Kebijakan Stimulus Ekonomi Kuartal II 2025 oleh Pemerintah Apakah Cukup?

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan paket stimulus ekonomi baru untuk mendorong pertumbuhan di Kuartal II 2025. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi global dan tekanan inflasi yang masih memengaruhi daya beli masyarakat.
Enam kebijakan utama yang digulirkan meliputi:
Advertisement
Subsidi Bahan Bakar Tertentu – Pemerintah memperluas subsidi BBM jenis tertentu untuk mengurangi beban transportasi dan logistik. Targetnya adalah menekan inflasi sektor transportasi sekaligus menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Insentif Pajak untuk UMKM – Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan mendapatkan keringanan pajak hingga 50% untuk mendorong perluasan usaha dan penyerapan tenaga kerja.
Program Padat Karya Infrastruktur – Pemerintah menggelontorkan dana tambahan untuk proyek infrastruktur skala kecil yang bersifat padat karya, dengan harapan menciptakan lapangan kerja cepat di daerah pedesaan.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tambahan – Bantuan sosial diperluas mencakup 10 juta keluarga prasejahtera sebagai upaya menjaga konsumsi rumah tangga di tengah harga kebutuhan pokok yang masih fluktuatif.
Kredit Murah untuk Sektor Produktif – Bank Indonesia dan perbankan nasional menyiapkan skema kredit bunga rendah bagi sektor pertanian, manufaktur, dan industri kreatif untuk mendorong investasi dan produksi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dukungan Ekspor bagi Pelaku Industri – Pemerintah memberikan insentif fiskal dan kemudahan administrasi bagi eksportir untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
Secara teori, stimulus ini dirancang untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, terutama melalui peningkatan konsumsi domestik dan penciptaan lapangan kerja. Namun, jika melihat pola kebijakan serupa di masa lalu, efek positifnya seringkali hanya bertahan beberapa bulan sebelum ekonomi kembali lesu. Salah satu penyebabnya adalah sifat stimulus yang bersifat temporer—seperti BLT atau subsidi BBM—yang tidak menyelesaikan masalah struktural seperti ketergantungan impor, inefisiensi birokrasi, atau rendahnya produktivitas sektor riil.
Masalah lain yang kerap menggerogoti efektivitas stimulus adalah kebocoran anggaran akibat korupsi. Sejarah menunjukkan bahwa program bantuan sosial atau proyek padat karya sering menjadi sasaran mark-up dan penyelewengan dana oleh oknum tidak bertanggung jawab. Alih-alih sampai ke penerima yang tepat, dana stimulus justru menguap di tengah jalan. Jika korupsi tidak diberantas secara maksimal, maka kebijakan apa pun yang digulirkan pemerintah hanya akan menjadi solusi semu—menggelegar di awal, tetapi minim dampak nyata.
Selain itu, stimulus fiskal yang terlalu sering diberikan berisiko membebani keuangan negara. Defisit anggaran bisa melebar jika tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan pajak atau efisiensi belanja. Sayangnya, upaya memperbaiki sistem perpajakan dan mengefisienkan birokrasi masih berjalan lambat. Tanpa perbaikan fundamental, stimulus hanya akan menjadi "obat penghilang rasa sakit" sementara, bukan penyembuh penyakit ekonomi yang sesungguhnya.
Lalu, apa solusi jangka panjang yang bisa dilakukan? Pertama, pemerintah harus lebih serius memberantas korupsi dengan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum. Dana stimulus yang dikorupsi bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Kedua, stimulus seharusnya diarahkan untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih kokoh—seperti investasi besar-besaran di pendidikan vokasi, riset teknologi, dan industri bernilai tambah tinggi. Ketiga, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada kebijakan populis jangka pendek dan beralih ke reformasi struktural, seperti penyederhanaan regulasi usaha dan peningkatan iklim investasi.
Kebijakan stimulus memang diperlukan dalam situasi ekonomi yang kurang stabil, tetapi ia tidak boleh dijadikan satu-satunya andalan. Tanpa langkah-langkah berani untuk memberantas korupsi dan memperbaiki tata kelola ekonomi, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus yang sama: euforia sesaat ketika stimulus digulirkan, diikuti oleh stagnasi ketika efeknya habis.
Masyarakat butuh lebih dari sekadar bantuan temporer—mereka butuh kepastian bahwa ekonomi akan tumbuh secara berkelanjutan, dengan pemerintahan yang bersih dan kebijakan yang tepat sasaran. Jika tidak, maka setiap paket stimulus baru hanyalah pengulangan kisah lama yang berujung pada kekecewaan yang sama. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |