Kopi TIMES

Kebijakan dan Praktik Mendukung Pertanian Hijau di Indonesia

Selasa, 03 Juni 2025 - 10:11 | 31.07k
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam momentum peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), kita diingatkan bahwa pertanian dan pelestarian alam tidak bisa dipisahkan. Pertanian hijau bukan lagi sekadar jargon, tetapi kebutuhan nyata untuk menjamin ketahanan pangan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem. 

Sebagai negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya berupa kawasan hutan tropis, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan sistem pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan. 

Advertisement

Komitmen ini tercermin dalam kontribusi nasional yang ditetapkan melalui Nationally Determined Contribution (NDC), dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% secara mandiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Dari lima sektor utama yang menjadi fokus penurunan emisi, kehutanan dan pertanian menempati porsi besar dan strategis.

Sebagai langkah konkret, pemerintah telah meluncurkan strategi FOLU Net Sink 2030 yang menargetkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan (Forestry and Other Land Use-FOLU) menjadi penyerap karbon bersih sebesar–140 juta ton CO₂ ekuivalen pada tahun 2030. 

Dalam dokumen NDC terbaru, sektor FOLU menyumbang hampir 60% dari total proyeksi pengurangan emisi nasional. Artinya, pengendalian deforestasi dan rehabilitasi hutan menjadi kunci sukses mitigasi perubahan iklim di Indonesia. 

Strategi ini tak hanya menjadi instrumen diplomasi iklim di forum internasional, tetapi juga menjadi dasar arah pembangunan nasional yang rendah karbon dan berketahanan iklim. Di sisi lain, peran aktif pemerintah daerah menjadi krusial dalam mendampingi masyarakat dan pelaku usaha agar turut berkontribusi menurunkan emisi melalui praktik pertanian ramah lingkungan.

Praktik Pertanian Hijau

Di lapangan, beragam praktik baik telah dijalankan sebagai wujud nyata pertanian hijau. Salah satu terobosan penting adalah program Perhutanan Sosial, yang memberikan hak kelola hutan kepada masyarakat desa melalui lima skema: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat. 

Sebelum 2015, hanya sekitar 4% kawasan hutan yang dikelola langsung oleh masyarakat. Kini, melalui program ini pemerintah menargetkan peningkatan akses masyarakat hingga 30%. Hingga akhir 2023, capaian perhutanan sosial telah menjangkau 6,3 juta hektar dengan 9.642 surat keputusan izin yang diterbitkan. 

Contohnya, petani di Jawa Barat menanam kopi dan sayuran di kawasan hutan yang dikelola bersama. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan pendapatan rumah tangga petani, tetapi juga memperkuat tutupan hijau dan menyumbang pada nilai ekonomi karbon nasional.

Selain perhutanan sosial, praktik agroforestri juga berkembang pesat di berbagai daerah, terutama di Aceh. Pemerintah Kabupaten Pidie, misalnya, menjalankan program Agroforestri Pangan yang mengintegrasikan padi gogo dengan tanaman multiguna seperti kopi, cabai, dan buah-buahan dalam satu bentang lahan. 

Pada 2025, Pemerintah Aceh menargetkan penanaman 25 hektar padi gogo dalam pola tumpangsari di area perhutanan sosial, sebagai bagian dari strategi swasembada beras nasional. Program ini sejalan dengan Nota Kesepahaman antara Kementerian Pertanian dan KLHK dalam mendorong praktik pertanian berbasis agroforestri. 

Pendekatan tersebut terbukti menjaga produktivitas sekaligus memperkuat daya dukung ekologi lahan. Dengan diversifikasi tanaman, petani mendapat manfaat ekonomi yang lebih stabil, sembari menjaga keanekaragaman hayati dan kualitas tanah.

Di sektor perkebunan sawit, inisiatif sertifikasi dan kemitraan antara petani dan perusahaan memperlihatkan hasil positif. Banyak koperasi petani maupun perusahaan besar telah mengadopsi skema sertifikasi berkelanjutan seperti ISPO dan RSPO. 

Contohnya, penyalurkan premi dari perusahaan senilai Rp442 juta kepada petani mitra di Belitung Timur sebagai bagian dari profit sharing minyak sawit berkelanjutan. Premi ini menjadi insentif bagi petani yang menjalankan praktik tanam tanpa bakar dan pengelolaan lahan yang sesuai kaidah lingkungan. 

Di Sulawesi Barat, Koperasi Petani Sawit KOIPES menjalin kemitraan dengan swasta untuk memproduksi turunan kelapa sawit. Model kemitraan ini mendukung penguatan koperasi, akses pasar, dan alih teknologi, sejalan dengan regulasi Kemitraan Perkebunan (PP 44/1997) dan arahan Kementerian Pertanian dalam pemerataan manfaat industri sawit bagi petani kecil.

Lebih jauh, sektor swasta dan perbankan juga mulai memainkan peran penting melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), insentif keuangan hijau, dan kebijakan pembiayaan berkelanjutan. Banyak perusahaan perkebunan menjalankan CSR yang berfokus pada rehabilitasi lahan kritis, pelatihan pertanian organik, dan dukungan pada hutan kemasyarakatan. 

Di sisi lain, lembaga keuangan seperti Bank Negara Indonesia (BNI) mencatat portofolio green financing senilai Rp73,4 triliun pada 2024, termasuk untuk proyek energi terbarukan dan pengelolaan lahan berkelanjutan. BNI juga menyalurkan green loan dan sustainability linked loan kepada debitur yang memiliki target keberlanjutan. 

Selain itu, pembiayaan pertanian kini mengadopsi prinsip taksonomi hijau dan sustainable finance, di mana bank memberikan insentif bunga rendah bagi proyek ramah lingkungan dan mensyaratkan kepatuhan terhadap pengelolaan lahan gambut sesuai Peatland Code. 

Perjalanan Menjaga Pertanian dan Lingkungan

Meski berbagai kebijakan dan program telah digulirkan, tantangan besar di lapangan masih mengemuka. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa pengawasan KLHK atas kawasan hutan masih “belum memadai”. 

Masih marak pelanggaran seperti penambangan ilegal, konversi hutan secara ilegal, serta pembukaan lahan sawit di luar izin resmi. Minimnya jumlah personel pengamanan hutan, seperti Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC), memperburuk konsistensi pengawasan. 

Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum, lambannya sanksi, dan tidak meratanya inspeksi rutin membuat sejumlah kebijakan berhenti pada tataran normatif. Pemberdayaan petani untuk mengelola lahan secara lestari juga dihadapkan pada tantangan birokrasi. 

Proses perizinan yang kompleks dan tumpang tindih menyebabkan masyarakat sulit mengakses program seperti perhutanan sosial dan kemitraan kehutanan. Target ambisius Indonesia untuk mencapai 12,7 juta hektare perhutanan sosial hingga kini belum terpenuhi, terkendala kurangnya pendampingan serta konflik agraria di beberapa wilayah.

Meski demikian, harapan tetap terbuka. Sektor pertanian dan perkebunan justru bisa menjadi bagian dari solusi lingkungan. Komitmen iklim nasional menuntut agar pertanian tak lagi dipandang sebagai penyebab utama degradasi lingkungan, melainkan sebagai instrumen pemulihan ekosistem. 

Penerapan praktik terbaik seperti good agricultural practices, agroforestri, serta sistem sertifikasi berkelanjutan menjadikan sektor ini berpeluang besar mendorong ekonomi hijau. 

Petani dan peternak idealnya diposisikan sebagai penjaga ekosistem (custodian), bukan sekadar produsen pangan. Rantai pasok komoditas seperti kopi, karet, kakao, sawit, dan padi harus dirancang mendukung kelestarian. 

Akhirnya, peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia menegaskan bahwa harmoni antara manusia dan alam adalah fondasi masa depan. Pertanian hijau membuktikan bahwa produktivitas pangan tidak harus berlawanan dengan kelestarian lingkungan. 

Kini saatnya menjadikan pengelolaan lahan sebagai bagian dari solusi iklim, memperbaiki tata kelola lahan gambut, memperluas akses hutan kemasyarakatan, serta mempererat kolaborasi antara petani, pemerintah, swasta, dan perbankan. 

Sektor pertanian masa depan seharusnya menjadi pionir inovasi hijau yang mengubah tantangan iklim menjadi peluang peningkatan produktivitas dan keberlanjutan, demi kelangsungan hidup bumi dan generasi mendatang. (*)

***

*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES