukan yang tidak diinginkan Allah. Oleh karena itu, yang paling penting dalam hidup adalah melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu berkorelasi dengan kebijaksanaan-Nya, tidak ada hal yang lebih baik atas semua kejadian yang menimpa manusia daripada mempelajari dan menggali hikmah untuk meraih keridhaan-Nya. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Thoriq Al Anshori, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang dan Wakil Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES