Pendidikan

Artificial Intelligence Dunia Perhotelan di Jepang Belum Mampu Gantikan Peran Manusia

Kamis, 24 Oktober 2019 - 21:56 | 395.54k
Kondo Yoshio, Presiden Direktur International Foundation of Education and cultural Exchange (IFECE) dan Fuji LTD, saat mengisi kuliah tamu di Fakultas Sastra Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Rabu (23/10/2019).(Foto : Istimewa)
Kondo Yoshio, Presiden Direktur International Foundation of Education and cultural Exchange (IFECE) dan Fuji LTD, saat mengisi kuliah tamu di Fakultas Sastra Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Rabu (23/10/2019).(Foto : Istimewa)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYAJepang telah menerapkan pelayanan berbasis teknologi artificial intelligence (kecerdasan buatan) dalam dunia perhotelan. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya menanggulangi penurunan jumlah tenaga kerja dan efisiensi biaya. 

Teknologi dalam dunia perhotelan ini memanfaatkan robot dan beragam aplikasi. 

Advertisement

“Hotel berbasis bisnis di Jepang harus menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) agar bisa bersaing dengan kompetitor,” terang Kondo Yoshio, Presiden Direktur International Foundation of Education and cultural Exchange (IFECE) dan Fuji LTD, saat mengisi kuliah tamu di Fakultas Sastra Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, Rabu (23/10/2019).

Salah satu contoh hotel di Jepang yang telah menerapkan teknologi kecerdasan buatan adalah Henn na Hotel di Tokyo yang dikelola oleh salah satu biro wisata. Hotel tersebut menggunakan robot-robot canggih dalam pelayanan sehingga mempersingkat waktu.

Perusahaan pengembang juga telah siap berekspansi membangun 100 hotel di Asia Tenggara.

“Teknologi artificial intelligence sangat mudah dengan bantuan robot. Dalam kamar hotel ini semua aplikasi menggunakan tablet,” tambahnya dalam Bahasa Jepang.

Kendati demikian, tambah Kondo, artificial intelligence tidak bisa diterapkan sepenuhnya pada hotel pariwisata yang mengutamakan pelayanan. Teknologi ini hanya bisa diaplikasikan hotel bisnis untuk efisiensi tenaga kerja. 

Sentuhan tenaga kerja manusia masih sangat dibutuhkan dalam kondisi yang bersifat pelayanan, seperti merawat orang sakit dan melayani wisatawan asing. 

Terlebih dengan meningkatnya pariwisata di Jepang, industri setempat membutuhkan penyerapan tenaga kerja sumber daya manusia lebih banyak lagi.

Sedangkan kendala Jepang adalah minat pekerja dalam dunia perhotelan makin menurun. Setidaknya sebesar 20,2 persen tenaga kerja perhotelan kerap berpindah profesi. 

Sehingga kekurangan tenaga kerja ini mendapat perhatian cukup serius. Jepang sendiri sudah berupaya memperbaiki tunjangan mencapai 30 persen, hingga memperbaiki mekanisme artificial intelligence, serta membuka peluang masuknya pekerja asing paruh waktu. 

“Agar tenaga kerja tidak menurun guna menghindari ketidak stabilan,” sambungnya.

Dalam lima tahun mendatang, Jepang menargetkan penyerapan 25 ribu tenaga kerja asing. Kebijakan pemerintah tersebut dilatar belakangi pertumbuhan kondisi perekonomian dan pergeseran dari sektor industri menuju sektor pariwisata. 

“Jepang kini mulai menggenjot sektor pariwisata. Saat ini kami berfikir menarik kunjungan wisatawan karena potensi kecantikan alam Jepang,” tandasnya.

Target kunjungan pada 2020 mendatang adalah sebesar 40 juta orang wisatawan dengan nilai perputaran uang mencapai 8 triliun yen dan sepuluh tahun berikutnya (2030) 60 juta orang dengan perkiraan pendapatan 15 triliun yen.

Dalam kesempatan tersebut, Desy Irmayanti selaku ketua panitia, menuturkan, jika acara kuliah tamu ini bertujuan membuka peluang kerjasama serta memberi bekal bagi mahasiswa yang berencana magang ke Jepang.

Fakultas Sastra Unitomo telah mengirim mahasiswa dalam program intership sejak 2016. Antara lain di Kyoto dan Wakayama. “Rata-rata mereka magang di bidang perhotelan dan kebetulan kami ada mata kuliah pariwisata juga,” terang Desy.

Total hingga tahun ini, Unitomo telah mengirim 25 mahasiswa dalam program pertukaran pelajar dengan durasi magang mulai 6 bulan sampai 1 tahun. 

Persyaratan magang mahasiswa antara lain wajib memiliki kemampuan Bahasa Jepang minimal level III dan mahasiswa telah berada di jenjang semester 5 ke atas. Kendala yang sering dialami mahasiswa adalah perbedaan budaya yang menyebabkan culture shock.

Desy berharap dengan potensi peluang kerja dalam dunia perhotelan di Jepang tersebut, turut memacu mahasiswa meningkatkan keahlian akademik dalam mempelajari kebudayaan Jepang.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES