Pendidikan

Ajarkan Bahasa Isyarat Bisindo, Anika Kampanyekan Anti Bullying dan Stop Diskriminasi

Kamis, 27 Desember 2018 - 06:33 | 204.83k
Anika saat mengajari salah satu peserta seminar di Bawaslu Kota Batu agar mengenal bahasa isyarat Bisindo. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Anika saat mengajari salah satu peserta seminar di Bawaslu Kota Batu agar mengenal bahasa isyarat Bisindo. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BATU –  Jangan dibully, #stopdiskriminasi, kalimat ini yang pertama kali dikatakan oleh Ketua komunitas Shining Tuli Batu, Anika Dyah Erviani SPd setiap kali bertemu orang lain dengan bahasa isyarat Bisindo.

Dua kalimat itu yang menjadikan alasan Anika gencar terus mengkampanyekan penolakan terhadap aksi bullying dan diskriminasi terhadap penyandang tuli di Kota Batu.

Advertisement

Gadis alumnus IKIP PGRI Jember ini, setiap hari berkeliling, menyapa banyak orang untuk mengenalkan penyandang tuli dan bahasa isyarat Bisindo sambil mengkampanyekan Stop Bullying dan Diskriminasi.

komunitas-Shining-Tuli-2.jpg

“Lewat gerakan yang saya lakukan ini, saya berharap tercipta kesetaraan. Jika masyarakat, keluarga dan teman menguasai bahasa isyarat bisa menjadi jembatan komunikasi dengan penyandang tuli,” ujar sarjana Pendidikan Luar Biasa ini.

Sama seperti penyandang tuna rungu lainnya, Anika juga pernah menjadi korban aksi bullying oleh teman-temannya sejak SD, namun ia berhasil membangun kepercayaan diri, hingga kini ia berdiri memperjuangkan kesetaraan untuk penyandang tuli.

“Ditengah hiruk pikuk isu sara, panasnya politik, serta banyaknya ujaran kebencian yang tengah melanda negeri ini ada satu hal yang menurut saya sering kita abaikan dan menggangap itu adalah hal yang biasa untuk dilakukan, yakni diskriminasi terhadap kaum difabel seolah tidak memiliki nilai berita dibanding isu isu lainnya,” kata Anika kepada Times Indonesia.

Padahal menurutnya, kaum difabel lebih rentan terhadap munculnya diskriminasi, munculnya pelecehan baik fisik maupun verbal.

Keprihatinan ini yang membuat Anika bersama teman-teman komunitasnya tak pernah bosan mengkampanyekan Stop Bullying dan Diskriminasi kepada siapa saja yang ditemui.

Caranya dengan mengajarkan orang lain bahasa Isyarat Bisindo. Ia berharap dengan mengetahui bahasa isyarat ini, orang lain menjadi peduli terhadap kaum difabel khususnya tuna rungu.

“Kadang di cafe atau lewat instagram, atau di FB Shining Tuli Batu dan setiap kesempatan saya berusaha mengenalkan bahasa Isyarat Bisindo,” kata Anika dengan bahasa isyarat.

Seperti saat ia diundang Bawaslu Kota Batu dalam kegiatan sosialisasi pemilu, kesempatan ini digunakan Anika untuk mengenalkan bahasa isyarat Bisindo.

komunitas-Shining-Tuli-3.jpg

Gadis yang tinggal di Dadapan Kulon, Kecamatan Pujon Kabupaten Malang ini mengatakan bahwa Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) adalah salah satu bahasa isyarat yang berlaku di Indonesia.

Di Indonesia ada dua bahasa isyarat yang digunakan yaitu Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau Sibi dan Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo.

Perbedaan mendasar antara keduanya, Sibi menggunakan abjad sebagai panduan bahasa isyarat tangan satu, sementara Bisindo menggunakan gerakan tangan (dua tangan) sebagai upaya komunikasi antar pengguna bahasa isyarat.

“Sementara Peneliti dari Laboratorium Riset Bahasa Indonesia (LRBI) di Universitas Indonesia, Pheter Angdika mengatakan, Sibi diambil dari bahasa isyarat Amerika Serikat ditambahkan imbuhan awal dan akhir,” ujarnya.

Anika juga masuk ke dalam organisasi pemuda seperti Karang Taruna untuk mengajarkan para pemuda bahasa isyarat, termasuk mengajarkan karakter penyandang tuna rungu, sehingga semua orang semakin mengenali.

Ia menjelaskan tuli adalah seseorang yang tidak memiliki pendengaran secara maksimal. Mereka tidak bisa mendapatkan informasi yang bersifat audio secara maksimal.

“Kami menghargai kebijaksanaan pemerintah yang menyebut kami sebagai tuna rungu. Akan tetapi, jika kita melihat kamus bahasa Indonesia, tuna berarti gangguan/ penyakit. Kami tidak merasa ada penyakit dalam diri kami. kami merasa sehat dan bisa hidup seperti orang hearing. Kami berpikir kami lebih ingin dan merasa lebih nyaman bila dikatakan sebagai seorang tuli. Tuli bukan kata kasar, tuli adalah sebuah identitas,” katanya.

Penyandang tuli, menurutnya memiliki budaya senang berkumpul dalam komunitas tuli. “Tetapi kami lebih senang jika bisa berkomunikasi dengan hearing (orang yang memiliki pendengaran normal),” ujarnya.

Menurutnya penyandang tuli jarang menggunakan tulisan karena EYD mereka berantakan, karena menurut Anika kurang mendapatkan perhatian dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

“Guru, orang tua dan keluarga senang kami bisa berkomunikasi dengan oral, tetapi kami lebih senang dan bangga berkomunikasi dengan bahasa isyarat,” katanya.

Karena itu, Anika Dyah Erviani SPd, Ketua Komunitas Shining Tuli Batu terus mengenalkan bahasa isyarat Bisindo sambil mengkampanyekan Jangan dibully, #stopdiskriminasi terhadap penyandang tuli. (*)

  

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Batu

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES