Serangga Masuk Menu Makan Bergizi Gratis, MUI: Hanya Belalang yang Halal-Thayyib

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Rencana Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memasukkan serangga sebagai salah satu pilihan menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengundang pro-kontra di masyarakat. Isu kehalalan makanan ini langsung mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menekankan pentingnya prinsip halal dan thayyib (baik) dalam setiap konsumsi makanan oleh umat Muslim.
Kehalalan Serangga dalam Perspektif Islam
Menurut KH Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, konsumsi makanan halal merupakan kewajiban setiap Muslim, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat KH Miftahul Huda mengutip firman Allah SWT:
Advertisement
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
Artinya: "Makanlah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu beriman."* (QS Al-Maidah [5]: 88).
Menurutnya, prinsip halal dan thayyib tidak boleh diabaikan, karena menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal dapat membatalkan keimanan seseorang. “Dalam Islam, hanya belalang yang secara jelas disebutkan kehalalannya,” ujar KH Miftahul Huda saat dihubungi, Senin (28/1/2025).
Hadis Nabi tentang Kehalalan Belalang
Kiai Miftah mengutip hadis Nabi Muhammad SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتان ودَمَّان، فأمَّا الْمَيْتَتان فالحوت وَالْجَرَادَ، وَأَمَّا الدَّمَّانِ فَالْكَبِدَ وَالطَّحَالَ
Artinya: *"Dari Ibnu Umar RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 'Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Adapun dua darah yaitu hati dan limpa.'"* (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis ini, belalang dianggap halal untuk dikonsumsi, sementara serangga lainnya (hasyarat) umumnya diharamkan oleh mayoritas ulama.
“Serangga selain belalang dianggap haram karena najis, membahayakan, dan tidak mungkin dilakukan proses penyembelihan,” jelas Kiai Miftah.
Jenis serangga lain, seperti jangkrik, ulat sagu, atau laron, cenderung dianggap haram oleh mayoritas ulama karena dinilai najis dan sulit memenuhi kaidah penyembelihan secara syariat.
BGN: Serangga Sebagai Sumber Protein Lokal
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa rencana memasukkan serangga ke dalam menu MBG didasari pertimbangan gizi dan potensi lokal. “Beberapa daerah di Indonesia sudah terbiasa mengonsumsi serangga sebagai sumber protein. Namun, kami tidak memaksakan. Menu akan disesuaikan dengan kondisi lokal,” ujar Dadan saat menghadiri Rapimnas PIRA di Jakarta, Sabtu (25/1/2025).
Dadan juga menegaskan bahwa standar MBG tidak berbasis menu nasional, melainkan komposisi gizi yang disesuaikan dengan sumber daya di setiap daerah. “Di daerah dengan sumber ikan atau telur yang melimpah, kita maksimalkan potensi itu. Serangga hanyalah salah satu alternatif.”
Pro-Kontra: Inovasi atau Kontroversi?
Rencana ini menuai tanggapan beragam. Sebagian pihak menganggap serangga sebagai alternatif sumber protein yang murah, kaya gizi, dan ramah lingkungan. Namun, kehalalan dan penerimaan budaya menjadi tantangan utama, terutama di wilayah yang tidak terbiasa dengan konsumsi serangga.
Beberapa daerah di Indonesia, seperti Sulawesi dan Jawa Barat, memiliki tradisi mengonsumsi serangga tertentu, seperti jangkrik, ulat sagu, atau laron. Namun, kebiasaan ini belum tentu diterima secara luas di wilayah lain.
Rekomendasi Menjawab Tantangan Kehalalan
Untuk mengatasi polemik ini, beberapa langkah strategis dapat diambil oleh BGN dan pihak terkait yakni sertifikasi halal, edukasi dan sosialisasi, edukasi dan sosialisasi, hingga kajian mendalam.
BGN perlu bekerja sama dengan BPJPH untuk memastikan serangga yang digunakan dalam program MBG telah tersertifikasi halal. Pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat gizi serangga dan proses penjaminan kehalalannya untuk meningkatkan penerimaan.
Serangga sebaiknya menjadi opsi lokal, sementara daerah lain dapat menggunakan alternatif sumber protein yang lebih diterima, seperti ikan, telur, atau kacang-kacangan.MUI dan lembaga riset dapat melakukan kajian lebih lanjut tentang potensi kehalalan serangga tertentu yang mungkin belum tercakup dalam fatwa sebelumnya.
MUI: Pemerintah Harus Berhati-hati
KH Miftahul Huda mengingatkan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan program MBG memenuhi prinsip halal. “Makanan halal dan thayyib adalah hak setiap Muslim. Kami berharap pemerintah mempertimbangkan prinsip ini dengan sungguh-sungguh,” ujar Kiai Miftah.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia diharapkan tetap memprioritaskan nilai-nilai agama dan budaya dalam setiap kebijakan yang menyentuh masyarakat luas. “Inovasi boleh dilakukan, tetapi prinsip dasar kehalalan tidak boleh diabaikan,” tandasnya.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |