Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kebijakan Koperasi Desa: Peluang Ekonomi atau Celah Korupsi?

Senin, 09 Juni 2025 - 11:51 | 14.54k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan rencana kebijakan pembentukan koperasi desa sebagai upaya meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan.

Latar belakang kebijakan ini didasari oleh fakta bahwa desa memiliki potensi ekonomi besar, namun seringkali terkendala modal, akses pasar, dan manajemen yang kurang profesional.

Advertisement

Melalui koperasi desa, diharapkan terjadi pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, di mana masyarakat dapat mengelola sumber daya lokal secara kolektif, mulai dari pertanian, peternakan, hingga usaha mikro.

Selain itu, kebijakan ini juga sejalan dengan semangat Undang-Undang Desa yang memberikan alokasi dana desa untuk pembangunan mandiri. Dengan koperasi yang dikelola secara baik, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada tengkulak, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan warga desa.

Namun, rencana ini tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung berargumen bahwa koperasi desa dapat menjadi solusi konkret untuk menggerakkan ekonomi pedesaan yang selama ini terpinggirkan.

Dengan modal dari anggaran desa atau bantuan pemerintah, koperasi bisa menjadi wadah pengembangan UMKM, pemasaran produk lokal, bahkan penguatan ketahanan pangan.

Contohnya, di beberapa daerah yang sudah menerapkan model serupa, koperasi berhasil membantu petani menjual hasil panen dengan harga lebih baik atau mengembangkan industri kecil seperti kerajinan tangan. Selain itu, koperasi juga dinilai sebagai sarana edukasi finansial bagi masyarakat desa yang selama ini kurang tersentuh perbankan formal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di sisi lain, kritik tajam muncul dari kelompok yang meragukan efektivitas kebijakan ini, terutama menyangkut transparansi dan potensi penyalahgunaan dana. Sejarah menunjukkan bahwa program berbasis dana desa sering menjadi sasaran korupsi, baik oleh oknum pejabat desa maupun pihak luar.

Kekhawatiran terbesar adalah jika koperasi hanya dijadikan proyek pencairan anggaran tanpa pengelolaan yang profesional. Banyak yang mempertanyakan apakah masyarakat desa, yang mungkin belum memiliki pengalaman manajemen koperasi, bisa mengelola dana besar secara akuntabel.

Selain itu, ada kecurigaan bahwa kebijakan ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik, misalnya sebagai alat mobilisasi dukung elektoral melalui bagi-bagi bantuan tidak jelas.

Isu lain yang mengemuka adalah kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Meski pemerintah menjanjikan pelatihan dan pendampingan, realisasi di lapangan seringkali tidak optimal.

Jika tidak ada mekanisme audit yang ketat, besar kemungkinan dana koperasi akan bocor ke kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pengalaman buruk seperti manipulasi laporan keuangan, nepotisme dalam pengelolaan, atau bahkan koperasi fiktif harus menjadi pelajaran.

Masyarakat desa juga seringkali tidak memiliki akses untuk melaporkan penyimpangan karena kuatnya jaringan kekuasaan di tingkat lokal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagai penulis, saya berpendapat bahwa kebijakan koperasi desa bisa menjadi langkah maju jika benar-benar dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif masyarakat. Koperasi sejatinya adalah model ekonomi yang terbukti efektif di banyak negara, asalkan dikelola dengan baik dan bebas dari intervensi politik.

Pemerintah harus memastikan bahwa pembentukannya melibatkan masyarakat secara langsung, mulai dari perencanaan hingga pengawasan, bukan sekadar instruksi dari atas. Selain itu, perlu sistem audit independen yang melibatkan lembaga antikorupsi atau organisasi masyarakat sipil untuk meminimalisir penyalahgunaan.

Yang tak kalah penting, anggaran besar yang dialokasikan untuk program ini harus dikelola dengan mekanisme yang jelas dan terbuka. Setiap tahapan, mulai dari pencairan dana, penggunaan, hingga evaluasi, harus dapat diakses oleh publik.

Pelatihan manajemen koperasi juga harus diberikan secara serius, bukan sekadar formalitas. Jika tidak, kebijakan ini justru berpotensi menjadi bumerang yang memperparah kesenjangan dan menciptakan konflik di tingkat desa.

Pada akhirnya, koperasi desa bisa menjadi alat pemberdayaan ekonomi yang kuat jika dijauhkan dari praktik korupsi dan politik praktis. Masyarakat desa berhak mendapatkan manfaat nyata, bukan sekadar program yang hanya bagus di atas kertas.

Pemerintah harus membuktikan komitmennya dengan pengawasan ketat dan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses. Jika dijalankan dengan benar, koperasi desa bukan hanya akan memajukan ekonomi lokal, tetapi juga memperkuat kemandirian dan demokrasi di tingkat akar rumput.

Namun, jika hanya dijadikan alat pembagian uang tanpa sistem yang jelas, maka kebijakan ini berisiko menjadi sumber masalah baru yang justru merugikan masyarakat kecil. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES