
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada narasi sejarah ekonomi Nusantara, sistem ekonomi berbasis gotong royong dan kolektivitas telah menjadi arus utama kehidupan masyarakat. Jauh sebelum ekonomi pasar dan kapitalisme menancapkan kukunya, masyarakat desa di Nusantara hidup dalam sistem kebersamaan yang dikenal melalui praktik lumbung desa, simpan pinjam kampung, hingga koperasi adat.
Inilah fondasi kultural yang memperkuat gagasan ekonomi kerakyatan dan koperasi di kemudian hari. Bung Hatta, yang kita kenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia, bukan hanya merumuskan sistem ini secara teoritis, namun juga mengartikulasikan bahwa koperasi adalah bentuk paling ideal dari sistem ekonomi Indonesia yang berakar dari budaya gotong royong (Hatta, 1954).
Advertisement
Namun dalam perjalanan panjangnya, sistem ekonomi Indonesia mengalami pergolakan dan distorsi serius. Pascakemerdekaan, kita sempat menggagas sistem ekonomi sosialisme Indonesia (Hatta, 1957), namun globalisasi, liberalisasi, dan tekanan neoliberalisme menggiring Indonesia kepada sistem pasar bebas yang eksploitatif. Ekonomi rakyat termarjinalkan. Krisis 1998 adalah titik puncak dari kegagalan sistem ekonomi yang terasing dari akar budaya dan kedaulatan bangsa.
Dari sinilah penting untuk menghidupkan kembali sistem ekonomi kerakyatan—sebuah konsep yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama pembangunan ekonomi. Sri-Edi Swasono (2004, 2010) secara gamblang menyebut ekonomi kerakyatan sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme, berpijak pada nilai Pancasila dan kedaulatan rakyat. Di dalamnya, koperasi bukan sekadar entitas bisnis, melainkan alat perjuangan ekonomi yang demokratis dan inklusif.
Sayangnya, dalam praktiknya, sistem koperasi di Indonesia sering kali gagal menjadi kekuatan ekonomi yang sejati. Banyak koperasi hanya menjadi formalitas legal, diselewengkan oleh elite, bahkan dijadikan alat proyek politik.
Tentu ini jauh dari cita-cita Mubyarto (1987, 1992) yang melihat koperasi sebagai sokoguru ekonomi Pancasila. Kegagalan itu bukan hanya karena lemahnya tata kelola, tetapi juga karena tekanan sistem ekonomi global dan absennya komitmen politik terhadap ekonomi rakyat.
Jika kita menengok ke negara-negara maju, koperasi justru menjadi tulang punggung ekonomi. Di Finlandia, koperasi pertanian dan ritel seperti S-Group mendominasi pasar. Di Jepang, koperasi konsumen memiliki jutaan anggota aktif.
Muhammad Yunus melalui Grameen Bank di Bangladesh membuktikan bahwa sistem koperasi mikro mampu mengentaskan kemiskinan secara struktural (Yunus, 1999, 2007). Elinor Ostrom (1990, 2005), melalui kajian ilmiahnya, juga menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya bersama (commons) yang berbasis komunitas bisa lebih efisien dan berkelanjutan dibandingkan sistem pasar bebas.
Maka, sudah saatnya kita melakukan reformulasi sistem koperasi: bukan dengan meniru sistem negara maju secara mentah, melainkan mengembalikan koperasi pada nilai-nilai kerakyatan, gotong royong, dan kedaulatan ekonomi desa.
Reformulasi ini harus dimulai dari filosofi hingga struktur organisasinya, termasuk perlunya transformasi digital, integrasi usaha lintas sektor, dan pendekatan ekosistem.
Dalam konteks ini, lahirlah inisiatif Koperasi Merah Putih—sebuah jalan keluar untuk mengonsolidasikan kekuatan ekonomi rakyat berbasis nasionalisme, keadilan sosial, dan kemandirian desa. Koperasi ini tidak berdiri sekadar sebagai entitas ekonomi, tetapi sebagai gerakan sosial yang menjawab kegagalan kapitalisme dan kebuntuan pembangunan desa.
Dengan struktur yang demokratis, partisipatif, dan transparan, Koperasi Merah Putih dirancang untuk menjadi model koperasi yang tahan uji, kuat dalam integrasi pasar, dan berbasis kekuatan lokal.
Kekuatan Koperasi Merah Putih terletak pada kemampuannya menyatukan berbagai elemen masyarakat: petani, nelayan, UMKM, pesantren, hingga diaspora digital. Dengan ekosistem layanan yang saling terhubung—dari produksi, distribusi, hingga pembiayaan mikro—koperasi ini menjanjikan daya tahan ekonomi yang tangguh di tengah guncangan global.
Saat ini, progres pendirian Koperasi Merah Putih tengah digodok di berbagai daerah melalui kolaborasi antar lembaga, ormas, akademisi, dan tokoh lokal. Digitalisasi dan pemetaan potensi ekonomi desa menjadi fokus awal agar koperasi ini tidak berjalan di ruang hampa, melainkan merespons kebutuhan riil masyarakat.
Inspirasi dari Yunus dan Ostrom digunakan untuk memastikan koperasi ini tidak hanya mengedepankan efisiensi ekonomi, tapi juga keadilan sosial dan kedaulatan komunitas.
Multiplayer effect dari Koperasi Merah Putih sangat signifikan. Ia mampu membuka lapangan kerja lokal, meningkatkan nilai tambah hasil tani, mengurangi ketergantungan pada tengkulak dan kapital besar, serta mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis desa. Ketika desa mulai menjadi pusat produksi dan distribusi, maka kota akan menjadi ruang konsumsi yang berkeadilan. Inilah mimpi besar pembangunan berbasis desa.
Akhirnya, kemandirian ekonomi dari desa bukan lagi utopia. Dengan Koperasi Merah Putih sebagai motor penggerak, kita bisa mewujudkan sistem ekonomi yang berakar dari sejarah, berpijak pada realitas, dan bertumbuh menuju masa depan.
Seperti yang dikatakan Bung Hatta, "Koperasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal watak dan jiwa bangsa." Transformasi koperasi adalah transformasi Indonesia itu sendiri.
***
*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan PB PMII 2021–2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |