
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam suasana euforia politik pasca kemenangan Prabowo-Gibran, publik disuguhkan satu realitas ironis yang mencederai harapan atas pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Puluhan wakil menteri (Wamen) di kabinet kini merangkap jabatan sebagai komisaris di badan usaha milik negara (BUMN), sebuah posisi strategis yang sejatinya menjadi ruang kerja bagi para profesional.
Advertisement
Fenomena ini bukan sekadar tumpang tindih jabatan administratif, melainkan potret vulgar bagaimana praktik kolusi, nepotisme, dan bahkan korupsi tampil dengan wajah yang lebih "elegan" melalui distribusi jabatan berbasis kepentingan politik.
Dengan jumlah Wamen yang merangkap jabatan mencapai lebih dari 25 orang, publik dipaksa menyaksikan bahwa kekuasaan hari ini bukan sedang menjalankan amanah demokrasi, melainkan sibuk menunaikan balas jasa politik.
Komisaris BUMN, yang seharusnya menjadi motor penggerak efisiensi, profesionalisme, dan tata kelola perusahaan negara, justru berubah menjadi medan konsolidasi kekuasaan. Maka tak heran jika publik mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya BUMN ini bekerja? Untuk rakyat atau untuk elite?
Padahal, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa wakil menteri adalah bagian dari eksekutif yang setara dengan menteri. Artinya, larangan rangkap jabatan yang berlaku untuk menteri dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara secara logis dan moral berlaku pula bagi para Wamen. Namun, celah tafsir hukum dimanfaatkan untuk membenarkan praktik ini.
Pemerintah berkilah bahwa tidak ada aturan eksplisit yang melarang Wamen merangkap jabatan komisaris. Ini bukan sekadar akrobat hukum, melainkan bentuk lain dari pembajakan moral atas konstitusi dan semangat reformasi birokrasi.
Jika kita tilik lebih dalam, praktik rangkap jabatan ini menimbulkan dua persoalan serius. Pertama, potensi konflik kepentingan yang masif. Ketika seorang Wamen, katakanlah dari Kementerian Pertanian, duduk pula sebagai komisaris di Bulog atau Pupuk Indonesia, maka ia secara bersamaan menjadi pembuat kebijakan sekaligus pengawas entitas bisnis yang terikat langsung dengan kebijakan kementeriannya. Ini ibarat pelatih yang merangkap wasit, hasil pertandingan tentu sudah bisa ditebak.
Kedua, degradasi terhadap profesionalisme dan meritokrasi. BUMN sebagai entitas bisnis milik negara seharusnya dikelola oleh kalangan profesional dengan rekam jejak yang terbukti. Namun kenyataannya, jabatan komisaris dijadikan “hadiah” atas loyalitas politik.
Padahal, keberhasilan BUMN dalam mencetak laba, membuka lapangan kerja, dan menjadi lokomotif ekonomi nasional sangat bergantung pada tata kelola yang sehat dan bebas dari intervensi politis. Ketika loyalitas politik lebih penting daripada kompetensi, maka arah BUMN tak ubahnya seperti kapal tanpa kompas.
Fenomena ini semakin menunjukkan betapa birokrasi kita krisis integritas. Elit pemerintahan lebih sibuk menyusun peta kekuasaan dan distribusi posisi, ketimbang membangun sistem yang transparan dan akuntabel.
Maka tak mengherankan jika publik, terutama generasi muda, semakin apatis terhadap politik. Mereka melihat bahwa jabatan bukan lagi instrumen pengabdian, melainkan alat perburuan rente oleh segelintir elite.
Dalam kerangka yang lebih besar, distribusi jabatan komisaris kepada Wamen ini tak ubahnya seperti transaksi politik. Pemerintah yang sedang dalam masa transisi pasca Pemilu 2024 tampaknya berupaya menjaga stabilitas dukungan dengan memberikan posisi strategis kepada para loyalis, sekaligus membangun jaringan patronase yang akan menopang pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ini mirip dengan praktik pembagian "jatah kursi" pada era Orde Baru, hanya saja kini dibungkus dengan narasi profesionalisme dan sinergi kementerian-BUMN yang sebenarnya hanya ilusi belaka.
Situasi ini juga memperlihatkan lemahnya keberanian lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, maupun Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) untuk bersuara tegas.
Praktik rangkap jabatan seperti ini jelas menabrak semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan. Ketika lembaga-lembaga tersebut diam, maka publik pun merasa bahwa demokrasi bukan sedang diawasi, tapi sedang dirampok secara perlahan.
Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk segera mempertegas putusan sebelumnya agar tak ada lagi ruang tafsir sempit soal larangan rangkap jabatan. DPR pun mesti turun tangan, mendorong revisi undang-undang untuk melarang secara eksplisit Wamen merangkap jabatan di BUMN.
Namun lebih dari sekadar aturan hukum, publik harus mendorong hadirnya kesadaran moral dan etika dalam birokrasi kita. Tanpa integritas dan kemauan untuk membela kepentingan rakyat, negara hanya akan menjadi mesin pemuas hasrat kekuasaan elite.
Praktik rangkap jabatan Wamen di BUMN hanyalah satu dari banyak wajah baru kolusi dan nepotisme yang kini tampil dengan balutan kemewahan, dasi, dan nama jabatan yang sah. Namun di balik itu semua, kita tahu, demokrasi sedang digadaikan. Dan yang paling merugi bukanlah para elite itu, tapi kita: rakyat yang hanya bisa menonton dari balik layar kaca sambil bertanya, “apakah negara ini masih milik kita?”
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |