
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dewasa ini makna pendidikan seolah direduksi menjadi persekolahan. Menurut Asep Sapaat, Pemerhati Pendidikan, Litbang di Klinik Pendidikan MIPA, hal essensial dari pendidikan kerap kali disepelekan.
"Pendidikan direduksi maknanya jadi persekolahan. Maka, lahirlah kaum terpelihara," ujarnya kepada TIMES Indonesia, Sabtu (11/5/2019).
Advertisement
Sayangnya lanjut Asep, kaum terpelajar tersebut tak serta merta menjadi kaum yang terdidik. Seharusnya, anak-anak itu dibina agar memiliki jati diri sebagai manusia terdidik dan barulah mereka bisa menjadi aset bangsa.
"Masa depan bangsa ini ada di tangan anak-anak kita. Jika anak-anak Indonesia tak kenal diri, tak pandai merawat diri, dan tak sadar diri sebagai manusia terdidik, akankah Indonesia masih mempunyai masa depan?" tanya Asep.
Menurutnya, saat ini kita terlalu percaya diri dengan angka partisipasi kasar maupun murni anak Indonesia bisa mengenyam bangku persekolahan mendekati angka 100 persen. Namun sayang, alih-alih jadi aset masa depan bangsa, kaum terpelajar justru kerap menambah beban persoalan bangsa.
"Yang bisa bersekolah itu orang terpelajar. Tapi, tak otomatis terdidik dengan baik. Seluruh energi kita habiskan untuk membuat anak bangsa bisa bersekolah. Sayang seribu sayang, hasil dunia persekolahan masih saja melahirkan kaum terpelajar tapi tak terdidik. Indikatornya, rendah sikap kemandiriannya, miskin kreativitas, tak cakap bernalar, berperilaku buruk (menyontek, tawuran, perundungan, lemah tanggung jawab, dan sebagainya), dan muara dari semua itu, kaum terpelajar kita mengalami krisis jati diri," beber Asep.
Oleh karenanya, sebagai Pemerhati Pendidikan Asep menyebut, sekolah itu penting tapi belajar jauh lebih penting. Sebab kata dia, esensi hidup itu untuk belajar, bukan cuma bersekolah.
"Belajar itu menuntut ilmu. Menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sekadar mendapatkan selembar ijazah untuk mencari pekerjaan. Karena belajar, benar dan keliru pun jadi tahu. Ketika anak-anak Indonesia bersekolah, siapa bisa jamin anak-anak kita sudah belajar?" ungkapnya.
"Jika tak ada perubahan yang relatif permanen dalam ranah kognitif, ranah afektif, ranah psikomotorik, maka itu tanda anak-anak Indonesia sudah bersekolah tetapi tidak belajar," sambung dia.
Lebih dari itu, ia mengungkap jika saat ini yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan Indonesia adalah bagaimana pendidikan mampu membangun jati diri seorang anak. Bagaimana menanamkan kesadaran diri lewat aktivitas belajar di mana pun dan kapan pun itu. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |
Sumber | : TIMES Jakarta |