Kopi TIMES

Surga Raja Ampat Melawan Ancaman Industri Tambang

Minggu, 08 Juni 2025 - 16:40 | 25.39k
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Di balik bentangan laut biru yang memikat dan gugusan karst yang menjulang anggun, Raja Ampat telah lama menjadi simbol keindahan dan kekayaan hayati dunia. Wilayah ini bukan sekadar destinasi wisata, tetapi juga pusat biodiversitas laut global yang peran ekologisnya tak tergantikan. 

Pengakuan UNESCO sebagai Global Geopark menegaskan nilai strategisnya, baik dari sisi ilmiah, ekologis, maupun keberlanjutan jangka panjang. Raja Ampat adalah harta nasional yang tak ternilai dan tak tergantikan-warisan yang seharusnya dijaga dan diwariskan utuh kepada generasi mendatang.

Advertisement

Namun kini, ketenangan Raja Ampat terganggu oleh rencana ekspansi industri tambang nikel. Di tengah dorongan pemerintah untuk menggenjot hilirisasi dan industrialisasi nasional, kawasan ini masuk dalam radar investasi ekstraktif. 

Rencana eksploitasi nikel di wilayah yang menjadi episentrum keanekaragaman hayati laut dunia memunculkan gelombang penolakan dari masyarakat adat, pegiat lingkungan, hingga akademisi. 

Ancaman kerusakan terumbu karang, pencemaran laut akibat limbah tambang, dan potensi terganggunya tatanan sosial-ekonomi masyarakat lokal menandai konflik antara dua visi pembangunan yang saling bertentangan.

Isu ini bukan semata soal lingkungan, melainkan mencerminkan persoalan mendalam dalam tata kelola pembangunan nasional. Di satu sisi, kebijakan hilirisasi nikel diharapkan membawa nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, khususnya dalam industri baterai kendaraan listrik. Namun di sisi lain, pendekatan ini kerap mengabaikan eksternalitas besar yang ditanggung oleh lingkungan dan masyarakat lokal. 

Tambang nikel di Raja Ampat berisiko menimbulkan sedimentasi besar-besaran yang merusak terumbu karang, membunuh ribuan spesies laut, serta meracuni rantai makanan yang menopang ekosistem dan penghidupan masyarakat pesisir.

Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, melainkan aset ekologis dan ekonomi yang bernilai strategis secara global. Dengan lebih dari 75% spesies karang dunia, kawasan ini memegang peran vital dalam menjaga ekosistem laut global, sekaligus menopang ekonomi lokal lewat pariwisata bahari, perikanan berkelanjutan, dan riset ilmiah. Potensi ini menjadikannya jauh lebih berharga daripada keuntungan sesaat dari industri tambang.

Kasus Raja Ampat secara gamblang menyoroti lemahnya tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Celah dalam sistem perizinan, lemahnya pengawasan, dan inkonsistensi penegakan hukum menjadi masalah mendasar.

Izin usaha tambang yang bisa terbit di kawasan prioritas konservasi dan pariwisata menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas proses perizinan. 

Temuan pelanggaran serius oleh sejumlah perusahaan tambang-mulai dari tidak memiliki izin lingkungan hingga melakukan aktivitas merusak-mengindikasikan kelalaian dalam uji tuntas dan evaluasi awal. Proses perizinan yang minim transparansi dan partisipasi publik memperlemah legitimasi pembangunan itu sendiri.

Penegakan hukum yang lemah kian memperparah situasi. Ketika pelanggaran hanya berujung pada sanksi administratif atau penghentian sementara, bukan pencabutan izin atau proses pidana, maka pesan yang tersampaikan adalah bahwa kerusakan lingkungan dapat dinegosiasikan. Pemerintah harus menunjukkan ketegasan sebagai pelindung kepentingan jangka panjang, bukan hanya sebagai fasilitator industri ekstraktif.

Menghadapi dilema ini, Indonesia berada di titik krusial. Pilihan yang diambil dalam kasus Raja Ampat akan menjadi preseden penting bagi arah pembangunan nasional. Apakah kita terus bertahan dalam model pembangunan yang menekankan eksploitasi sumber daya? Atau berani beralih menuju jalur yang lebih inklusif dan berkelanjutan?

Langkah awal yang krusial adalah memperjelas status hukum Raja Ampat sebagai zona konservasi penuh yang bebas dari aktivitas tambang dan industri ekstraktif skala besar. 

Status sebagai kawasan keanekaragaman hayati global dan Geopark UNESCO semestinya cukup menjadi dasar kuat untuk melindunginya secara menyeluruh. Penguatan regulasi dan penetapan batas wilayah konservasi yang jelas akan menjadi benteng terhadap ancaman di masa depan.

Pemerintah juga perlu mengalihkan fokus pembangunan ke arah ekonomi biru-model pembangunan yang berbasis kelautan namun tetap menjaga ekosistem secara berkelanjutan. Pariwisata bahari yang dikelola secara lestari, perikanan ramah lingkungan, serta riset kelautan yang mendukung konservasi harus menjadi prioritas investasi. 

Ekonomi biru bukan sekadar slogan, melainkan pendekatan strategis yang mampu menciptakan pertumbuhan inklusif, lapangan kerja, serta menjaga keseimbangan ekologis.

Lebih luas lagi, momentum ini harus dimanfaatkan untuk mereformasi tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Sistem perizinan perlu didesain ulang agar lebih ketat, transparan, dan berbasis kajian lingkungan yang komprehensif. 

Penegakan hukum harus tegas dan konsisten agar memberi efek jera dan menjaga kepercayaan publik. Partisipasi masyarakat lokal, ilmuwan, dan organisasi sipil dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan adalah prasyarat utama bagi tata kelola yang demokratis dan adil.

Raja Ampat adalah barometer sejati dari komitmen Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan. Kegagalan melindungi wilayah ini akan menjadi sinyal bahwa kita belum benar-benar memahami esensi pembangunan itu sendiri-yakni kesejahteraan antargenerasi, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi sesaat. Kini saatnya seluruh elemen bangsa bersatu menjaga warisan tak ternilai ini.

Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, melainkan bagian dari kekayaan dunia. Melindunginya bukan hanya tugas moral, tetapi juga strategi cerdas untuk masa depan. 

Menempatkan Raja Ampat dalam kerangka ekonomi biru adalah pilihan logis dan etis-sebuah investasi jangka panjang demi keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan sosial, dan martabat bangsa di hadapan dunia.

***

*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES