Kopi TIMES

Menerjemahkan Ekoteologi dalam Praktik Beragama

Jumat, 18 Juli 2025 - 21:56 | 13.26k
Dedi Slamet Riyadi Kasubdit, Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik, Ditjen Bimas Islam Kemenag.
Dedi Slamet Riyadi Kasubdit, Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik, Ditjen Bimas Islam Kemenag.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pembukaan International Conference on Islamic Ecotheology for The Future of The Earth (ICIEFE) 2025 pada Senin (14/7) lalu menjadi momen istimewa dan langka. Konferensi bertajuk “Islamic Ecotheology and The Climate Crisis: Building Ethical and Sustainable Pathways” ini mempertemukan dua ulama besar: KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dan Prof. Nasaruddin Umar. 

Dengan gaya yang berbeda, keduanya sama-sama menerjemahkan bagaimana ekoteologi Islam seharusnya dihidupkan dalam praktik kehidupan beragama.

Advertisement

Gus Baha: Meneladani Allah untuk Menyelamatkan Bumi

Dalam ceramah singkatnya, tak lebih dari lima menit, Gus Baha mengingatkan pentingnya gerakan untuk menyelamatkan bumi. Ia mengawali ceramahnya dengan mengutip Al-Qur’an, surah Al-Mulk ayat 16:

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga tiba-tiba bumi itu berguncang?”

Pilihan ayat ini, kata Gus Baha, adalah peringatan keras. Manusia sering merasa aman, tenang, dan santai, sehingga terus mengeksploitasi bumi tanpa batas. Mereka memaksa bumi mengeluarkan seluruh isinya demi memenuhi hasrat yang tak pernah puas.

Padahal, bumi ini bukan milik manusia sepenuhnya. Allah yang Maha Mencipta dan Maha Memelihara memiliki kuasa penuh untuk membalikkan bumi dan menimpakan azab kepada manusia. Karena itu, sikap tenang yang mengabaikan krisis ekologi sejatinya adalah kelengahan spiritual.

Lalu bagaimana cara menyelamatkan bumi? Gus Baha mengutip qaul ulama, takhallaqû bi akhlâqillâh “teladanilah akhlak Allah.” Manusia diperintahkan merawat bumi dengan meneladani cara Allah memelihara ciptaan-Nya. Dalam surah ‘Abasa ayat 24–32, Allah memerintahkan manusia memperhatikan makanannya:

Bagaimana dia menurunkan air dari langit, membelah bumi, menumbuhkan biji-bijian, anggur, sayuran, zaitun, kurma, kebun-kebun lebat, buah-buahan, dan rumput untuk manusia serta ternak. 

Ayat ini seakan berkata, “Lihatlah prestasi-Ku. Lihat apa yang Kulakukan untuk menghidupi makhluk.” Maka, upaya merawat bumi menjadi tindakan Ilahiah: menanam, memelihara, dan menghidupkan lingkungan adalah bagian dari meneladani Allah.

Gus Baha menegaskan, menanam pohon yang tampak sederhana sejatinya adalah tindakan spiritual. Sebaliknya, orang-orang yang merusak tanaman, merusak tumbuhan, dan memusnahkan populasi, adalah golongan yang dibenci Allah:

“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, merusak tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan,” (Q.S. Al-Baqarah: 205)

Implikasi praktis dari pesan Gus Baha sangat jelas: selamatkan bumi dengan tindakan kecil tapi berkelanjutan, tanam pohon, rawat kebun, pelihara kehidupan. Itu semua adalah bagian dari ibadah.

Berbeda dari gaya sederhana Gus Baha, Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengajak peserta konferensi melihat persoalan ekologis melalui lensa sejarah dan kosmologi.

Ia mengutip tesis Lynn White, seorang penulis Amerika, dalam esai populernya “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” (1967). White menilai tradisi Abrahamik khususnya Yahudi-Kristen berkontribusi pada krisis ekologi. 

Dalam kitab Genesis, manusia digambarkan sebagai ciptaan menurut gambar Tuhan, diberi kuasa menaklukkan bumi dan menguasai segala isinya. Pandangan ini, kata White, menjustifikasi eksploitasi alam tanpa batas.

Prof. Nasaruddin menjelaskan, tradisi positivisme Barat yang berkembang sejak abad ke-18 juga memperkuat pandangan ini. Manusia didorong untuk menaklukkan semesta: sungai, gunung, lautan, bahkan seluruh isi bumi. Tidak cukup hanya menjelajah, mereka mengeksploitasi, mengeruk, dan menghisap bumi.

Namun, sebelum mengulas kritik White lebih jauh, Prof. Nasaruddin lebih dulu membahas pentingnya kosmologi Islam. Untuk memahami ekoteologi, kata dia, kita harus mengerti terlebih dulu apa itu alam (kullu ma siwallah, segala sesuatu selain Allah), siapa manusia, dan bagaimana hubungan keduanya.

Dalam Islam, alam bukan sekadar objek mati. Alam adalah ayat, tanda-tanda yang menunjukkan kehadiran Allah. Dari pemahaman kosmologi ini lahir ekoteologi Islam, sebuah teologi yang tidak menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentris), tapi mengakui kesetaraan eksistensial dengan alam.

Prof. Nasaruddin meminjam istilah Martin Buber tentang hubungan I-It (aku–dia) dan I–Thou (aku–kamu).

Kaum positivis memandang alam sebagai I-It objek yang bisa dieksploitasi. Sementara dalam ekoteologi Islam, alam harus dipandang sebagai I–Thou subjek yang setara, yang harus dihormati.

Pendekatan ini juga selaras dengan pandangan filsuf Emanuel Levinas tentang the Face wajah segala sesuatu yang memantulkan Yang Tak Terhingga, yakni Allah. Dengan kata lain, ketika manusia memandang alam, ia sedang berjumpa dengan jejak Ilahi.

Jika kita menghidupkan alam, kita menghidupkan diri sendiri. Jika kita merusaknya, kita sebenarnya menghancurkan diri sendiri. Alam bukan sekadar fasilitas hidup, tetapi jalan menuju pengenalan kepada Allah (alam-at). Inilah mengapa alam harus dipandang sakral.

Pensakralan Alam: Jawaban Islam atas Krisis Lingkungan

Paparan Kiai Nasaruddin ini berkelindan dengan gagasannya tentang sacred place and sacred time tempat dan waktu yang sakral. Pensakralan alam, kata dia, adalah jawaban ekoteologi Islam terhadap kritik Lynn White bahwa tradisi Abrahamik memisahkan manusia dari alam.

Berbeda dengan tradisi yang dituding White, Islam justru menegaskan bahwa alam bertasbih kepada Allah. Gunung, laut, tumbuhan, hewan, semua tunduk dan memuji Sang Pencipta (Q.S. Al-Isra: 44). Pandangan ini bukan antroposentris, melainkan ekosentris.

Di sini, Menang  mendorong reinterpretasi nilai-nilai religius untuk mendukung ekologi. Menyelamatkan bumi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari tauhid.

Cendekiawan Muslim seperti Seyyed Hossein Nasr dan Fazlun Khalid juga menekankan hal serupa: tauhid bukan hanya keyakinan teologis, tetapi juga kesadaran ekologis. Jika semua makhluk adalah ciptaan Allah, maka merawat bumi adalah bagian dari menjaga amanah-Nya.

Dari Teologi ke Aksi: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pesan yang muncul dari dua tokoh ini tegas: ekoteologi bukan sekadar wacana, tapi pedoman laku hidup.

Gus Baha menegaskan tindakan praktis menanam, merawat, menghidupkan bumi adalah meneladani Allah. Menag yang juga Imam Masjid Istiqlal ini mengingatkan bahwa hubungan manusia dengan alam adalah hubungan spiritual yang harus dihormati, bukan hubungan eksploitasi.

Maka, menjaga lingkungan bukan sekadar agenda aktivis, tapi bagian dari ibadah. Memelihara kebersihan masjid, menanam pohon di halaman pesantren, mengurangi sampah plastik saat kegiatan keagamaan, hingga menjadikan masjid sebagai pusat gerakan ramah lingkungan, semuanya adalah implementasi nyata ekoteologi Islam.

Dengan kesadaran ini, penyelamatan bumi bukan sekadar isu ekologis, melainkan panggilan iman. (*)

***

*) Oleh : Dedi Slamet Riyadi Kasubdit, Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik, Ditjen Bimas Islam Kemenag.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES