Pemerintahan

TPST Piyungan Overload, Pakar Lingkungan Kaji PLTSa Untuk Atasi Sampah Kota

Selasa, 18 Februari 2020 - 16:44 | 153.34k
Direktur Center for Waste Management & Bioenergy Universitas Janabadra (UJB), Yogyakarta Dr Mochamad Syamsiro. (FOTO: Istimewa/TIMES Indonesia)
Direktur Center for Waste Management & Bioenergy Universitas Janabadra (UJB), Yogyakarta Dr Mochamad Syamsiro. (FOTO: Istimewa/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tahun 2020, Pemda DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) mengalokasikan anggaran Rp 14 miliar untuk memperpanjang usia Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST Piyungan), Kabupaten Bantul.

Alokasi anggaran tersebut untuk memaksimalkan keberadaan TPST Piyungan yang belakangan mendapat sorotan dari masyarakat karena volume sampah terus menggunung. TPST Piyungan disinyalir sudah tidak mampu lagi menampung sampah dari wilayah Yogyakarta, Sleman dan Bantul hingga akhirnya beberapa kali ditutup karena ada persoalan teknis maupun sosial dengan warga sekitar. Kondisi ini menyebabkan sampah tertumpuk tidak bisa dibuang dan membuat keresahan warga.

Advertisement

Menanggapi peliknya persoalan pengelolaan sampah di Yogya itu, pakar lingkungan yang juga Direktur Center for Waste Management & Bioenergy Universitas Janabadra (UJB), Yogyakarta Dr Mochamad Syamsiro memikirkan soal peluang penanganan sampah perkotaan dengan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Pemikiran soal PLTSa ini, ujar Syamsiro, dilatari setelah beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengadakan Rapat Terbatas membahas permasalahan sampah yang tidak kunjung selesai.

“Presiden saat itu menekankan pada progres yang lambat dari penyelesaian PLTSa yang seharusnya bisa menjadi solusi menangani tumpukan sampah yang semakin menggunung," kata Mochamad Syamsiro, Selasa (18/2/2020).

Presiden Jokowi sempat geram karena permasalahan sampah tidak kunjung selesai, padahal sudah dilakukan sekitar 6 kali rapat. Syamsiro mengatakan hal ini dikarenakan Presiden sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 18 Tahun 2016 yang isinya adalah mengenai program percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di tujuh kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, Tangerang dan Surakarta.

Perpres ini bertujuan untuk mempercepat penanganan sampah kota yang hingga saat ini masih menjadi persoalan serius kota-kota besar di Indonesia. Dengan Perpres ini diharapkan persoalan yang muncul dari timbulan sampah dapat diatasi sekaligus menghasilkan listrik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Walaupun kemudian Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) setelah dilakukan permohonan uji materiil oleh 15 individu dan 6 lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Alasan para pemohon salah satunya adalah penggunaan teknologi termal penanganan sampah yang berpotensi menimbulkan pencemaran udara yang membahayakan bagi kesehatan masyarakat.

“Walaupun alasan tersebut sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Kita harus memahami terlebih dahulu apa itu teknologi termal sebelum mengatakan bahwa teknologi tersebut sangat polutif," papar Syamsiro.

Kemudian Presiden memperbaikinya dengan mengeluarkan Perpres baru No. 35 tahun 2018 dengan menambahkan poin pada teknologi ramah lingkungan. Intinya adalah pengembangan PLTSa menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan teruji. Bahkan cakupan lokasinya diperluas menjadi 12 kota, sehingga ada tambahan 5 kota dari Perpres sebelumnya.

“Untuk dapat memahami dan meyakinkan masyarakat akan pentingnya penggunaan teknologi di dalam pengelolaan dan pengolahan sampah, khususnya PLTSa, maka perlu ada penjelasan yang lebih rinci lagi sehingga tidak ada lagi kontroversi dalam penerapan teknologi tersebut," terang Syamsiro. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani
Sumber : TIMES Yogyakarta

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES