
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – 1 Juni telah ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila dan Indonesia, sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, telah menetapkan Pancasila sebagai dasar ideologis dan filosofis negara. Lima sila yang terkandung dalam Pancasila dirancang untuk menjadi fondasi moral dan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, realitas yang terjadi di lapangan justru sering kali bertolak belakang. Salah satu manifestasi paling menyedihkan dari kegagalan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam praktik adalah merebaknya korupsi di berbagai lini kehidupan, terutama di sektor pemerintahan dan lembaga negara.
Advertisement
Fenomena korupsi yang merajalela di Indonesia menciptakan sebuah paradoks besar: negara yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keadilan justru terjebak dalam lingkaran setan praktik kotor yang merugikan rakyatnya sendiri.
Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Ia telah mengakar sejak masa Orde Lama, menguat di era Orde Baru, dan terus bertahan bahkan setelah reformasi bergulir.
Yang mencemaskan adalah bahwa korupsi tidak hanya berlangsung secara individual, tetapi telah menjadi bagian dari sistem—terinstitusionalisasi dan, dalam banyak kasus, dilakukan secara kolektif.
Banyak pejabat publik yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan wewenang dan manipulasi anggaran negara. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan kerap mengutip Pancasila dalam pidato dan pernyataan resmi, seolah-olah mereka adalah penjaga nilai-nilai luhur bangsa.
Nilai-nilai Pancasila dan Paradok Penerapanya
Paradoks ini menjadi sangat nyata ketika kita membedah sila-sila Pancasila satu per satu. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", menekankan pentingnya moralitas dan akhlak dalam berkehidupan.
Namun, korupsi menunjukkan kegagalan spiritual. Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku beriman dan taat kepada Tuhan, justru melakukan tindakan yang sangat merugikan sesama dan merusak tatanan sosial?
Tindakan korupsi bukan hanya kejahatan administratif atau ekonomi, tetapi juga kejahatan moral dan kemanusiaan. Ia mencerminkan kehilangan nurani dan lemahnya kontrol diri, sekaligus kegagalan dalam menjadikan agama sebagai pedoman etika.
Sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab", sejatinya mengajak kita untuk menghormati martabat setiap individu dan memperjuangkan keadilan sosial. Tetapi korupsi justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan.
Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur umum, lenyap di tangan segelintir elite yang haus kekuasaan dan kekayaan.
Rakyat miskin menjadi korban dari sistem yang timpang dan penuh manipulasi. Ketika keadilan hanya menjadi slogan, dan hukum dapat dibeli, maka prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi sekadar retorika kosong.
Sila ketiga, "Persatuan Indonesia", juga tidak luput dari paradoks. Korupsi telah memecah belah bangsa, menciptakan jurang antara penguasa dan rakyat. Ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara meningkat tajam karena banyak kasus korupsi tidak ditangani secara transparan.
Akibatnya, rasa kebangsaan dan solidaritas sosial melemah. Masyarakat menjadi apatis, bahkan sinis terhadap wacana persatuan, karena mereka merasa negara tidak hadir dalam kehidupan mereka secara adil dan bermartabat.
Sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", mengandung prinsip demokrasi yang berbasis musyawarah dan kearifan. Namun realitasnya, demokrasi kita sering kali dikotori oleh praktik politik uang, suap, dan nepotisme.
Para wakil rakyat tidak jarang terlibat dalam kasus korupsi besar, dari pengadaan barang dan jasa, hingga alokasi anggaran daerah. Alih-alih menjadi perwakilan aspirasi rakyat, mereka justru menjelma menjadi kelompok yang memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan.
Terakhir, sila kelima, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", merupakan tujuan akhir dari seluruh sila sebelumnya. Namun, korupsi telah menjadi penghambat utama dalam mewujudkan keadilan sosial.
Ketimpangan ekonomi, akses pendidikan yang tidak merata, dan layanan kesehatan yang terbatas adalah beberapa dampak nyata dari sistem yang dikorupsi. Pembangunan menjadi tidak merata, dan masyarakat kecil kembali menjadi korban dari ketidakadilan struktural yang berlangsung terus-menerus.
Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa korupsi masih terus merajalela di negara yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara? Jawabannya kompleks dan melibatkan banyak faktor.
Pertama, lemahnya penegakan hukum menjadi akar utama. Banyak kasus korupsi yang tidak ditangani secara serius, atau bahkan dihentikan karena intervensi politik.
Kedua, budaya permisif terhadap korupsi masih hidup dalam masyarakat. Tidak jarang, pelaku korupsi tetap dihormati, bahkan dielu-elukan, karena kekayaan atau jabatan yang mereka miliki.
Ketiga, pendidikan karakter yang lemah membuat nilai-nilai Pancasila tidak tertanam secara mendalam dalam diri individu sejak dini. Pancasila hanya diajarkan sebagai hafalan, bukan sebagai nilai yang harus diinternalisasi dan dijadikan pedoman hidup.
Untuk keluar dari paradoks ini, Indonesia memerlukan upaya kolektif dan kesadaran nasional yang sungguh-sungguh. Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Institusi penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian harus dikuatkan dan dibebaskan dari intervensi politik.
Pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini, tidak hanya di bangku sekolah tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari, melalui teladan dari keluarga dan masyarakat. Yang paling penting adalah membumikan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praktik, bukan sekadar wacana. Pancasila harus hidup dalam tindakan, bukan hanya di baliho atau pidato seremonial.
Korupsi bukan hanya soal uang yang dicuri, tetapi juga tentang masa depan yang dirampas. Ia menghancurkan kepercayaan publik, merusak tatanan sosial, dan memperlambat kemajuan bangsa. Negara yang didirikan atas dasar nilai luhur Pancasila tidak pantas dikuasai oleh praktik yang bertentangan dengan etika, moralitas, dan keadilan.
Jika kita ingin Indonesia benar-benar menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur, maka perang terhadap korupsi harus menjadi agenda bersama—tidak hanya oleh pemerintah, tetapi oleh seluruh elemen bangsa.
Paradoks antara korupsi dan Pancasila adalah cermin bagi kita semua. Ia menantang setiap warga negara untuk bertanya: apakah kita sungguh-sungguh hidup sesuai dengan nilai-nilai yang kita agungkan?
Atau kita hanya menjadikannya simbol kosong untuk membungkus kemunafikan dan kepentingan pribadi? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan nasib bangsa ini ke depan.
***
*) Oleh : Anshori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |