Rachmat Hidayat PDIP Tepis Isu Kembalinya Dwifungsi ABRI dalam Revisi UU TNI

TIMESINDONESIA, MATARAM – Politikus PDIP asal Nusa Tenggara Barat (NTB) Rachmat Hidayat, menyatakan bahwa pengesahan revisi UU TNI dalam sidang paripurna pada 20 Maret 2025 tidak menghidupkan kembali konsep Dwifungsi ABRI.
Menurut anggota Komisi I DPR RI ini, revisi UU TNI tersebut justru memperkuat supremasi sipil dan meningkatkan kinerja TNI dalam menghadapi tantangan masa kini.
Advertisement
Pengalaman Pahit Sebagai Landasan Sikap
Rachmat Hidayat, yang juga merupakan korban langsung dari penerapan Dwifungsi ABRI di era Orde Baru, menegaskan komitmennya untuk menentang revisi UU TNI jika nantinya dijadikan alat mengembalikan militerisme dalam kehidupan sipil.
"Saya tahu betul bagaimana rasanya hidup di bawah Dwifungsi ABRI. Sebagai korban langsung Dwifungsi ABRI, saya yang pertama akan berdiri menentang revisi UU TNI jika itu membuka jalan bagi kembalinya militerisme di ranah sipil," kata Rachmat dalam pernyataannya, Rabu (26/3/2025).
Proses Pembahasan yang Transparan dan Kritis
Sebagai anggota Panja Revisi UU TNI, Rachmat mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah melewatkan satu pun pembahasan terkait revisi UU TNI. Proses pembahasan dilakukan dengan sangat kritis dan mendetail, bahkan sampai pada penempatan titik dan koma dalam setiap frasa.
"Tidak hanya Fraksi PDI Perjuangan, seluruh fraksi juga memiliki komitmen yang sama untuk menutup jalan dan celah kembalinya Dwifungsi ABRI," ujarnya.
Menepis Kekhawatiran Publik
Rachmat menekankan bahwa tidak perlu ada kekhawatiran di kalangan publik menyusul pengesahan revisi UU TNI tersebut. Menurutnya, revisi yang dilakukan sudah berada dalam koridor reformasi dengan semangat supremasi sipil yang kuat.
"Revisi UU TNI itu memastikan bahwa era militeristik Orde Baru tak akan kembali. Tidak ada celah Dwifungsi ABRI. Reformasi terus berjalan dan supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam demokrasi kita," tegasnya.
Latar Belakang Sejarah dan Dampaknya
Dalam paparan sejarahnya, Rachmat mengenang betapa militer merasuk dalam setiap sendi kehidupan bernegara pada masa Orde Baru. Militer tidak hanya mendominasi lembaga legislatif, pemerintahan daerah, dan bahkan level pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat.
"Di masa Orde Baru, militer memiliki peran besar dalam politik dan birokrasi. Konsep Dwifungsi ABRI membuat militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan, tetapi juga berperan dalam pemerintahan dan ekonomi," papar Rachmat.
Rachmat juga mengungkapkan pengalaman pahit yang dialaminya ketika menjadi korban penindasan melalui Dwifungsi ABRI. Pengalaman tersebut menjadi motivasi kuat baginya untuk terus memperjuangkan prinsip-prinsip reformasi dan supremasi sipil.
"Pengalaman pahit itu bukan untuk mengungkit luka lama, melainkan sebagai pembelajaran bagi bangsa dan generasi penerusnya," katanya.
Komitmen Bersama Untuk Demokrasi yang Lebih Baik
Dalam pembahasan yang melibatkan semua fraksi di Panja, Rachmat menyatakan bahwa tidak ada satu pihak pun yang menginginkan kembalinya Dwifungsi ABRI.
Bahkan, anggota Panja yang merupakan mantan perwira TNI pun menunjukkan sikap yang sama.
Hal ini menunjukkan keseriusan seluruh wakil rakyat untuk memastikan bahwa TNI menjalankan tugasnya dalam kerangka kerja sama yang memperkuat hubungan dengan masyarakat, serta menegaskan batas-batas tugas prajurit di luar fungsi militer.
Rachmat menegaskan bahwa revisi UU TNI ini adalah langkah strategis untuk menjawab tantangan zaman yang berbeda.
"Revisi UU TNI ini hanya mencakup tiga koridor: memperkuat kerja sama TNI dengan masyarakat, kepastian tugas prajurit di ranah sipil, dan perubahan batas usia pensiun TNI. Dengan demikian, militerisme dalam politik telah menjadi bagian dari sejarah dan kita menegaskan bahwa pemerintahan tetap berada di tangan sipil," kata Rachmat Hidayat. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |