Menakar Peran Kelompok Kepentingan Pasca Pengesahan UU Cipta Kerja

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kelompok kepentingan (interest group) di Indonesia pada hari-hari ini seharusnya muncul ke ruang publik dan menyediakan sarana-sarana mediasi bagi tersalurnya aspirasi publik. Karena pasca pengesahan RUU Cipta Kerja, atau yang akrab disebut sebagai Omnibus Law, masyarakat terpecah dalam kondisi pro dan kontra yang begitu besar.
Dominasi kontra yang di warnai gelombang demonstrasi di berbagai daerah oleh para buruh terjadi lebih mengkritisi regulasi terkait upah, jam kerja, status pekerjaan, maupun sistem jaminan kerja.
Advertisement
Padahal ada banyak aspek yang dipengaruhi oleh keberadaan Undang-Undang ini, seperti tata ruang dan wilayah, pemanfaatan ruang dan wilayah baik itu daerah aliran sungai, pesisir pantai dan sebagainya.
"Bila kita berkaca pada RUU-nya, setidaknya terdapat 79 UU yang direvisi oleh RUU Cipta Kerja tersebut," ujar Ketua Umum Visi Indonesia Unggul, Horas Sinaga, Rabu (7/10/2020).
Menurutnya, seluruh kelompok kepentingan baik itu organisasi kemasyarakatan, LSM, lembaga pengamat kebijakan publik, maupun organisasi Civil Society lainnya, yang memiliki kepentingan atau bidang kajiannya berkaitan dengan klaster-klaster Undang-Undang dalam RUU Cipta Kerja memiliki tugas untuk menghadirkan ruang aspirasi publik.
Ruang yang dimaksud bisa sekedar sebagai mediator dengan pemerintah, atau dengan partai politik dan media massa, atau membangun diskusi publik untuk menemukan sisi negatif dan sisi positif yang mungkin terjadi dengan implementasinya pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
Pertanyaannya mengapa harus kelompok kepentingan?
"Jawabannya, karena kelompok kepentingan lahir di tengah masyarakat sebagai sebuah antithesis dari tidak bekerjanya fungsi partai politik dalam memperjuangkan kepentingan umum," tegasnya.
Alexis De Tocqueville, filsuf dalam bidang politik dan sejarah dari Prancis (1805-1859), mengkritik partai politik sebagai tempat para hipokrit, sehingga tidak mudah lagi dipercaya mampu menjadi media saluran aspirasi publik, atau setidaknya menjadi lembaga pendidikan politik.
“Kita tidak melihat bergeraknya organ-organ partai politik dalam membangun diskusi publik, dan menjadi saluran publik selama tujuh bulan pembahasan RUU Cipta Kerja ini di DPR RI," ungkap Horas.
Sementara itu, menurut FX. Gian Tue Mali selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia menambahkan, bahkan ketika para anggota DPR RI itu dipertanyakan persetujuannya terkait isi UU Cipta Kerja, semua menyatakan persetujuan.
"Padahal hingga pengesahannya masih ada pasal-pasal yang ditolak oleh masyarakat baik melalui demonstrasi, unjuk rasa, maupun diskusi melalui media massa," ujar FX. Gian Tue Mali.
Kelahiran kelompok kepentingan yang disyaratkan memiliki otonomi atas kepentingan politik maupun kekuasaan pemerintah maupun elit partai politik.
"Sehingga harus berswadaya dan melaksanakan fungsi swasembada diharapkan kehadirannya dalam diskusi publik tentang pengesahan UU Cipta Kerja ini," jelas FX Gian Tue Mali menambahkan.
Memang fungsi ini telah dijalani oleh berbagai kelompok kepentingan, yang didominasi oleh kelompok kepentingan buruh, ekonomi, dan lingkungan hidup, padahal itu hanyalah sebagian dari 79 klaster UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja ini.
Maka, guna mendorong tujuan ini, Visi Indonesia Unggul bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia mengadakan diskusi terkait peran kelompok kepentingan sebagai aktor lain dalam negara demokrasi, menunjukkan betapa besarnya peran kelompok kepentingan dalam menjalankan fungsi desentralisasi kekuasaan, menyuarakan aspirasi publik yang tidak terakomodir melalui partai politik maupun media massa, atau aspek lain yang lolos dari konsentrasi pemerintah.
Horas Sinaga yang juga adalah Founder & CEO dari Christian School Of Culture, Politics, & Economics (CHRISPOL) kembali menambahkan, dengan dibukanya ruang diskusi dan ruang saluran aspirasi publik ini maka proses demokratisasi semakin hari semakin baik kualitasnya karena terlibatnya masyarakat dalam upaya mempengaruhi dan mewujudkan aspirasi politiknya.
Senada, FX Gian Tue Mali menegaskan, di tengah pandemi, maupun di tengah penguasaan media massa oleh elit, hingga dominasi kepentingan elit di tubuh partai politik, peran kelompok kepentingan di Indonesia merupakan sebuah kewajiban yang harus diwujudkan demi terbangunnya demokrasi yang tidak hanya memenuhi unsur prosedural namun substansial seperti kedaulatan rakyat, partisipasi aktif, kesetaraan, maupun keadilan sosial itu sendiri. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |