Perjuangan Janda Berprofesi Guru di Probolinggo Menghidupi Ketiga Anaknya
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Setiap perjuangan pasti membutuhkan tenaga dan tingkat kesabaran yang luar biasa. Bahkan harus melalui beragam godaan dan tantangan. Lebih lagi bagi seorang singgel perent atau seorang janda. Salah satunya seperti kisah perjuangan hidup Maulidia Octa. Guru PPPK yang mengajar di SMK Sukapura, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.
Guru 33 tahun asal Banyuwangi Kota ini mulai menjalani hidup barunya pada tahun 2021 lalu. Saat itu ia memutuskan bercerai dengan suaminya. Perceraian terpaksa ia lakukan lantaran rasa sakit hatinya ketika mendapati sang suami berselingkuh dengan wanita lain. Sehingga ia memutuskan untuk bercerai, termasuk membawa ketiga anaknya yang masih kecil.
Advertisement
“Anak pertama perempuan usia 11 tahun, anak kedua laki-laki usia 9 tahun dan yang ketiga laki-laki lagi usia 5 tahun,” katanya saat ditemui TIMES Indonesia.
Perempuan lulusan Tata Boga Universitas Malang tahun 2013 itu sebelumnya merupakan guru honorer di sekolah swasta yang ada di Banyuwangi Kota. Saat itu ia memang tidak pernah mendaftarkan diri untuk menjadi PNS.
“Jadi saat itu masih ikut suami. Ketika saya daftar CPNS, formasi untuk tata boga itu di Banyuwangi kota sangat sedikit. Sementara jika harus keluar kota, tidak mungkin. Sebab saya harus meninggalkan suami dan anak. Makanya saat itu saya tidak daftar CPNS,” katanya.
Namun nasib berkata lain. Pada tahun 2021 ia harus bercerai. Bahkan rasa keibuan yang ada di hatinya membuatnya tidak tega jika harus melepas ketiga anaknya. Sehingga, meski sulit ia tetap mempertahankan ketiga anaknya agar bisa ikut dengannya.
Kemudian untuk tetap bisa mencukupi rumah tangganya, maka pada tahun 2023 ia mencoba peruntukan mendaftar PPPK. “Saat itu pilihannya di Probolinggo atau Lumajang. Kalau Probolinggo cuman satu lowongan. Sementara untuk Lumajang ada tiga. Namun karena saya pikir di Probolinggo masih bisa dilewati pantura, maka saya memutuskan daftar di Probolinggo,” lanjutnya.
Dan ia bersyukur pendaftarannya diterima. Ia ditempatkan di SMK Sukapura. “Mulanya berat. Namun harus dijalani. Sehingga awal itu saya menitipkan anak-anak ke ibu saya. Saya berangkat ke Probolinggo, tepatkan SMK Sukapura. Dan rupanya jaraknya sangat jauh,” tuturnya.
Saat di Sukapura, ia bertemu dengan temannya yang juga mengajar di sana. Rumahnya di Pajarakan. Lantaran jauh, maka keduanya memutuskan untuk mencari kosan.
“Saya awal mengajar bulan Juni tahun lalu. Jadi saya sama teman itu pulang dari sekolah mencari kosan. Tapi mencari kosan di kota tidak ketemu. Sehingga sekitar satu mingguan saya tidur di rumah teman,” terangnya.
Lantaran sulit mendapatkan kosan, akhirnya keduanya memutuskan untuk patungan ngontrak rumah di Triwung, sekitar depan terminal. Setelah SK turun, ia memutuskan pinjam ke bank dan pada tanggal 16 Maret membuka warung yang diberi nama Pawon Osing.
“Nama itu diambil dari nama Banyuwangi. Dengan ayam betutu dan nasi tempong khas Banyuwangi menjadi menu andalan,” katanya.
Semenjak itu juga ia membawa ketiga anaknya. Kemudian ketiga anaknya disekolahkan di MI Muhammadiyah. “Jadi warung ini berdekatan dengan senam elizabet. Jadi memang memilih disini lantaran dekat dengan sekolah anak-anak," kata dia.
"Yang pertama kelas 4 SD yang kedua kelas 2 SD dan yang ketiga masih 5 tahun. Nah untungnya juga yang ngemong anak-anak saya dulu, juga ikut bersama saya. Sehingga anak-anak juga merasa nyaman,” imbuhnya.
Dengan membuka usaha dapur osing ini ia berharap ada tambahan pemasukan baginya. Sehingga selain anak anaknya terjamin, ia juga bisa bermanfaat untuk orang lain.
“Memang dari dulu saya suka plating makanan, namun sama mantan suami tidak boleh buka warung takut tidak laku. Nah, saat ini saya benar benar bonek (bondo nekad) yang terpenting bagi saya selalu bersyukur dan menjalani dengan ikhlas,” imbuhnya.
Bahkan, dengan aktivitas warungnya itu, setiap pukul 02.00 WIB pagi, ia harus bangun dan bersiap ke pasar untuk mempersiapkan warungnya. Sebab pukul 05.30 ia harus berangkat ke SMK Sukapura.
“Yang berat itu ketika anak-anak berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Dan alhamdulillah, anak-anak meski kelas 4 dan kelas 2 SD mengerti. Sehingga kadang saya berangkat terlebih dahulu,” terangnya lagi.
Bahkan ketika musim hujan beberapa bulan lalu, kerap kali ia kehujanan ketika berangkat dan juga pulang mengajar. “Kadang mantelnya ketinggalan mas. Jadi yah terpaksa harus hujan-hujanan,” tuturnya.
Menurutnya, meski saat ini ia termasuk bonek, bahkan tak punya saudara di Probolinggo, namun demi perjuangan kedepan baginya tidak masalah. Ia ingin tunjukkan jika bisa.
“Saya tidak ingin anak-anak yang menjadi korban perselisihan orang tuanya tidak bahagia. Minimal bisa tercukupi. Selain itu saya juga bisa bermanfaat dengan membantu para karyawan saya untuk bekerja,” tandas guru PPPK di Probolinggo tersebut. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |