
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) yang dinakhodai Fathan Subchi, Anggota 6 BPK RI, baru-baru ini dikukuhkan, tepatnya pada tanggal 13 juli 2025 di Hotel Bidakara Jakarta. Momentum ini tentu saja bukan sekadar seremonial belaka. Lebih dari itu, ia menjadi penanda penting: sebuah momentum konsolidasi kekuatan strategis kaum intelektual muda Nahdliyyin dalam mengarahkan ulang arah perjalanan bangsa. Momentum ini juga menjadi penting dalam situasi bangsa yang menghadapi kompleksitas multidimensi — dari tantangan demokrasi elektoral termasuk sistem kepartaian di dalamnya, krisis etika kepemimpinan, hingga transformasi ekonomi global. Ringkasnya, pengukuhan PB IKA PMII bukan hanya sebagai simpul silaturahmi alumni, melainkan sebagai episentrum perubahan sosial-politik berbasis nilai untuk kemajuan bangsa.
Jika dilihat secara historis, PMII lahir 17 April 1960 di tengah dinamika perjuangan mahasiswa dan kekuatan Islam progresif yang berusaha menyeimbangkan antara nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Sebagai organisasi kader, PMII mengedepankan trilogi nilai: Independen, Intelektual, dan Moderat, yang sejak awal menjadi pembeda dibanding organisasi mahasiswa lainnya. Selanjutnya, IKA PMII kemudian dibentuk untuk merajut kembali jaringan alumni lintas generasi, memperkuat sinergi antar angkatan, serta memfasilitasi kontribusi nyata alumni PMII di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Advertisement
Harus diakui, IKA PMII hari ini bertransformasi laksana jaringan raksasa. Pengurus dan anggotanya tersebar di berbagai posisi strategis: dari pemerintahan pusat hingga daerah, parlemen, kampus, ormas, media, hingga dunia usaha. Di tengah krisis integritas dan defisit kepemimpinan transformatif, keberadaan figur-figur alumni PMII dengan integritas, wawasan kebangsaan, serta militansi sosial-politik menjadi sangat relevan. Tidak sedikit tokoh nasional yang berasal dari rahim PMII: menteri, kepala daerah, birokrat, akademisi, hingga tokoh lintas agama dan profesi. Hal ini menunjukkan bahwa IKA PMII bukan sekadar organisasi alumni, tetapi simpul intelektual-kultural yang memiliki kapasitas besar untuk memengaruhi arah pembangunan nasional.
Peran Strategis
Dalam konteks Indonesia saat ini yang sedang memasuki fase krusial menuju Indonesia Emas 2045, peran PB IKA PMII menjadi penting. Visi Indonesia Emas 2045 ini mengandung empat pilar utama, yaitu pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan ketahanan nasional serta tata kelola pemerintahan yang baik (Bappenas, 2019). Dalam konteks ini, organisasi seperti PB IKA PMII tidak bisa hanya menjadi penonton. Peran historis dan ideologis yang dimilikinya memberi dasar kuat bagi IKA PMII sebagai kelanjutan dari PMII untuk berkontribusi strategis dalam mengawal serta mewujudkan visi tersebut.
Beberapa peran strategis IKA PMII dan tentunya PMII guna mengawal pencapaian visi Indonesia Emas 2045 di antaranya: Pertama, menjadi kawah candradimuka kepemimpinan progresif-transformatif. PMII berperan penting dalam mencetak kader-kader bangsa yang memiliki tiga karakter utama: intelektual, religius, dan nasionalis. Sebagai kawah candradimuka, PMII mengembangkan nalar kritis dan kepekaan sosial kadernya melalui tradisi diskursus, advokasi, dan kaderisasi berjenjang. Hal ini sangat relevan untuk menyiapkan pemimpin transformatif yang dibutuhkan Indonesia masa depan (Azra, 2021). Banyak alumni PMII kini menduduki posisi penting di pemerintahan, akademisi, hingga dunia usaha. Jaringan ini — yang terintegrasi dalam IKA PMII — merupakan modal sosial dan politik yang besar jika dikelola dengan semangat kolaboratif dan integritas kebangsaan.
Kedua, menjadi penjaga nilai moderasi, etika publik dan keberagaman. Dalam konteks kebangsaan yang kerap terancam polarisasi dan radikalisme, IKA PMII berperan sebagai penjaga nilai Islam moderat dan pluralis. IKA PMII konsisten dengan garis pemikiran ahlussunnah wal jama’ah yang mendukung sistem negara Pancasila dan demokrasi konstitusional (Hefner, 2000). Hal ini sangat penting mengingat keberhasilan Indonesia Emas tak hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi, tetapi juga oleh kohesi sosial dan stabilitas politik. IKA PMII dapat berperan sebagai pengawal etika publik dan pendorong akuntabilitas kekuasaan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi negara, suara mahasiswa dan alumni PMII yang kritis namun konstruktif menjadi kebutuhan demokrasi.
Ketiga, agen transformasi sosial dan literasi kritis. PMII memiliki basis kuat di kampus, tempat lahirnya gagasan-gagasan perubahan. Dengan memanfaatkan potensi digital, PMII dapat menjadi agen literasi politik, ekonomi, dan teknologi untuk generasi muda. Sebagaimana ditegaskan oleh Castells (2009), kekuatan sosial baru lahir dari aktor-aktor yang mampu mengartikulasikan pengetahuan dan jaringan — dan PMII berada dalam posisi strategis untuk hal itu. Melalui gerakan advokasi dan pemberdayaan, PMII juga bisa mengawal pembangunan dari bawah, menyuarakan kepentingan kelompok marginal, dan mendorong kebijakan yang inklusif. Tentu peran-peran tersebut terus berlanjut dilakukan oleh IKA PMII baik yang berbasis di kampus maupun luar kampus.
Keempat, sinergi strategis dengan IKA PMII. Sebagai simpul alumni, IKA PMII memiliki potensi besar untuk menjembatani dunia aktivisme dan pengambilan kebijakan publik. Dengan mengintegrasikan energi kader muda dan pengalaman alumni di berbagai sektor, IKA PMII dapat mengembangkan ekosistem kolaboratif untuk mendorong good governance, reformasi birokrasi, penguatan ekonomi rakyat, hingga pengembangan pendidikan berbasis karakter. IKA PMII dapat bertransformasi menjadi mitra strategis pemerintah, baik di pusat maupun daerah, guna memastikan bahwa pembangunan nasional sejalan dengan cita-cita keadilan sosial dan kemandirian bangsa.
Energi Kolektif
Visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya cita-cita teknokratis, tapi merupakan amanat peradaban. Ia membutuhkan energi kolektif dari semua elemen bangsa — terutama kelompok intelektual muda yang progresif, religius, dan nasionalis. Dalam konteks ini, PMII dan IKA PMII memiliki posisi yang tidak tergantikan. Dengan seluruh daya dan potensi tersebut, PMII dan IKA PMII tidak boleh hanya menjadi pelengkap dalam narasi besar bangsa. Mereka harus tampil sebagai aktor sejarah — penentu arah dan pengawal moral perjalanan bangsa menuju masa depan. Bukan semata mewarisi sejarah panjang gerakan mahasiswa, tetapi juga mewujudkan legacy baru untuk Indonesia yang lebih beradab, berkeadilan, dan berkemajuan. Dengan memperkuat kaderisasi, menghidupkan tradisi intelektual, membangun etika kepemimpinan, dan memperluas jaringan kolaborasi lintas sektor, peran strategis PMII dan IKA PMII dapat direalisasikan. Inilah waktunya. Semoga.
***
*) Penulis: Prof. Komarudin, Rektor Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Umum HISPISI.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ahmad Nuril Fahmi |
Publisher | : Rochmat Shobirin |