Kopi TIMES

Haji: Ziarah Sunyi Kedalam Diri

Kamis, 05 Juni 2025 - 19:42 | 19.89k
Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.
Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – "Kadang kita menyangka pergi ke Tanah Suci untuk mencari Tuhan. Tapi sesungguhnya, yang paling sering kita temukan adalah diri sendiri. Diri yang telanjang dari gelar, lepas dari topeng, dan tahu betapa kecilnya kita di hadapan-Nya”.

Saya masih ingat, dulu waktu kecil, di kampung, haji adalah cerita yang jauh. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan orang yang memiliki uang lebih, tak habis-habis walau digerus cucian hari-hari. Tapi sekarang, lain. 

Advertisement

Sejak pemerintah membuka jalan dan tabungan haji jadi mudah, orang-orang biasa pun bisa pergi. Pak Selamet yang dulu cuma tukang tambal ban, kini sudah haji. Bu' Jum, penjual bubur, juga sudah pernah ke Tanah Suci.

Dan tentu saja, saya senang. Bahagia. Karena kabar tentang haji selalu seperti kabar baik. Seperti musim panen setelah kemarau panjang. Tapi diam-diam, ada juga rasa ganjil yang mengendap. Karena lambat laun, haji jadi mirip pesta. Resepsi. 

Sejenis hajatan besar yang tak ubahnya pesta pernikahan anak semata wayang. Ada gapura selamat datang tamu Allah di ujung gang, ada tenda syukuran sebulan berturut-turut, ada koper besar yang dikawal keluarga dari  bandara seperti tamu kenegaraan.

Saya pernah lihat satu keluarga datang ke asrama haji, lengkap: seragam batik biru langit dengan tulisan "Keluarga Besar H. Abdul dan Hj. Nur". Dari nenek sampai cucu, semua pakai. Bahkan balita yang belum bisa baca pun ikut mengenakan. Sungguh, dalam hati saya tertawa pelan. Tapi juga bertanya: siapa sebenarnya yang pergi haji? Abdul dan Nur, atau seluruh karib dan kerabatnya?

Saya tahu, ini soal ekspresi kegembiraan. Sebab menunggu haji di negeri ini bukan perkara sebentar. Belasan tahun. Ada yang mendaftar hari ini, baru dapat giliran saat uban sudah bersih merata. Maka ketika panggilan itu datang, wajar jika dirayakan. Tapi masalahnya, kadang yang dirayakan lebih besar dari yang dipersiapkan.

Termasuk dalam perkara oleh-oleh. Saya pernah menyaksikan sendiri, dan barangkali Anda pun demikian: betapa oleh-oleh dari tanah suci kadang lebih direncanakan dari pada doa dan istifar yang ingin dilantunkan di Raudhah atau Multazam. Atau bahkan saat wukuf di Arafah.  

Ada orang yang membuat daftar panjang: untuk tetangga, untuk desa, untuk rekan kantor, untuk grup arisan, bahkan untuk teman yang sudah dua dekade tak bersua.

Bukan sekali dua, saya mendengar cerita orang yang rela meminjam uang hanya agar bisa membawa pulang tasbih plastik dan sajadah dari pasar Makkah. Bukan karena butuh, tapi karena takut disebut pelit. Takut dianggap tak mabrur hanya karena tak bagi-bagi air zamzam dan kurma. Seakan-akan, kemabruran kini bisa diukur dari jumlah bingkisan.

Saya pernah melihat seorang bapak, baru pulang dari haji, wajahnya lelah, matanya sembab. Tapi yang lebih ia pikirkan bukan istirahat atau zikir, melainkan rasa malu karena tak sempat beli oleh-oleh untuk semua yang datang bersalaman. 

Ia gelisah karena koper cuma cukup untuk lima sajadah, sementara yang datang menunggu ada lima puluh orang.

Padahal mabrur bukan warisan yang bisa dibagi seperti parcel. Ia tak bisa ditaruh di tangan orang lain, apalagi ditulis di status WhatsApp.

Kemabruran itu sembunyi. Ia bekerja dalam diam. Ia tumbuh di hati yang berubah, bukan di oleh-oleh yang melimpah. Tapi entah sejak kapan, sebagian dari kita mulai percaya bahwa yang mabrur adalah yang paling royal. Yang pulang dengan koper gembung dan kantong kempis. Yang rela utang, asal bisa memuaskan harapan sosial.

Padahal, Allah telah mengingatkan dengan lembut dan dalam: "Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa" (QS. Al-Baqarah: 197).

Bukan kain batik, bukan koper lima roda, bukan pula jadwal city tour di Madinah. Tapi takwa. Yang sederhana. Yang sunyi. Yang nyaris tak kelihatan.

Imam al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya’ Ulumuddin: "Barangsiapa yang perjalanannya adalah untuk dunia, maka dunia pula yang ia dapat. Tapi barangsiapa yang melangkah menuju Allah, maka setiap tapaknya akan dibalas dengan cinta yang menenangkan hati".

Saya bayangkan, kalau haji itu diibaratkan pulang, maka ihram itu seperti pakaian rumah kita yang terakhir: kain kafan. Tak berjahit. Tak berwarna. Tak ada saku untuk simpan apa pun. Ia menghapus semua beda. Yang kaya dan miskin, yang pejabat atau petani, semua sama di hadapan Allah.

Maka saat berdiri di Arafah, itu bukan hanya soal doa yang naik. Tapi tentang segala ego yang turun. Turun dari pundak. Dilepas satu-satu. Seperti beban lama yang akhirnya kita taruh, supaya bisa berjalan ringan menuju ampunan.

Saya sering membayangkan, bagaimana seandainya persiapan haji diubah. Bukan lagi mencetak baleho atau beli koper besar, tapi duduk diam setiap malam, menulis daftar dosa. Mengingat siapa yang pernah kita sakiti. Lalu berdoa agar diampuni, dan dikuatkan untuk meminta maaf bila pulang nanti. Bukankah itu lebih agung daripada oleh-oleh magnet kulkas berbentuk Ka’bah?

Karena pada akhirnya, haji bukan soal sejauh apa kita berjalan, tapi seberapa dalam kita pulang. Pulang ke hati. Pulang ke fitrah. Pulang ke titik di mana kita merasa kecil, hina, dan sangat butuh kepada-Nya.

Syekh Ibn ‘Athaillah pernah menulis dalam al-Hikam: "Jangan kau nilai perjalananmu kepada-Nya dari lamanya waktu yang kau tempuh, tapi dari sejauh mana hatimu lepas dari dunia dan menuju Dia".

Tuhan tak butuh pesta. Tak minta keramaian. Ia hanya ingin kita datang dalam keadaan bersih. Maka, semoga ketika undangan itu datang pada kita nanti-entah lima tahun lagi, entah dua puluh tahun lagi-kita bisa menjalaninya bukan sebagai hajatan dunia, tapi sebagai perjalanan ruh. Sebagai ziarah panjang dari dunia yang ramai menuju sunyi-Nya yang abadi.

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES