
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tidak disangsikan lagi, persoalan-persoalan realitas yang kita alami dalam keseharian salah satunya kita dapatkan dari media massa. Setiap hari kita membaca teks-teks berita melalui media massa baik cetak, online bahkan terkadang media sosial.
Pada dasarnya saat itu kita sedang diberikan pemahaman mengenai fakta-fakta realitas kehidupan yang berada disekeliling kita maupun dilluar sekeliling kita. Media massa membantu kita didalam melihat dan memahami suatu realitas, apapun bentuknya.
Advertisement
Selintas bahkan sebagian masyarakat termasuk kita, apabila disodorkan mengenai tulisan-tulisan dalam teks, terutama teks berita belum apa-apa sudah menghindar, karena otak kita tidak mau dibebani dengan hal-hal yang menuntut kita untuk berpikir menelaah sesuatu makna dibalik teks lebih jauh dan berat.
Bahkan adakalanya orang-orang yang masih belum paham, mengulangi kembali bacaannya. Kita lebih suka dengan hal-hal yang sifatnya ringan dan memanjakan mata, misal tampilan-tampilan visual yang penuh dengan variasi bentuk dan warna.
Padahal sebenarnya pada saat kita membaca teks berita, pada saat itu sistem berpikir kita berproses untuk menelaah, mempertimbangkan hal-hal, membayangkan serta mengkaitkan hal-hal tertentu dengan referensi dan pengalaman kita.
Restuningsih (2017) menegaskan bahwa membaca adalah kegiatan berpikir dan bernalar yang melibatkan kegiatan mengenali, menginterpretasi, menilai, menalarkan bahkan memecahkan berbagai persoalan sehingga keterlibatan daya nalar menjadi sangat dominan. Yang akan diakhiri dengan pemaknaan.
Sungguh suatu proses berat bagi yang tidak terbiasa melakukannya, namun dibalik proses itu kita akan lebih mudah menjelaskan kembali disertai gambaran hasil olahan berpikir kita, dan merunutkan sistematika penjelasan-penjelasan detailnya dan memberikan keyakinan pada orang yang kita ajak berkomunikasi.
Apabila kita telaah lebih jauh, ternyata para jurnalis yang sedang melakukan suatu liputan untuk dijadikan berita, sebenarnya mereka sedang mengerjakan suatu pekerjaan yang maha hebat. Bagaimana tidak, ketika dilapangan mereka merekam, mencatat fakta-fakta tentang suatu peristiwa dengan penuh kehati-hatian.
Lalu mereka mengkonfirmasi sumber-sumber berita yang terkait dengan objek liputan mereka dan untuk lebih memastikan lagi mereka melakukan verifikasi ulang sumber-sumber berita yang terkait, karena tuntutan rambu-rambu yang menjadi pedomannya, yaitu Kode Etik Jurnalistik.
Selaras dengan Tempo (5/11/2023) Kode etik jurnalistik adalah seperangkat norma dan pedoman perilaku profesional yang memandu jurnalis menjalankan tugas mereka.
Pada saat proses liputan, mereka sebenarnya sedang membuat catatan-catan penting sebagai bahan berita yang akan disusun nantinya. Ketika proses berita akan dibuat pada proses inilah kemampuan seorang jurnalis merangkum semua apa yang didapatkan untuk dituangkan dalam tulisan-tulisan teks berita.
Tentunya dalam penyusunan teks berita ini para jurnalis berusaha agar teks tulisan beritanya mampu dipahami oleh masyarakat, berdasarkan realitas peristiwa yang didapatkan sebelumnya pada saat liputan.
Disinipun kemampuan jurnalis dalam melihat realitas untuk disampaikan pada benak pembaca melalui teks tulisan berita, dituntut kemampuan pemahaman didalam memaknai kepingan-kepingan fakta-fakta menjadi realitas utuh berdasarkan realitas yang sebenarnya, sehingga titik utama pesannya dapat tersampaikan pada masyarakat.
Membaca dengan Baik Membangun Realitas yang Dipahami
Membaca berarti bukan hanya sekedar aktifitas pasif, ketika kita melakukannya dengan baik, kita sebenarnya sedang terlibat dalam posisi aktif untuk membangun realitas dalam pikiran kita.
Realitas yang dibangun bukan semata-mata cerminan objek dari dunia luar, melainkan proses berpikir sistem berpikir kita yang dipengaruhi oleh informasi yang diserap.
Beberapa hal aspek penting bagi masyarakat ketika membaca suatu teks berita hubungannya dengan realitas yang dibangun dan dipahami diantaranya, Membaca dengan baik berarti kita tidak hanya menerima informasi mentah.
Kita belajar menyaring, memverifikasi dan menganalisa informasi yang disajikan. Hal ini melibatkan kemampuan untuk mengidentifikasi bias, membedakan fakta dan opini dan mencari sumber yang kredibel.
Suatu berita yang baik apabila kita baca, seringkali mencakup berbagai perspektif dan sudut pandang. Dengan membaca secara mendalam, kita terpapar pada narasi yang berbeda dalam memahami kompleksitas suatu isu.
Hal ini membantu kita membangun realitas yang nuansa dan tidak monolitik, mengakui bahwa ada berbagai cara untuk melihat dan memahami suatu peristiwa.
Berita yang baik tidak hanya melaporkan apa yang terjadi, tetapi juga meng kontekstualisasikan peristiwa tersebut, berarti memberikan latar belakang sejarah, dan implikasi suatu kejadian.
Dengan memahami konteks, kita dapat menempatkan informasi dalam kerangka yang lebih luas, memungkinkan kita untuk memahami mengapa sesuatu terjadi dan apa dampaknya? sehingga realitas yang kita pahami menjadi lebih lengkap dan utuh.
Jelasnya teks berita yang baik ketika dibaca, adalah fondasi untuk membangun realitas tidak hanya informatif tapi juga mendalam. Tanpa kemampuan ini, kita beresiko memiliki pemahaman yang kurang tajam bahkan terdistorsi tentang dunia kita.
***
*) Oleh : Agus Budiana, Jurnalis dan Pendiri Lembaga Studi Kajian Jurnalistik Media (LSKJ Media).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |