Gudeg Bekal Perang Pasukan Sultan Agung Saat Serang Batavia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mendengar kata gudeg, pasti langsung teringat kota Yogyakarta. Ya, gudeg memang makanan khas Daerah Istimewa Yogyakarta.
Makanan ini terbuat dari nangka muda yang dimasak lama dengan berbagai bumbu khas Jawa hingga airnya habis.
Advertisement
Biasanya gudeg juga disandingkan dengan makanan pelengkap lainnya, seperti cecek pedas, telur, dan dan ayam bacem. Rasanya cenderung manis legit dan pedas dari cecek.
Namun tahukah Anda asal mula gudeg? Dari penelusuran TIMES Indonesia, ada beberapa versi tentang makanan otentik ini.
Dilansir dari laman gudeg.net, gudeg diciptakan oleh pasukan Sultan Agung saat akan pergi ke medan perang.
Jadi saat itu Mataram akan menyerang Batavia. Karena jarak yang sangat jauh, pasukan membawa bekal makanan yang bisa awet berhari-bari. Maka dibuatlah gudeg.
Gudeg bisa awet berhar-hari karena dimasak secara seksama dalam waktu yang tak sebentar. Menu ini dimakan prajurit selama perjalana menuju Batavia.
Sementara dari laman National Geographic, gudeg tercipta pada abad ke-15 dimasa berdirinya Kerajaan mataran Islam di alas Mentaok, Kotagede, Yogyakarta.
Profesor di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM Murdijati Gardjito yang juga seorang penulis buku berjudul Gudeg Yogyakarta, menjelaskan bahwa gudeg pertama kali dibuat oleh prajurit kerajaan karena mendapati buah nangka muda, melinjo dan kelapa berlimpah.
"Saat pembangunan kerajaan Mataram di alas Mentaok, banyak pohon ditebang. Di antaranya ada pohon nangka, melinjo dan kelapa. Karena buah dari pohon ini melimpah, prajurit membuatnya sebagai masakan kemudian terciptalah gudeg," ungkap Murdijati.
Lebih lanjut Murdjati menjelaskan asal mula nama gudeg. Kata dia caramemasak bahan tersebut dengan cara diaduk terus menerus dalam waktu yang lama.
"Bahasa jawanya diaduk itu hangudeg, lalu makanan ini lebih populer dengan nama gudeg," paparnya.
Gudeg sendiri sudah muncul di Serat Centhini, makanan ini kerap disajikan untuk para tamu kerajaan Mataram pada abad ke- 16.
Sebagai informasi, Serat Centhini ditulis pada 1814-1823 atas perintah Adipati Anom Amangkunegara III yang kemudian menjadi raja Keraton Kasunanan Surakarta dengan gelar Sunan Pakubuwono V.
Dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci bumbu gudeg nangka terdiri dari daun salam, daun jeruk, lengkuas, gula jawa, santan, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, santan dan garam.
Hingga saat ini gudeg tetap lestari dengan penyajian yang makin beragam. Secara tradisional, gudeg disajikan dalam kendil (semacam wadah mirip panci yang terbuat dari tanah liat). Ada juga yang menyajikan dalam besek (anyaman bambu). Lebih kekinian dan lebih tahan lama, gudeg juga tersedia dalam kemasan kalengan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |