
TIMESINDONESIA, JAKARTA – "Raja Ampat yang indah hancur karena kerakusan oligarki dan penguasa," kata Uskup Keuskupan Timika, Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA.
Kritik itu disampaikan saat melaksanakan khotbah hari Minggu Pentakosta di Gereja Katedral Tiga Raja, Papua, Minggu, 8 Juni 2025.
Advertisement
Kritik Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA itu amat koheren dengan prinsip Islam dalam Al A'raf ayat 56:
"Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik."
Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA tersebut termasuk dalam daftar tokoh agama yang istimewa. Mengapa? Di Indonesia, tak banyak tokoh agama yang mau membawa masalah "sensitif" ke atas mimbar. Hanya tokoh-tokoh agama yang memiliki "mental excellent" yang berani memilih jalan tersebut.
Secara kuantitatif, Indonesia tak kurang banyak tokoh agama. Tapi sampainya di atas mimbar, apa yang dipaparkan oleh mereka pada jamaah adalah hal yang "tak relevan" atau bahkan amat membosankan karena yang di-syiar-kan hanya melulu tentang halal-haram. Hal itu terus diulang-ulang.
Jamaah pun ngantuk tak kepalang, dan substansi dari khotbah yang disampaikan oleh tokoh agama tersebut, tak pernah menyentuh dan "bersarang" di pikiran dan hati masyarakat yang mendengarkan ketika mereka keluar dari tempat ibadahnya.
Berbeda dengan tokoh agama yang saya sebut memiliki "mental excellent" di atas tersebut. Mereka tak hanya belajar kaidah agama semata, melainkan juga belajar tentang sosial-budaya-politik yang terus berkembang di sekitarnya.
Tokoh-tokoh agama tersebut pun menjelaskan, mengajak, atau bahkan memberikan koreksi keras pada sektor sosial-budaya-politik yang dinilai tak sesuai dengan ajaran agamanya tersebut.
Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, paham dan merasakan bagaimana Raja Ampat sebagai "Surga Indonesia" yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepada masyarakat Tanah Air sedang diperdayai oleh oligarki yang berkongkalikong dengan penguasa.
Sebagai bentuk penghambaan sungguh-sungguh kepada Sang Pencipta itu, ia memilih bersuara, ia mengkritik, ia mengajak, kepada jamaahnya untuk tidak diam saat melihat keculasan terjadi.
Apa yang dikhotbahkan oleh Uskup Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, adalah juga konsistensi dari keputusan hierarki sebelumnya.
Pada 2024 lalu, Gereja Katolik, melalui Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), menolak tawaran izin usaha pertambangan (IUP) dari Presiden Jokowi.
Mereka tegas menolak privilese mengelola tambang karena khawatir akan berdampak pada lingkungan dan tanggung jawab sosial mereka.
Lembaga ini memilih jalan konsisten sebagai lembaga keagamaan yang melakukan pewartaan dan pelayanan. Mereka mau mewujudkan tata kehidupan bersama yang bermartabat, ketimbang menguasai tambang.
Berbeda dengan KWI, tiga organisasi masyarakat (ormas) Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis), "gercap" menerima tawaran IUP dari Sang Presiden itu.
Tiga ormas Islam tersebut kini telah berproses bergerak untuk menjalankan penambangan di wilayahnya masing-masing sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024.
Kini publik-terutama mereka yang beragama Islam-melempar tanya, ke mana suara kritis dari ormas-ormas Islam besar di Indonesia di atas saat Raja Ampat dan tempat-tempat lainnya "ditelanjangi dan diperkosa" oleh oligarki dan penguasa tersebut?
Dan kini publik paham dan diam. Sebab mereka telah mendapatkan jawaban terang benderang atas pertanyaan yang dilemparkan sendiri tersebut. "Selamat menambang para Gus dan Kiai," kata mereka.
*) Oleh: Moh Ramli, Penulis buku "Teladan dan Nasihat Islami Paus Fransiskus", jurnalis dan lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |