Kuliner

Roti Ganjel Rel, Riwayatmu Dulu dan Kini

Selasa, 14 September 2021 - 08:10 | 309.81k
Anita Bastian produsen roti ganjel rel makanan khas Semarang di Semarang, Senin (13/9/2021). (Foto: Dhani Setiawan/TIMES Indonesia)
Anita Bastian produsen roti ganjel rel makanan khas Semarang di Semarang, Senin (13/9/2021). (Foto: Dhani Setiawan/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Rempah-rempah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tradisi kuliner di Indonesia, tidak terkecuali untuk membumbui jajanan atau kue. Salah satu kue yang kaya akan rasa rempah adalah kue Ganjel Rel atau Kue Gambang Betawi. Selain cita rasanya yang unik, kue legendaris ini juga menyimpan banyak cerita, dari mulai awal kemunculannya di bumi nusantara bersamaan dengan migrasi orang Belanda, hingga transformasinya seiring perkembangan zaman.

Bagi warga Semarang, ganjel rel tidak hanya bermakna ganjalan atau tumpuan rel kereta api, tetapi juga nama kue khas kota ini. Selain namanya yang unik, kue ini juga memiliki cita rasa dan aroma yang kaya akan unsur rempah seperti cengkeh dan kayu manis. Penampakannya seperti bolu atau roti berwarna coklat dengan taburan wijen di atasnya, namun teksturnya cenderung keras, padat, dan berserat.

Advertisement

Bagi Soeprapto, 85 tahun, sarapan kue Ganjel Rel adalah salah satu cara bernostalgia dengan masa lalu. Maklum, kue legendaris itu kini semakin sulit ditemui. Hanya pada masa tertentu saja makanan ini naik pamor seperti saat Perayaan Dugderan, yang menandai awal Bulan Ramadhan. Pada perayaan itu, kue Ganjel Rel yang alot dan keras dibagikan ke masyarakat sebagai pengingat tentang kegigihan rakyat Pribumi dalam memperjuangkan banyak hal termasuk kemerdekaan, ketaatan dalam beribadah (termasuk puasa), dan sebagainya.

Dalam kenangan Soeprapto, orang zaman dulu dapat menemukan kue Ganjel Rel dengan mudah di pasar tradisional atau toko yang khusus menjual kue ini. "Sekarang cukup sulit menemukan Ganjel Rel. Padahal dulu saat saya masih muda, biasanya (saya) sarapan jajanan ini," kata Soeprapto, yang suka menikmati Ganjel Rel dengan meneguk secangkir teh. Dia mengatakan, karena tekstur kue yang padat, maka hanya dengan makan satu atau dua potong saja, perut sudah kenyang.

roti-ganjel-rel.jpg

Roti ganjel rel terbuat dari terigu dan berbagai bumbu rempah seperti pala, kayu manis, jahe dan cengkeh. (Foto: Dhani Setiawan/TIMES Indonesia)

Sejarawan asal Semarang, Jongkie Tio mengatakan orang Semarang zaman dulu biasanya menikmati Ganjel Rel di pagi hari dengan secangkir kopi atau teh. "Karena bentuknya seperti balok dan keras, maka orang menamainya Ganjel Rel," kata Jongkie. Jajanan yang dulunya sering ditemukan di kawasan Johar dan Kauman di pusat Kota Semarang ini digemari tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Orang Indonesia sendiri, kata Jongkie, tidak memiliki budaya makan roti. "Orang Belanda lah yang punya," katanya. Begitu pun dengan asal muasal roti Ganjel Rel yang aslinya bukan dari Indonesia, tapi Belanda. Seiring dengan migrasi bangsa Belanda di bumi nusantara untuk berburu rempah-rempah berabad-abad yang lalu, mereka membawa serta budaya mereka termasuk kuliner.

Orang Eropa, termasuk Belanda, dikenal suka mencampurkan rempah untuk berbagai keperluan termasuk makanan dan pengobatan. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Rempah dari Erotisme Hingga Imperialisme (2011), Jack Turner menggambarkan tentang bagaimana orang eropa pada zaman dulu tergila-gila dengan rempah, sehingga mendorong sebagian dari mereka seperti bangsa Portugis, Inggris dan Belanda menjelajah ke "dunia baru" pada abad ke-15. Konon, masakan orang Eropa pada masa itu terasa aneh dan cenderung hambar sehingga mencampurkan rempah akan memperkaya cita rasanya. Selain itu, rempah dapat meningkatkan gengsi (prestige) bangsawan yang membeli atau mengkonsumsinya karena harganya yang mahal.

Ganjel Rel versi Belanda dikenal dengan sebutan Ontbijtkoek yang berarti kue yang dimakan untuk sarapan (ontbijt = breakfast/sarapan, koek = cake/kue). Banyak juga yang menyebutnya kue rempah Belanda karena dibumbui beberapa macam rempah seperti cengkeh, kayu manis, jahe, dan pala. Sebagian besar resep tradisional masakan Belanda memang membutuhkan rempah-rempah (kruiden), yang pada awalnya diperdagangkan oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). 

Dalam tasteatlas.com, situs yang membahas kuliner dari berbagai negara di  dunia, disebutkan bahwa Ontbijtkoek telah ada di Belanda sejak abad ke-16. Ia dideskripsikan sebagai salah satu makanan pokok orang Belanda yang disajikan ketika sarapan. Meski demikian, ia juga sering disuguhkan ketika makan siang atau camilan tengah malam. Di atas Ontbijtkoek biasanya dilapisi mentega atau selai, dan beberapa potong keju sebagai pelengkap.

Produsen Kue Ganjel Rel, Anita Subastian (33) mengatakan resep asli Ontbijtkoek a la Belanda terdiri dari campuran tepung gandum hitam, lelehan brown sugar, serta bumbu rempah seperti cengkeh, kayu manis, jahe, dan pala. Adonan yang sudah diolah hingga kalis, lalu dipanggang. Namun orang Pribumi yang miskin tidak mampu menikmati roti yang sama yang biasanya disantap para Noni dan Meneer Belanda tersebut. Sebabnya tidak lain karena mereka tidak mampu membeli gandum yang mahal. Dengan sedikit modifikasi, bahan gandum lalu diganti dengan tepung gaplek atau singkong kering. Hal inilah yang menyebabkan roti tidak mengembang dan menjadi bantat, sehingga disebut Ganjel Rel.

Anita, yang juga pemilik toko roti Nyonyah Cakery di Semarang, mengatakan sejalan dengan masa kemerdekaan dan perkembangan zaman, kue Ganjel Rel mengalami perubahan. Dari yang awalnya memakai tepung gaplek, berubah menjadi tepung terigu. Dari yang awalnya tidak memakai telur, kini menggunakan telur. Tekstur yang awalnya keras, menjadi empuk. "Kalau sekarang produsen kue cenderung mengikuti selera pasar," kata perempuan 33 tahun tersebut.

Namun satu hal yang tidak berubah adalah penggunaan rempah-rempah, terutama kayu manis, yang tetap dipertahankan. Di dunia kuliner, kayu manis sering digunakan untuk memperkuat rasa dan wangi makanan. Ia dapat menghilangkan bau amis atau bau tak sedap dari bahan makanan dan sebaliknya memberi citarasa sedap. Sedangkan ketika diracik untuk minuman herbal, ia memberi sensasi yang menyegarkan.

Lebih lanjut Jongkie Tio membenarkan bahwa Ganjel Rel saat ini sudah jauh berbeda dengan yang dia temui beberapa dekade lalu. Kue yang keras dan bantat sudah tidak lagi ada, berganti menjadi kue bertekstur empuk, mirip brownies. Dia menduga selera pasar lah yang menentukan berbagai perubahan tersebut. "Meski demikian, hal ini tidak perlu diperdebatkan," katanya.

Apabila di Semarang kue hasil akulturasi budaya Indonesia-Belanda tersebut dikenal dengan sebutan Ganjel Rel, di Jakarta ia dikenal dengan nama Roti Gambang Betawi. Menurut Budayawan Betawi Yahya Adi Saputra, perusahaan roti Belanda di Batavia --Sekarang Jakarta-- menamainya roti gambang karena terinspirasi dari bilah-bilah gambang pada alat musik gambang kromong. Semarang dan Batavia sendiri pada zaman dulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan memiliki pelabuhan sebagai jalur perdagangan rempah. Banyak orang Belanda yang tinggal di dua kota ini. Jika di Semarang berpusat di Kota Lama, di Batavia mereka lebih tersebar.

Pada peringatan Hari Roti Sedunia pada Oktober 2019, Media asal Amerika Serikat, Cable News Network (CNN) menobatkan kue Gambang sebagai salah satu dari 50 roti terbaik di dunia, bersanding dengan roti terbaik dari negara lain seperti baguette dari Prancis, ciabatta dari Italia, dan Karavai khas Rusia. Puluhan roti tersebut dikurasi oleh chef pastry yang juga merupakan penulis perjalanan dan kuliner, Jen Rose Smith. Roti-roti tersebut dipilih karena rasanya yang lezat, bahan-bahannya yang unik, serta statusnya yang ikonik. Roti Gambang sendiri dideskripsikan sebagai kue hasil adaptasi dari bahan dan teknik yang berkembang di Belanda, lalu disesuaikan dengan selera lokal.

Kue Ganjel Rel dengan berbagai cerita yang menyertainya menjadi penanda bahwa salah satu unsur utama yang membentuk kuliner Indonesia adalah pengaruh barat (Eropa). Hal ini turut ditegaskan oleh Dosen Sejarah Unpad Fadly Rahman dalam pengantar bukunya yang berjudul "Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870 - 1942" (2016). Ramainya persentuhan budaya antara Eropa dan bumi Nusantara sendiri dimulai sejak abad ke-16 dan memuncak pada abad ke-19. Pada masa itu, kehidupan masyarakat kolonial tersegmentasi secara sosial, politik, dan ekonomi namun interaksi dalam ranah budaya tidak dapat terelakkan --terutama di pulau jawa sebagai lokus utama ragam gaya hidup kolonial. Perpaduan budaya barat dan pribumi yang mulai menggejala sejak abad ke-19 lalu dikenal dengan istilah "kebudayaan indis" (Soekiman, 2000:26-27).

Sebagaimana umumnya tatanan masyarakat di tanah jajahan, orang-orang eropa lazim menempatkan diri sebagai kelas sosial tertinggi yang selalu membatasi hubungan dengan kelas sosial yang lebih rendah. Meskipun demikian, pengaruh masyarakat yang dijajah nyatanya merasuk dalam keseharian hidup orang-orang Eropa. Sebaliknya, masyarakat yang dijajah pun pada akhirnya turut menyerap unsur-unsur kebudayaan barat baik secara mental maupun fisik dalam keseharian hidup mereka.

Fadly melihat kecenderungan bahwa perpaduan yang melahirkan kebudayaan Indis ini terbentuk dari kondisi sosial yang menampilkan citra angkuh kolonialisme pada satu sisi, namun keterikatan dan ketertarikan orang-orang Eropa terhadap lingkungan alam dan budaya Pribumi di sisi lainnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES