
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) Indonesia diperingati setiap tanggal 29 Mei, memetik momentum saat Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, anggota tertua BPUPKI, membuka sidang pertamanya pada 29 Mei 1945.
Lantas, Presiden Soeharto yang mula-mula mencanangkan secara resmi HLUN pada 29 Mei 1996 di Semarang. Tahun ini, tajuk yang diusung adalah “Lansia Bahagia, Indonesia Sejahtera.”
Advertisement
Tema ini menegaskan bahwa kesejahteraan bangsa tidak dapat dipisahkan dari kebahagiaan para lansianya. Pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama adalah bagaimana kita dapat menghadirkan kebahagiaan kepada lansia?
Kebahagiaan tidak serta merta hadir dari tercukupinya semua kebutuhan. Ia justru tumbuh ketika seseorang mampu memaknai hidupnya. Ralph Waldo Emerson menyebutkan, "the purpose of life is not to be happy. It is to be useful." Seringkali kebahagiaan sejati hadir bukan saat segala ada, tetapi saat seseorang merasa dirinya masih berguna.
Di usia senja, kebahagiaan seperti ini bisa dihadirkan ketika lansia merasa masih bernilai dan diberi ruang untuk terlibat dalam kehidupan. Ini bukan semata isu psikologis, tetapi menyentuh aspek moral, sosial, dan kebijakan publik.
Kebahagiaan lansia bertumpu pada dua pilar: faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal mencakup akses terhadap layanan kesehatan dan kesejahteraan pada aspek fisik, mental, dan spiritual. Juga, ketersediaan ruang dan fasilitas publik yang memfasilitasi mobilitas dan sosialisasi lansia.
Di sinilah keluarga, masyarakat, dan negara memegang peran penting. Negara melalui UU No. 13 Th. 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, serta Rencana Aksi Nasional Lansia, menetapkan bahwa lansia berhak atas perlindungan, pelayanan, dan pemberdayaan.
Pada tingkat internasional, Madrid International Plan of Action on Ageing (2002) mendorong negara menciptakan lingkungan ramah lansia. Sementara Sustainable Development Goals (SDGs), terutama Goal 3 (Good Health and Well-Being) dan Goal 10 (Reduced Inequalities), juga menekankan pentingnya inklusivitas lansia dalam kehidupan masyarakat.
Faktor internal, yang menjadi pendorong pencapaian kebahagiaan dari dalam diri lansia sendiri yang antara lain meliputi: persepsi positif tentang makna hidup, kemampuan menerima kondisi dirinya dengan syukur, kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi, ketahanan psikologis terhadap kehilangan atau perubahan, keyakinan bahwa dirinya masih bisa berkontribusi, sekecil apa pun itu.
Dalam psikologi positif, konsep successful aging menekankan tiga hal: keterlibatan sosial, minimnya hambatan fisik yang menghalangi partisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan personal, dan fungsi kognitif yang tetap aktif. Artinya, kebahagiaan lansia bukan tentang “pasrah”, tapi resiliensi aktif yang tumbuh dari pemaknaan hidup.
Ruang untuk Berperan dan Menumbuhkan Makna
Lansia sering kali terpinggirkan dari hiruk pikuk kehidupan. Ada yang hidup sendiri, ada pula yang tinggal bersama keluarga tetapi merasa asing. Melibatkan lansia bukan hal mustahil. Keterlibatan tidak harus berskala besar. Keterlibatan sekecil apa pun, jika bermakna, bisa menumbuhkan rasa bahagia dan eksistensi diri.
Berangkat dari sini, lansia harus dilihat bukan sebagai beban, tetapi sebagai modalitas bangsa. Mereka membawa wisdom, memori sejarah, pengalaman kegagalan dan keberhasilan, serta pelajaran hidup yang tak semua orang bisa menuai hikmahnya.
Lansia adalah penjaga nilai, pengawal moral, dan bisa menjadi pembimbing generasi muda. Buya Hamka mengatakan "tua bukan berarti lemah, tua adalah saatnya memetik hikmah."
Lansia bisa dilibatkan, misalnya, dalam program "membangun jiwa" anak bangsa melalui kegiatan mendongeng, menjadi narasumber di komunitas, atau mentor di sekolah kehidupan. Di situlah hidup kembali menemukan maknanya. "The best classroom in the world is at the feet of an elderly person," demikian kata Andy Rooney, jurnalis Amerika Serikat.
Di Jepang, sebagai negara yang telah lebih memasuki era aging society, punya kebijakan Silver Human Resources Centers yang menajdi wadah bagi lansia untuk tetap bekerja paruh waktu dan berkontribusi. Mereka menerima upah yang dibayar secara layak, namun lebih dari itu, mereka merasa dihargai dan bisa membuktikan bahwa mereka tidak menjadi beban.
Di Indonesia, beberapa daerah mulai menjalankan Posyandu Lansia, tak hanya untuk cek kesehatan, tapi juga ruang sosial dan berbagi pengalaman. Di Surabaya, misalnya, melalui Karang Werda dan Sekolah Lansia Tangguh (Selantang), komunitas lansia aktif mengisi kegiatan seperti mengajar keterampilan, mendampingi anak yatim, bahkan menjadi pengurus lingkungan.
Mereka tak dianggap “selesai,” tetapi masih relevan. "Manusia adalah makhluk sosial. Selama ia merasa terhubung, ia merasa hidup." Erik Erikson, psikolog perkembangan menekankan successful aging itu melibatkan keterhubungan sosial dan kontribusi nyata dalam masyarakat.
Pada akhirnya, sekali lagi, lansia bahagia bukan karena segalanya tersedia, tapi karena mereka masih memiliki ruang untuk memberi makna. Being needed adalah dasar eksistensial manusia.
Apabila kita ingin Indonesia sejahtera, mari beri ruang dan peran bagi lansia. Di situlah kebahagiaan mereka bermuara, di situlah bangsa ini akan tumbuh dengan akar nilai yang kuat.(*)
***
*) Oleh : Jani Purnawanty, S.H., S.S., LL.M., Dosen dan Peneliti Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |