Kopi TIMES

Ketika Agama Tak Lagi menjadi Jalan Pulang

Minggu, 13 Juli 2025 - 09:00 | 16.22k
Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik serta Pemerhati Literasi dan Pemikiran Islam Humanistik.
Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik serta Pemerhati Literasi dan Pemikiran Islam Humanistik.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, GERSIK – Agama sejatinya adalah jalan pulang. Ia membimbing manusia kembali kepada sumber hakikinya; Tuhan, ketenangan, dan kemanusiaan yang utuh. Namun kini, di tengah hiruk-pikuk sorot dan sorakan, agama sering dijadikan panggung. Ia tak lagi menjadi jalan pulang ke hati dan akhlak, tapi panggung besar untuk tampil, dipuja, bahkan dijual.

Sebagai konsep, agama adalah sistem keyakinan yang seharusnya mengarahkan manusia kepada kejujuran diri, cinta sesama, dan kedekatan dengan Tuhan. 

Advertisement

Dalam konteks sosial, agama berfungsi membebaskan manusia dari ketakutan, menumbuhkan keadilan, dan menciptakan ketenteraman batin serta sosial. Jika agama kehilangan fungsi ini, maka yang tersisa hanya simbol, tanpa ruh.

Sayangnya, agama kini lebih sering tampil sebagai tontonan ketimbang tuntunan. Fenomena ini terlihat jelas di media sosial dan ruang publik. Banyak yang merasa sah bicara agama (padahal levelnya penabuh rebana), menasihati, memvonis, bahkan menghakimi. 

Tidak ada yang salah dengan dakwah digital, tapi bila niatnya demi popularitas dan bukan keikhlasan, maka yang tumbuh bukan hidayah, melainkan kebingungan.

Ceramah-ceramah viral tak jarang justru penuh emosi, satire, dan gaya panggung. Pendengar tertawa atau terkejut, lalu cepat lupa. Dakwah menjelma jadi hiburan rohani sesaat, bukan proses mendalam untuk mengubah diri. 

Agama kehilangan keteduhannya. Padahal, ia mestinya membawa kita pulang ke hati yang jernih dan akhlak yang luhur.

Yang lebih memprihatinkan, sebagian tokoh agama menjadikan mimbar sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan atau keuntungan materi. Branding lebih penting daripada keteladanan. Jumlah pengikut lebih diutamakan daripada kedalaman ilmu. Agama diramaikan oleh konten, tapi miskin kontemplasi.

Fenomena komersialisasi agama pun kian menguat. Label “syariah” digunakan dalam strategi pemasaran, sedekah dijual sebagai “tiket” surga instan, dan doa menjadi bagian dari “paket usaha”. 

Bahkan, haji dan umrah dipajang sebagai simbol status sosial. Ini bukan wajah agama yang diwariskan para nabi, tapi wajah pasar yang menyaru dalam baju suci.

Tak kalah menyedihkan, agama juga kerap dipakai sebagai alat untuk membelah, bukan menyatukan. Siapa paling murni, paling benar, paling lurus, itu yang dianggap unggul. 

Perbedaan tak dituntun dengan hikmah, tapi diserang dengan ayat. Ruh cinta dalam agama menghilang. Yang tersisa hanyalah ego yang dibungkus dalil.

Bila terus begini, agama tinggal bungkus: istilah, sorban, panggilan, dan simbol-simbol kosong. Nilai-nilai luhur seperti ikhlas, sabar, zuhud, dan kasih sayang makin sulit ditemukan. Kita merasa religius, tapi sejatinya makin jauh dari Tuhan.

Agama bukan alat pamer. Ia adalah kerja batin yang sunyi. Ia menuntut kejujuran, kerendahan hati, dan kesediaan untuk berubah. Dakwah yang hakiki lahir dari hati yang remuk karena rindu kepada Tuhan, bukan karena ingin tampil atau disorot.

Kini saatnya bertanya: ke mana arah agama kita? Apakah ia benar-benar menuntun kita pulang, atau hanya membawa kita berputar-putar di atas panggung? 

Jika tidak hati-hati, kita bisa kehilangan esensinya: bahwa agama adalah jalan pulang, bukan alat untuk menjauh dari sesama maupun dari Tuhan.

***

*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik, Anggota Komisi Fatwa, Hukum dan Pengkajian MUI Kabupaten Gresik serta Pemerhati Literasi dan Pemikiran Islam Humanistik. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES