Kisah Teladan Dari Nabiyyullah Ibrahim AS dan Ismail AS

TIMESINDONESIA, MALANG – Bulan Dzulhijjah dalam kalender Islam, bulan yang penuh keberkahan dan menjadi momen penting bagi umat Muslim di seluruh dunia untuk memperingati Idul Adha, hari raya yang sarat makna. Hari Idul Adha bukan hanya tentang menyembelih hewan kurban, tapi lebih dalam dari itu. Ia adalah momen untuk belajar taat, sabar, dan ikhlas kepada Allah.
Hari Raya Idul Adha diperingati umat Islam pada tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahunnya. Peringatan tersebut sebagai bentuk mengenang kisah teladan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Peristiwa besar dan agung dari kerelaan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail tentunya memiliki banyak hikmah dan pelajaran yang sangat berharga untuk dipahami dan diteladani. idul Adha merupakan sebuah perayaan penting yang telah mengajarkan banyak hikmah tak ternilai dalam kehidupan bagi umat Islam.
Advertisement
Sering kali kita hanya mengingat sosok Nabi Ibrahim alaihissalam dalam kisah Idul Adha. Padahal, ada satu tokoh yang tak kalah hebat. Siapa dia? Beliau adalah Nabi Ismail alaihissalam. Putra Nabi Ibrahim yang menunjukkan keimanan dan ketundukan luar biasa kepada Allah SWT sejak usia sangat belia. Nabi Ibrahim mendapat mimpi sebanyak tiga kali berturut-turut untuk menyembelih anaknya, Ismail, yang saat itu masih berusia 7 tahun. Sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim tentunya merasa bingung dan gelisah. Namun, ia memutuskan untuk berbicara dengan Nabi Ismail. Dalam surat As-Sffat ayat 102, Allah SWT bersabda:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى
Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’” Jika kita sebagai manusia biasa yang jadi Ismail, mungkin akan langsung menangis, protes, atau lari. Lantas, apa yang ia katakan?
قَالَ ياأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَآءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya, “Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS As-Saffat: 102).
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Nabi Ismail bukanlah sekadar seorang anak yang pasif menerima takdir. Beliau adalah sosok yang dengan penuh kesadaran dan ketaatan, turut menjalani perintah Allah bersama ayahnya.Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail kemudian melaksanakan perintah Allah Swt. dengan ikhlas meski hatinya begitu perih tak terkira. Ketika akan menyembelih, dalam keadaan tenang Ismail berkata kepada ayahnya:
Ayah, ku harap kaki dan tanganku diikat, supaya aku tidak dapat bergerak leluasa, sehingga menyusahkan ayah. Hadapkan mukaku ke tanah, supaya tidak melihatnya, sebab kalau ayah melihat nanti akan merasa kasihan. Lepaskan bajuku, agar tidak terkena darah yang nantinya menimbulkan kenangan yang menyedihkan. Asahlah tajam-tajam pisau ayah, agar penyembelihan berjalan singkat, sebab sakaratul maut dahsyat sekali.
Bukan hanya memikirkan penderitaan yang mungkin dialami ayahnya, Ismail juga memikirkan ibunya. Ia kemudian berkata:
Berikan bajuku kepada ibu untuk kenang-kenangan serta sampaikan salamku kepadanya supaya dia tetap sabar, saya dilindungi Allah SWT, jangan cerita bagaimana ayah mengikat tanganku. Jangan izinkan anak-anak sebayaku datang kerumah, agar kesedihan ibu tidak terulang kembali, dan apabila ayah melihat anak-anak sebayaku, janganlah terlampau jauh untuk diperhatikan, nanti ayah akan bersedih.
Dengan linangan air mata, Nabi Ibrahim menjawab, "Baiklah anakku, Allah Swt. akan menolongmu." Setelah itu, Ismail dibaringkan di atas sebuah batu dan pisau pun diletakkan di atas leher belakangnya. Ibrahim menyembelih dengan menekan pisau itu kuat-kuat, tapi Ismail tidak terluka sedikit pun. Padahal, pisaunya telah berkali-kali diasah hingga sangat tajam. Pada momen tersebut, Allah Swt. berfirman dalam surat As-Saffat ayat 104-108:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.
Wa nādaināhu ay yā ibrāhīm Qad ṣaddaqtar-ru`yā, innā każālika najzil-muḥsinīn Inna hāżā lahuwal-balā`ul mubīn Wa fadaināhu biżib-ḥin 'aẓīm Wa taraknā 'alaihi fil-ākhirīn.
Artinya, “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (QS As-Saffat: 104-108)
Dari Nabi Ismail kita belajar arti sebuah pengorbanan. Bukan soal nyawa yang melayang, tapi soal hati yang rela, soal keyakinan bahwa perintah Allah pasti membawa kebaikan walaupun kita tidak langsung mengerti hikmahnya. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |