Kopi TIMES

PDI-P dan Komandante: Siapa yang Berdaulat, Partai atau Pemilih?

Rabu, 18 Juni 2025 - 09:26 | 29.57k
David Kamaluddin El Barito, S.I.P., Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
David Kamaluddin El Barito, S.I.P., Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Salah satu tantangan klasik dalam praktik demokrasi perwakilan adalah menjaga keseimbangan antara legitimasi elektoral dan kontrol internal partai. Dalam konteks inilah sistem Komandante yang diterapkan PDI Perjuangan menjadi menarik sekaligus kontroversial.

Melalui sistem ini, PDI-P melakukan pemetaan elektoral (electoral mapping) dengan menunjuk para Komandante, komandan tempur untuk mengendalikan wilayah politik tertentu dalam setiap daerah pemilihan (dapil). Tujuannya? Mencegah persaingan antarcaleg dari partai yang sama, dan memastikan perolehan suara partai tetap optimal, sehingga setiap Komandante bertanggung jawab atas kemenangan suara partai di wilayahnya.

Advertisement

Namun, di balik konsep yang terlihat solid ini, muncul persoalan serius. Dalam Pemilu 2024 misalnya, setidaknya ada 20 caleg PDI-P di Jawa Tengah yang justru terancam tidak dilantik meski berhasil memperoleh suara sah terbanyak di dapil mereka (Kumparan, 2024). Alasannya? Mereka kalah mempertahankan suara partai di wilayah tempur mereka.

Ketua DPD PDI-P Jateng, Bambang Wuryanto, beralasan bahwa Komandante merupakan perwujudan semangat gotong royong ala Bung Karno. Tetapi, wajar bila publik mempertanyakan, apakah gotong royong dalam politik harus mengorbankan kehendak pemilih?

Fenomena ini menunjukkan adanya benturan antara dua sumber legitimasi: legitimasi elektoral dari rakyat, dan legitimasi struktural dari partai. Di sinilah pemikiran Hanna Pitkin (1967) menjadi relevan.

Menurut Pitkin, representasi tidak cukup hanya berdasarkan otorisasi formal atau legalitas administratif. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana wakil rakyat menjalankan fungsi substantifnya: membawa dan memperjuangkan kepentingan publik dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam sistem Komandante, wakil yang sudah memperoleh mandat sah dari rakyat justru digugurkan karena tak sesuai dengan struktur internal partai. Konsekuensinya? Suara rakyat kehilangan legitimasinya bahkan sebelum proses perwakilan dijalankan. 

Ini adalah paradoks demokrasi. Rakyat telah memilih, tetapi suara mereka dibelenggu oleh mekanisme internal partai yang tertutup. Legitimasi elektoral dikalahkan oleh loyalitas struktural.

Fenomena ini mencerminkan bentuk representasi yang Pitkin disebut sebagai formalistic representation. Yakni, ketika status sebagai wakil rakyat hanya diakui jika telah melalui jalur otorisasi formal (yang dalam hal ini adalah regulasi partai), bukan karena dipilih rakyat. 

Akibatnya, esensi dari perwakilan itu sendiri hilang. Fungsi wakil bukan lagi sebagai jembatan aspirasi, tapi sebagai kepanjangan tangan partai.

Lebih ironis lagi, ketika simbol loyalitas seperti Komandante diromantisasi sebagai bentuk kedekatan ideologis dengan ajaran Soekarno, namun justru bertentangan dengan semangat demokrasi yang diperjuangkan Bung Karno: kedaulatan di tangan rakyat. 

Representasi yang hanya simbolik atau deskriptif, misalnya karena satu visi atau kesamaan identitas tidak serta-merta menjamin keberpihakan substantif terhadap rakyat (Fain, 1980). Loyal tidak selalu berarti mewakili.

Komandante juga menimbulkan dilema klasik dalam politik perwakilan: apakah wakil rakyat harus bertindak sebagai delegate yang menjalankan kehendak pemilih sepenuhnya atau sebagai trustee yang bertindak berdasarkan pertimbangan moral dan pengetahuan pribadi? 

Dalam sistem ini, caleg PDI-P bahkan tak diberi ruang menjadi keduanya. Mereka justru berperan sebagai agent partai semata, kehilangan otonomi untuk mewakili rakyat secara mandiri.

Kita patut bertanya: demokrasi macam apa yang kita jalankan jika suara rakyat tidak lagi menentukan siapa yang akan duduk di parlemen? Ketika proses politik lebih mengutamakan loyalitas partai dibanding mandat pemilih.

Maka demokrasi kehilangan rohnya. Parlemen tidak lagi menjadi tempat artikulasi aspirasi publik, melainkan arena reproduksi kekuasaan internal yang eksklusif.

Sistem Komandante mungkin dirancang untuk menertibkan barisan internal partai. Tapi jika dampaknya adalah menganulir suara rakyat, maka yang terjadi adalah pembajakan representasi. Demokrasi bukan lagi perihal keterwakilan rakyat, melainkan sekadar pelengkap ritual elektoral.

Jika PDI-P ingin tetap relevan dalam demokrasi modern, sudah saatnya mengevaluasi ulang praktik-praktik internal yang justru menjauhkan partai dari rakyat. Loyalitas terhadap partai memang penting. Tapi dalam negara demokrasi, suara rakyat semestinya jauh lebih penting.

***

*) Oleh : David Kamaluddin El Barito, S.I.P., Mahasiswa Magister (S2) Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES