
TIMESINDONESIA, RIAU – Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan kepada setiap Muslim yang memiliki kemampuan secara finansial, fisik, waktu, serta keamanan untuk menunaikannya di Tanah Suci, Mekah Al-Mukarramah.
Ibadah ini tidak hanya menjadi kewajiban ritual, tetapi juga merupakan lanjutan dari syariat yang dirintis oleh Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, kakek dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui jalur Nabi Ismail 'Alaihissalam.
Advertisement
Oleh karena itu, dalam shalat kita dianjurkan membaca tasyahud yang mencakup shalawat Ibrahimiyah sebuah doa yang menyebut dan memuliakan Nabi Ibrahim serta keluarganya. Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Para Nabi dan Khalilullah (kekasih Allah), gelar yang menunjukkan kedekatan dan kasih sayang Allah kepadanya.
Membicarakan ibadah haji tidak bisa dilepaskan dari kisah luar biasa Siti Hajar dan putranya, Nabi Ismail 'Alaihissalam. Keduanya ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di lembah gersang nan tandus di padang pasir Mekah, dalam sebuah ujian keimanan yang menggugah jiwa.
Siti Hajar bukanlah sosok asing dalam sejarah Islam. Ia adalah perempuan salihah yang awalnya dinikahi Nabi Ibrahim atas saran istri pertamanya, Siti Sarah, karena mereka belum juga dikaruniai keturunan. Meski awalnya Nabi Ibrahim enggan, dorongan dari Siti Sarah membuatnya menikahi Siti Hajar.
Setelah menikah, Siti Hajar mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Ismail. Namun, kelahiran Ismail justru memicu kecemburuan Siti Sarah, yang kemudian meminta agar Siti Hajar dan anaknya dijauhkan.
Beberapa ulama meriwayatkan bahwa sebenarnya Nabi Ibrahim membawa Siti Hajar dan Ismail keluar dari Palestina bukan karena desakan Siti Sarah, melainkan atas petunjuk wahyu dari Allah.
Singkat cerita, mereka dibawa ke lembah tandus yang kini menjadi kota Mekah. Di sanalah Siti Hajar ditinggalkan sendiri bersama bayi yang masih menyusu. Dalam kondisi yang sangat berat-tanpa sanak saudara, makanan, dan air ia hanya menggantungkan harapan kepada Allah.
Bahkan ketika Nabi Ibrahim berjalan pergi tanpa menoleh, Siti Hajar bertanya, “Apakah ini perintah Allah?” Nabi Ibrahim menjawab, “Benar.” Siti Hajar pun berkata, “Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Tak lama setelah Nabi Ibrahim pergi, Ismail menangis kehausan. Dengan hati penuh kecemasan, Siti Hajar berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali, mencari air dan pertolongan.
Usahanya tidak sia-sia. Atas izin Allah, muncul mata air dari bawah kaki Ismail. Air itu kini dikenal dengan nama air Zamzam-sumber kehidupan di tengah padang pasir.
Kisah ini begitu monumental sehingga Allah mengabadikannya dalam ibadah sa’i, yaitu berlari kecil antara Shafa dan Marwa, sebagai salah satu rangkaian wajib dalam ibadah haji dan umrah. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 158.
"Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui," (QS. Al-Baqarah: 158).
Siti Hajar adalah sosok perempuan salihah yang penuh ketabahan, kesabaran, dan tawakal. Ia tidak mengeluh, tidak menyalahkan keadaan, serta selalu menaruh kepercayaan penuh kepada kehendak Allah.
Ia adalah simbol istri ideal patuh, kuat, penyayang, dan penuh kasih terhadap anaknya. Namanya diabadikan dalam Al-Qur’an, sebagaimana dalam doa Nabi Ibrahim dalam Surah Ibrahim ayat 37:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami, agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur," (QS. Ibrahim: 37).
Siti Hajar adalah satu dari sejumlah perempuan yang diabadikan dalam Al-Qur’an, di antaranya: Hawa (QS. 7:19), Siti Sarah (QS. 11:71–72), istri Al-Aziz (QS. 12:21), istri Imran (QS. 3:35), istri Zakaria (QS. 19:18), istri Fir’aun (QS. 66:11), ibu Musa (QS. 20:40), dua perempuan di Madyan (QS. 28:23), Ratu Saba (QS. 27:44), dan Maryam putri Imran (QS. 66:12).
Setiap kali kita membicarakan haji dan ibadah kurban, nama Siti Hajar senantiasa hadir sebagai teladan. Ia adalah lambang keteguhan dan keimanan, serta simbol cinta seorang ibu dan kepasrahan mutlak kepada Allah.
Nama yang akan terus abadi hingga hari kiamat dan menjadi inspirasi banyak orang tua dalam memberi nama anak-anak perempuan mereka. Teladan yang semakin dirindukan dan dicari di tengah gempuran zaman. (*)
***
*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |