Demo Driver Ojol: Tuntutan Keadilan di Tengah Bisnis yang Semakin Ketat

TIMESINDONESIA, MALANG – Akhir-akhir ini, aksi unjuk rasa atau demo yang dilakukan oleh para driver ojek online (ojol) kembali marak terjadi. Mereka turun ke jalan menyuarakan berbagai keluhan yang selama ini dirasakan, mulai dari potongan komisi yang dinilai terlalu tinggi hingga ketidakadilan dalam pembagian order.
Demo ini bukanlah yang pertama kali terjadi, namun kali ini tensinya terasa lebih panas karena tekanan ekonomi yang semakin berat. Beberapa tuntutan utama yang terus disuarakan antara lain penurunan persentase komisi aplikasi, kenaikan tarif dasar layanan, perlindungan dan insentif yang lebih baik dari perusahaan, serta transparansi dalam pembagian order.
Advertisement
Persoalan ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan mencerminkan ketegangan antara kepentingan perusahaan yang ingin efisiensi dan profit dengan kesejahteraan mitra driver yang menjadi tulang punggung operasional mereka.
Salah satu isu paling krusial yang memicu demo adalah besarnya potongan komisi yang diambil oleh perusahaan penyedia layanan ojol seperti Gojek, Grab, atau Maxim. Para driver mengeluh bahwa komisi yang mencapai 20-30% dari setiap order dirasa terlalu memberatkan, terutama di tengah kenaikan harga BBM dan biaya hidup yang terus melambung.
Mereka berargumen bahwa dengan potongan sebesar itu, pendapatan bersih mereka semakin menipis, padahal mereka harus menanggung biaya perawatan kendaraan, bahan bakar, dan kebutuhan sehari-hari. Tuntutan untuk menurunkan komisi bukan tanpa alasan—banyak driver merasa bahwa perusahaan terlalu dominan dalam menentukan kebijakan tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.
Selain masalah komisi, tarif dasar layanan juga menjadi sorotan. Para driver menilai bahwa tarif yang berlaku saat ini tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi. Harga layanan ojol cenderung stagnan atau bahkan turun karena persaingan antarpihak penyedia jasa, sementara biaya operasional terus naik. Akibatnya, pendapatan mereka semakin tidak sebanding dengan kerja keras yang dikeluarkan.
Banyak driver yang harus online lebih dari 12 jam sehari hanya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup, sebuah situasi yang jauh dari kata layak. Mereka menuntut perusahaan untuk meninjau ulang struktur tarif, setidaknya menyesuaikan dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Permasalahan lain yang sering diangkat adalah kurangnya transparansi dalam pembagian order. Banyak driver mengeluh bahwa sistem algoritma yang digunakan oleh aplikasi ojol tidak adil—beberapa driver kerap mendapatkan order lebih banyak, sementara yang lain bisa menganggur berjam-jam tanpa pesanan. Ketidakjelasan mekanisme ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kecurangan atau preferensi tertentu dari sistem. Driver meminta perusahaan untuk lebih terbuka dalam menjelaskan cara kerja algoritma tersebut agar tidak ada kesan diskriminasi. Selain itu, mereka juga ingin ada sistem yang lebih meritokratis, di mana driver yang rajin dan berkualitas tidak dirugikan oleh mekanisme yang tidak jelas.
Demo-demo ini sebenarnya adalah puncak gunung es dari persoalan yang sudah lama mengendap. Di satu sisi, perusahaan ojol beroperasi dengan logika bisnis yang mengejar efisiensi dan profitabilitas. Mereka harus bersaing di pasar yang ketat, sehingga kebijakan seperti komisi tinggi atau tarif rendah dianggap perlu untuk mempertahankan konsumen.
Namun di sisi lain, driver sebagai mitra inti justru merasa dieksploitasi—mereka menanggung beban operasional, tetapi tidak mendapatkan kesejahteraan yang memadai. Ketegangan ini semakin diperparah oleh semakin banyaknya driver baru yang masuk ke dalam sistem, membuat persaingan antarsesama driver semakin sengit.
Lalu, adakah solusi jangka panjang untuk masalah ini? Tampaknya, regulasi yang lebih jelas dari pemerintah dibutuhkan untuk menengahi konflik antara perusahaan dan mitra driver. Selama ini, ojol beroperasi dalam ruang yang relatif bebas dengan minim intervensi negara. Namun, melihat besarnya dampak sosial-ekonomi dari bisnis ini, pemerintah mungkin perlu turun tangan untuk menetapkan standar upah minimum, batasan komisi, atau mekanisme pembagian order yang lebih adil. Selain itu, perusahaan juga harus mulai memikirkan model bisnis yang lebih berkelanjutan—bukan hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek, tetapi juga memastikan kesejahteraan mitra drivernya.
Demo driver ojol bukan sekadar aksi protes biasa, melainkan cerminan dari ketimpangan dalam ekonomi gig yang semakin mengglobal. Jika tidak ada perubahan kebijakan, bukan tidak mungkin gelombang ketidakpuasan akan terus berulang. Para driver tidak menuntut hal yang muluk—mereka hanya ingin dihargai dengan layak sebagai bagian penting dari bisnis yang justru mengandalkan mereka. Sudah saatnya perusahaan dan regulator duduk bersama untuk mencari solusi yang berkeadilan, sebelum masalah ini meluas menjadi krisis yang lebih besar. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |