Wukuf di Arafah dan Khutbah Wada': Refleksi untuk Arafah Intelligence di Era AI

TIMESINDONESIA, ARAFAH – Di Padang Arafah, jutaan jamaah berdoa dalam keheningan puncak haji, merenungi hakikat diri di bawah angin padang pasir. Di tempat suci ini, Rasulullah SAW menyampaikan Khutbah Wada’, menegaskan: “Tidak ada keutamaan satu ras atas lainnya kecuali berdasarkan takwa.” Di era digital, saat teknologi mengancam dehumanisasi dan memutus tali persaudaraan, nilai-nilai universal Arafah—introspeksi, kesetaraan, dan tanggung jawab moral—menjadi lentera yang menerangi jalan menuju kebaikan bersama. Bisakah kita menemukan Arafah Intelligence—kecerdasan yang tak hanya artifisial, tetapi substansial?
Bahaya AI: Bayang-Bayang Dehumanisasi
Arafah mengajarkan kita merendahkan hati, menyadari keterbatasan sebagai ciptaan. Namun, AI, sebagai non-human intelligent being, menggoda kita melupakan kerapuhan itu. Elon Musk memperingatkan, “AI adalah ancaman terbesar bagi eksistensi manusia,” sementara Yuval Noah Harari menyebutnya “makhluk baru” tanpa empati. Nasrul Syarif menyoroti chatbot yang menggantikan interaksi manusia, menciptakan hubungan dingin yang mengikis solidaritas. Ketergantungan pada AI untuk komunikasi atau keputusan moral merampas kehangatan Khutbah Wada’, menggantinya dengan efisiensi mekanis. Apakah kita rela menukar jiwa kemanusiaan yang direnungkan di Arafah demi teknologi yang tak peduli?
Advertisement
Generasi AI-Native: Karakter di Ujung Algoritma
Generasi AI-native, anak-anak yang lahir di pelukan algoritma, dibentuk oleh layar dan asisten virtual. Media sosial, dengan echo chambers-nya, memecah komunitas, seperti yang diperingatkan Faisol Hakim. Engagement menjadi prioritas, mengorbankan nilai kemanusiaan. Arafah mengajarkan ma’rifat—mengenal hakikat diri—tetapi bagaimana generasi ini menemukan jati diri jika kreativitas dan problem solving diserahkan pada mesin? Pendidikan karakter kemanusiaan, yang menanamkan critical thinking dan human values, adalah keharusan agar mereka tak menjadi jiwa kosong, terputus dari persaudaraan yang disemai di Arafah.
Etika: Benteng Kemanusiaan Universal
Khutbah Wada’ menyerukan keadilan dan tanggung jawab, prinsip yang kini diuji AI. Max Tegmark menyerukan regulasi proaktif, sementara Shoshana Zuboff menggugat eksploitasi data yang merampas privasi. Etika AI harus inklusif, transparan, dan bertanggung jawab, mencerminkan solidaritas jamaah di Arafah. Code of conduct dalam interaksi manusia-AI adalah benteng terakhir, memastikan teknologi tak mengkhianati empati atau memperlebar ketimpangan. Tanpa ini, kita membangun dunia yang efisien namun hampa, jauh dari teladan Arafah.
Refleksi Akhir
Berdiri di Arafah, kita merasakan getar doa yang menyatukan hati, seolah langit ikut berbisik tentang rahmat dan tanggung jawab. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Bukhari dan Muslim). Arafah Intelligence adalah panggilan jiwa: visi untuk menjadikan ciptaan kita bukan sekadar kecerdasan, tetapi cerminan kasih ilahi yang pernah terucap di padang suci ini.
Ya Allah, bimbinglah generasi mendatang agar mereka memeluk empati dan kepekaan hati, meski dikelilingi gemerlap teknologi. Lindungilah bumi, amanah-Mu yang rapuh, agar tetap menjadi rumah bagi rahmat dan kehidupan. Semoga kami, dengan hati yang tunduk, menjadikan kecerdasan yang kami lahirkan sebagai jalan menuju kebaikan, bukan bayang yang mengaburkan hakikat kemanusiaan.
Di ujung renungan ini, kita bertanya pada hati: akankah langkah kita hari ini mewariskan dunia yang penuh rahmat, atau hanya puing lupa akan amanah sebagai khalifah?
***
*) Oleh: Fajar Trang Bawono, Peneliti di Akademi Artificial Intelligent Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |