Pengelolaan Bumi oleh Manusia dan Warning Israf-Fasad dalam Alquran

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Polemik tentang pengelolaan bumi, khususnya pertambangan kembali memcuat, seiring dengan heboh penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua yang sedang digadang-gadang sebagai primadona baru destinasi pariwisata klas dunia yang dimiliki Indonesia, selain Bali dan Bromo.
Publik, melalui 'mahkamah warganet' menvonis upaya itu sebagai tindakan tak layak dilakukan, apalagi disinyalir melibatkan pihak-pihak yang mustinya menjaga keselamatan bumi, sebagaimana kaum agamawan dan intelektual.
Advertisement
Sebagai negara hukum, maka memang sebaiknya, semua dikembalikan pada ranah aturan yang secara rigit telah tersusun, baik perundangan domestik maupun yang diratifikasi dari komitmen dunia tentang tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goal.
Artikel ini mencoba memberikan insight terkait sejauh mana kita umat manusia diberi mandat, kewenangan dan batasan dalam melakukan pengelolaan atau konservasi terhadap bumi dimana manusia ditahbiskan sebagai Khalifah atau mandataris Allah untuk menjaga keberlangsungan bumi. Insight ini diperlukan, mengingat diskusi sudah memasuki wilayah konsepsi agama, sejak intelektual muslim yang juga Ketua PBNU, KH. Ulil Abshar Abdalla melontarkan kritik balik pada para pecinta lingkungan 'garis keras' sebagai Wahabi Ekologi.
Sebelumnya, para aktivis memang mengkritis super keras, cenderung menghardik pada pemangku politik, bisnis dan agama yang membiarkan praktik di Raja Ampat terjadi. Dalam ranah diskusi, berbalas kritik dan argumentasi adalah hal biasa, apalagi bagi para pecinta diskusi macam Mas Ulil, panggilan yuniornya pada cendekiawan asal Pati ini, yang dulunya punggawa Kelompok Kajian 164, Jakarta.
***
Sesungguhnya, Allah memperbolehkan bahkan menyediakan bumi untuk Nabi Adam dan kita anak turunnya, untuk bisa ditempati dan tentu saja dikelola sebagai wasilah kehidupan. Dengan bumi, Allah menjamin semua kehidupan dan rejeki makhluk hidup, sebagai bukti kekuasaan Allah.
وَمَا مِن دَآبَّةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍۢ مُّبِينٍۢ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (di Lauhil mahfuzh). QS. Hud:6
Melalui ayat ini, Allah membuat narasi bahwa Bumi dan seluruh penghuninya berada dalam penguasaan penuh Sang Khaliq. Manusia dipersilakan hidup hingga ajalnya tiba, dengan memanfaatkan apapun yang telah disediakan Allah di permukaan dan perut bumi secara bertanggung jawab. Yang dilarang itu, manusia yang berlebihan (musrifin) dan yang merusak (mufsidin). Definisi israf (melampaui batas) dan fasad (merusak) harus dipahami dulu, baik bagi manusianya sebagai subyek, ataupun alam/buminya sebagai obyek.
Mengenai Jangan Berlebihan! Ini pesan bagi para investor, negara pemberi lisensi hingga direksi, komisaris dan kita semua. Katagori Israf bagi manusia terjadi, bila kita mencari keuntungan duniawi melalui aktivitas pengelolaan melebihi batas ambang kebutuhan yang seharusnya, dan diperioritaskan bagi masyarakat di sekitar lokasi eksplorasi.
Batasan berlebihan untuk manusia, ditentukan Allah dengan konsep at-Takatsur, yakni menumpuk kekayaan, bermegah-megahan dan segala aktivitas memperkaya diri atau bahkan konglomerasi dengan mesin oligarki ekonomi dengan melakukan eksploitasi bumi tanpa mempertimbangkan risikonya. Manusia atau kelompok manusia yang terlilit jabakan Takatsur ini, akan menjadikan mereka terlena, padahal kekayaan dunia, tidak dibawa ke kubur.
أَلۡهَاكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ. حَتَّىٰ زُرۡتُمُ ٱلۡمَقَابِرَ. كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُونَ. ثُمَّ كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُونَ. كَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُونَ عِلۡمَ ٱلۡيَقِينِ. لَتَرَوُنَّ ٱلۡجَحِيمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيۡنَ ٱلۡيَقِينِ. ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.
Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).
QS. At-Takatsur:1-9
Adapun konsepsi Israf bagi Alam, adalah apabila manusia melakukan eksploitasi, dalam pengertian eksplorasi melebihi kapasitas yang dimiliki alam sehingga melakukan pengrusakan (fasad) pada alam/bumi dan akhirnya membahayakan dan mengancam kehidupan umat manusia.
Adapun pesan agar manusia jangan merusak, sudah dititahkan lebih awal dengan warning bahwa kerusakan bumi, baik di daratan ataupun di laut akan terjadi akibat ulah eksplotasi dan keserakahan manusia. Akibatnya akan dicicipkan secara pedih berupa serangkaian bencana alam yang pedih dan menyakitkan. (Lihat Ar-Rum:41)
Kenapa tidak boleh dirusak, karena di bumilah Allah menyediakan mustaqarrun atau tempat tinggal, sehingga dari bumi yang mati, Allah menghidupkannya (fa ahyaynahu, lihat QS. Yasin: 33-36) dengan diturunkan hujan kemudian mucullah mata air yang bisa me jadi sungai dan mengairi daratan, lantas tumbuh biji-bijian jadi tanaman atau tumbuhan menghasilkan buah-buahan dan hasil bumi yang bisa dikonsumsi manusia, juga hewan sebagai makanan halal dan thayyib.
Anugerah ini harus dijaga sebagai sebuah ekosistem bumi dengan mengelolanya dan tidak dirusak. Setiap ikhtiar pengolahan terhadap (hamparan) bumi harus diikuti upaya pengembalian keseimbangan ekosistem sebagai langkah baik, yang itu merupakan sunnatullah.
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَاكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. QS. Al-Qashash:77
Karena itu, dalam melakukan pengolahan bumi, harus disertakan antisipasi agar tidak terjadi pengrusakan lingkungan. Dan bila terjadi risiko kerusakan, maka wajib bagi pengelola dan negara yang memberikan ijin untuk mengikutinya dengan langkah rehabilitasi dan konservasi sebagai konsesi atas tindakan mengolah bumi.
Dan kita semua tahu, setiap aktivitas eksplorasi selalu disandingkan dengan kewajiban rehabilitasi bagi dunia usaha, dilengkapi dengan monitoring dan evaluasi oleh negara dengan partisipasi sepenuhnya oleh masyarakat sipil.(termasuk warganet) bahkan dunia internasional.
Walhasil, seluruh rakyat Indonesia akan setuju, bahwa anugerah Zamrud Khatulistiwa dari Tuhan Yang Maha Esa harus dijaga kelestariannya sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia sebagai Khalifah Bumi.
Kesadaran pelestarian bumi, bagi umat Islam bukan hanya karena aturan perundangan atau ratifikasi terhadap isu SDGs, tetapi lebih dari itu, karena kesadaran teologis bahwa Allah mengharamkan kita semua merusak lingkungan. Semua pengelolaan atas sumber daya alam, boleh dilakukan selama dalam batas-batas tidak israf atau berlebihan dan tidak fasad atau merusak.
Dalam implementasinya, negara melalui kementerian terkait perlu mengkaji kembali semua aturan tentang eksplorasi bumi (dan umumnya isu pelestarian lingkungan) untuk lebih memperketat regulasinya demi menghindarkan peluang kerakusan dan konglomerasi industri pertambangan, salah satunya dengan memberikan perhatian lebih pada masyarakat di sekitar tambang yang akan menerima akibat eksplorasi secara langsung. Selain itu, perlu disusun regulasi yang lebih utuh tentang ancaman kerusakan bumi sebagai akibat ekploitasi dunia industri.
Salah satu cara yang dilakukan, dengan menginternalisasi pertimbangan teologis sebagai nilai etik yang me dasari semua usaha koservasi lingkungan dan praktik eksplorasi sebagai bentuk hadirnya sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam praktik bernegara.
Untuk ini, sudah ada model konstruksi dan konseptualisasi nilai etik yang dinamakan 'Green Halal Value' sebagai rumusan kerangka spiritual atau spiritual framework dalam praktik industri pariwisata. menjadi konsep baru: Green Halal Tourism.
Dengan nilai etik itu, maka industri parawisata Halal yang kini lagi jadi global trending memiliki parameter ekologi agar tidak terjebak praktik perusakan lingkungan sebagaimana dalam industri Pariwisata Massal (Mass Tourism).
Sebagaimana SDGs, nilai etik spritual ekologi ini ke depan diharapkan bisa menghindarkan pengabaian tujuan pemberlakuan syariat Islam atau al-Maqashid as-Syariah dalam kehidupan sehari-hari. Semoga. (*)
Surabaya, 17 Juni 2025
*Oleh Ahmad Hakim Jayli, CEO TV9 Nusantara, Alumnus Program Doktoral Ilmu Lingkungan UB, sedang merancang 'The Khalifah Bumi Institute
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rifky Rezfany |