
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kabupaten Sidoarjo bukan hanya dikenal sebagai kota penyangga industri Surabaya, tetapi juga sebagai salah satu kantong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Jawa Timur.
Dari sentra kerajinan tas di Tanggulangin hingga ragam makanan olahan khas daerah, UMKM menjadi tulang punggung ekonomi lokal dan sumber penghidupan bagi ribuan warga.
Advertisement
Peran strategis ini kian nyata ketika Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sidoarjo mewakili pelaku usaha lokal dalam forum dagang internasional di Hong Kong.
Langkah ini tentu menjadi kabar baik bagi geliat ekspor produk UMKM. Namun, di balik optimisme itu muncul pertanyaan penting, sudahkah UMKM kita siap secara hukum menembus pasar global?
Ketika Semangat Usaha Belum Diiringi Legalitas
UMKM telah lama menjadi pilar penting dalam perekonomian nasional. Menurut ASEAN Investment Report 2022, UMKM menyumbang 60% PDB dan menyerap 97% tenaga kerja.
Meski kontribusinya besar, sayangnya UMKM masih menghadapi tantangan yang signifikan khususnya dalam aspek legalitas usaha. Fakta di lapangan menunjukkan, sebagian besar pelaku UMKM masih menjalankan usaha secara informal.
Mereka belum memiliki bentuk badan hukum resmi seperti CV atau PT, tidak mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), belum mendaftarkan merek dagangnya, bahkan tidak sedikit yang belum mengetahui prosedur dasar perizinan usaha.
Motivasi usaha yang kuat seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman terhadap aspek legalitas. Padahal legalitas adalah pondasi penting dalam membangung bisnis jangka panjang yang berkelanjutan.
Di era perdagangan bebas dan digitalisasi ekonomi saat ini, legalitas bukan lagi sekedar formalitas belaka, melainkan syarat fundametal untuk menciptakan suatu bisnis yang kredibel.
Legalitas adalah bentuk pengakuan hukum atas eksistensi usaha, serta berfungsi menjembatani pelaku UMKM untuk mendapatkan berbagai akses strategis seperti pembiayaan dari bank, kemitraan dengan korporasi, tender pemerintah, dan tentu saja peluang ekspor.
Tanpa legalitas, pelaku UMKM rawan terjebak dalam sengketa, baik dari aspek kontrak dagang kemitraannya maupun perlindungan produknya.
Bagi sebagian besar pelaku UMKM, legalitas usaha masih dianggap urusan “orang besar”. Proses pendirian PT, pengurusan sertifikasi halal, pendaftaran merek di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), atau pembuatan kontrak kerjasama seringkali dianggap rumit, mahal, dan tidak mendesak.
Padahal, pemerintah saat ini melalui UU Cipta Kerja sudah melakukan banyak penyederhanaan regulasi, salah satunya lewat sistem OSS (Online Single Submission). Namun, permasalahan utama justru terletak pada kurangnya literasi hukum dan pendampingan langsung kepada pelaku usaha.
Bayangkan jika ada seorang pelaku usaha keripik rumahan yang ingin menjual produknya ke Malaysia. Tanpa merek yang terdaftar, ia bisa saja kehilangan hak atas nama produknya.
Tanpa standar pengemasan, izin edar, atau sertifikasi halal, bisa saja produknya ditolak di bea cukai. Dan tanpa kontrak dagang yang sah, ia rentan dirugikan dalam kerjasama. Ini bukan soal ketakutan, tapi soal kesiapan.
Potensi Lokal dan Tantangan Gloal
UMKM Sidoarjo sejatinya memiliki keunggulan yang layak bersaing di pasar global mulai dari kualitas produk, inovasi, dan daya kreasi yang tinggi. Namun, pasar global menuntut lebih dari sekedar semangat.
Ia menuntut kepatuhan pada regulasi, keamanan produk, dan kelengkapan administrasi usaha. Maka, jika ingin UMKM naik kelas, pembenahan aspek legalitas harus menjadi prioritas.
Pemerintah daerah dan lembaga pendukung bisnis bisa mengambil peran strategis dalam mendorong transformasi legalitas UMKM. Edukasi dan sosialisasi saja tidak cukup. Dibutuhkan sistem pendampingan berkelanjutan, misalnya seperti program “klinik hukum UMKM”, atau layanan pengurusan kolektif yang bisa menjangkau desa-desa dan komunitas usaha kecil dapat menjadi solusi konkret agar UMKM naik kelas. Perguruan tinggi dan organisasi profesi hukum bisa turun langsung menjadi mitra penggerak dalam hal ini.
Seringkali perlaku UMKM melihat legalitas sebagai pengeluaran tambahan. Legalitas bukan beban, tapi legalitas adalah bagian dari investasi jangka panjang. Dengan legalitas yang kuat, UMKM bisa mengakses pembiayaan dari bank dengan bunga rendah, bisa mendaftarkan produknya ke e-katalog pemerintah, bisa menandatangani kontrak kerja sama tanpa rasa khawatir, dan bisa memperluas pasar tanpa hambatan hukum.
Bahkan kini, banyak lembaga keuangan dan investor menjadikan legalitas sebagai syarat mutlak pemberian dana atau kemitraan. Tanpa NIB, tanpa NPWP, tanpa izin usaha, pelaku UMKM akan terus berada di pinggiran sistem ekonomi formal. Ini akan mempersempit ruang tumbuh mereka sendiri.
Dukungan Multisektor Kunci Keberhasilan
Pemerintah daerah Sidoarjo sebenarnya sudah membuka peluang bagi pelaku UMKM. Berbagai program seperti inkubasi usaha, pelatihan digital marketing, hingga kolaborasi antar instansi telah dijalankan. Namun program tersebut perlu dikawal agar tidak sekedar formalitas.
Harus ada sinergi nyata antara Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Bappeda, serta lembaga hukum untuk membuat skema pembinaan UMKM berbasis legalitas yang menyeluruh.
Selain pemerintah, media lokal juga punya peran penting. Media bisa menjadi ruang edukasi hukum yang ringan, aplikatif, dan dekat dengan kebutuhan pelaku usaha kecil. Misalnya dengan memuat rubrik “Hukum untuk UMKM”, tips mingguan seputar legalitas usaha, atau menampilkan cerita sukses pelaku UMKM lokal yang bisa berkembang lewat legalitas usaha yang tepat.
Sudah banyak bukti bahwa produk UMKM Sidoarjo diminati pasar luar negeri. Namun kita juga harus jujur, belum semua pelaku usahanya siap secara hukum. Di sinilah peran kita bersama, baik pemerintah, akademisi, media, dan masyarakat untuk memastikan bahwa semangat kewirausahaan lokal tidak terhambat hanya karena kurangnya legalitas.
Legalitas bukan sekedar dokumen, tapi pondasi kepercayaan. Dan kepercayaan adalah modal utama dalam dunia bisnis modern. Maka, mari kita bantu UMKM Sidoarjo untuk tidak hanya besar dari segi produk, tapi juga kuat secara aspek hukum. (*)
***
*) Oleh : Utiyafina M Hazhin, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |