Model Pembelajaran 2020 ala UMM Jadi Viral, Ini Penjelasan Soeparto

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Model Pembelajaran 2020 menjadi viral lantaran namanya yang pas berbarengan dengan musim wabah Covid-19 di tahun 2020 ini. Kebetulan pula akibat wabah ini dianjurkan kampus dan sekolah melakukan pembelajaran daring (online) yang sebenarnya telah dilakukan pakar pendidikan UMM Soeparto pada 2006 silam.
Kala itu, tahun 2006, mantan stafsus Mendikbud Muhadjir Effendy ini telah membuat konsep Model Pembelajaran 2020. Nama itu ternyata pas karena tahun 2020 ini kampus harus melakukan PBM online.
Advertisement
Seperti apa Model Pembelajaran 2020? Bagaimana asal mula ide sehingga namanya ada tahun 2020? Berikut wawancara TIMES Indonesia dengan sang pencetusnya, Soeparto.
Nama Model Pembelajaran 2020 mendadak viral di media sosial berkat kejelian Anda menamakannya. Bagaimana asal mulanya?
Begini. Awalnya saat longgar di Kantor Rektorat, saya nyambangi Kantor Jurusan Bahasa Inggris UMM di Gedung Kuliah Bersama Lantai 6. Saat itu memang saya lebih sering ke Jakarta daripada ke Kantor Jurusan. Saya naik tidak pakai lift. Saya lewat belakang di Lantai 3,5 yang melewati jajaran meja kursi tempat mahasiswa kerjakan tugas. Lalu, saya mengamati sesuatu yang menarik.
Apa itu?
Sambil jalan saya mengamati ada 3-4 mahasiswa yang mengerjakan tugasnya dengan mennulis tangan di kertas folio garis. Lalu saya tanya: "Le (panggilan anak laki), zaman gini (waktu itu tahun 2006) mengerjakan tugas ditulis tangan pakai kertas folio garis. Emangnya gak ada laptop ato komputer?"
Apa jawaban mahasiswa itu?
Disini menariknya. Mereka menjawab: "Lho Pak. Jangan salah. Kami nulis tangan di kertas ini karena permintaan dosennya."
"Kok gitu?" tanya saya penasaran. "Karena kalau diketik, takutnya teman-teman copy paste," jawabnya.
Apa yang ada dalam pikiran Anda waktu itu?
Masuk akal juga jawaban mereka. Saya mikir jawaban itu sambil jalan naik tangga ke lantai 6. Nah, persis di depan pintu kantor, tiba-tiba saya dapat "bisikan" lain hehehe.
Maksudnya Pak, ada bisikan gaib gitu?
Ya ndak lah. Guyon. Saat itu terlintas kalau paradigma berpikir seperti tidak benar.
Mengapa tidak benar?
Sederhana saja. Kalau mahasiswa sampai copy paste dalam mengerjakan tugas, ada dua kemungkinan penyebabnya. Satu, semua mahasiswa itu hafal dan bahkan paham 'track record' masing-masing dosen. Bapak ini, misalnya. Kalau memberi tugas dikoreksi dengan teliti dan bahkan diberi masukan apa yang perlu direvisi. Sedangkan ibu itu, sebagai contoh, tidak pernah dibaca; hanya dilihat ketebalan jawaban saja. Jadi wajar kalau mahasiswa sampai berani copy paste.
Penyebab lain?
Penyebab kedua, tugasnya itu hanya "Low Order of Thinking Skill" (LOTS) saja. Seperti klipping. Tidak menuntut "High Order of Thinking Skill" (HOTS). Misalnya, ada soal untuk anak SD seperti ini. "Siapakah 3 Pahlawan Revolusi yang kamu ketahui!"
Ini pertanyaan LOTS saja. Karena hanya menuntut hafalan dan kriteria penilaiannya benar atau salah.
Lalu?
Lalu, beda kalau pertanyaannya, "Di antara 3 Pahlawan Revolusi berikut ini, menurut kalian, siapa yang paling kalian sukai?" Untuk bisa jawab pertanyaan ini, siswa harus tahu dan paham semua pahlawan revolusi yang disebut. Ini HOTS.
Bedanya dengan HOTS Pak?
Penjelasannya begini. Selain mereka harus menganalisis kelebihan dan kekurangan setiap pahlawan. Baru mereka membuat kesimpulan. Siapa yang paling ideal dan apa alasannya. Ini HOTS
Sejak kapan Anda meneliti LOTS dan HOTS itu?
Sebenarnya sejak 2006 saya sudah otak - atik LOTS dan HOTS yang kemudian populer saat Mendikbud-nya Pak Muhadjir Effendy di 2016/2017. Berarti 10-11 tahun kemudian. Sejak saat itu pula saya mencoba obrak-abrik dunia maya mencari tahu Model Pembelajaran Masa Depan itu seperti apa. Batasan masa depan saat itu ya 2020
Apa dari situ Anda menemukan model pembelajaran 2020 itu?
Benar. Setelah obrak abrik teori, akhirnya menemukan teori tentang Digital Native dan Digital Immigrant.
Seperti apa teori itu?
Begini. Digital Native itu anak milenial yang dengan teknologi, mereka tidak belajar karena memang sudah menjadi cara berpikir, belajar, dan hidup mereka. Sedangkan mereka yang lahir sebelum 90-an masuk kategori digital immigrant dengan pola pikir konvesional dan yang mencolok "gagap tehnologi."
Lantas apa yang bapak lakukan setelah menelusuri dan menemukan teori itu?
Mulai saat itu saya melakukan "operasi senyap". Targetnya dua sasaran utama dan 1 sasaran pendamping.
Apa sasarannya?
Sasaran utamanya adalah dengan menyusupkan ke Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum yang kebetulan di masa-masa itu saya mengampu 4-5 kelas paralel. Jadi setelah bahasan materi kurikulum yang berlaku saat itu, menyusuplah materi tentang Model Pembelajaran 2020.
Sederhananya seperti apa?
Misalnya nih. Tugas akhir mahasiswa mengembangkan Model Pembelajaran 2020 untuk Bahasa Inggris. Mereka secara berkelompok bisa memilih salah satu dari 4 keterampilan berbahasa: Listening, Speaking, Reading, atau Writing. Selain itu ada 3 pilihan komponen berbahasa: Grammar, Vocabulary, atau Phonology. Sasaran tembak kedua adalah dengan membuat "payung penelitian" tentang Digital Native dan Digital Immigrant melalui skripsi mahasiswa.
Apa Anda pernah melakukan riset sebelumnya?
Sebenarnya sejak 2002, saya sudah menginisiasi payung penelitian dalam membimbing skripsi mahasiswa yang kemudian diakui kebenarannya di 2015. Saat ini Jurusan Bahasa Inggris sedang mengurus berkas Akreditasi Jurusan. Salah satu pertanyaannya diminta jawab berapa penelitian skripsi yang dilakukan dengan sistem "payung penelitian."
Apa tidak ada pro kontra dengan model yang telah Anda bikin?
Ada sih. Saya hanya senyum-senyum saja karena saat menimbulkan pro kontra. Untungnya sebagai dosen paling senior di jurusan, teman-teman masih menghargai ke-tua-an saya sehingga tidak berkembang liar.
Lantas apa yang Anda lakukan setelah model pembelajaran 2020 itu berhasil diterapkan kala itu?
Supaya agak "terdengar" gerakan ini, beberapa tahun kemudian di 5 Kelas Pengembangan Kurikulum (kira-kira 200an mahasiswa) saya buatkan kaos dengan tema Digital Native. Mahasiswa hanya bayar 50% ongkos produksi bahkan sampe lulus ada juga mahasiswa yang tidak bayar. Mereka mengakui sendiri ketika sudah kerja.
Setelah era wabah Covid-19 ini ternyata teorinya dipakai dan kebetulan namanya juga Model Pembelajaran 2020, maka pakar pendidikan UMM Soeparto merasa bersyukur ternyata teori bisa benar-benar terjadi sesuai zamannya. Apalagi momennya tepat karena kebetulan 2020 ini diwajibkan ada PBM online. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |