Pendidikan

Mahasiswa UNY Teliti Budaya Toleransi Tepo Seliro

Minggu, 26 April 2020 - 13:35 | 211.84k
Tiga mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY teliti kearifan lokal “Tepo Seliro” sebagai bentuk toleransi di Yogyakarta. (FOTO: UNY for TIMES Indonesia)
Tiga mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY teliti kearifan lokal “Tepo Seliro” sebagai bentuk toleransi di Yogyakarta. (FOTO: UNY for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tiga mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) meneliti eksistensi budaya Yogyakarta “Tepo Seliro”. Budaya yang dekat dengan perilaku toleransi pada masyarakat Yogyakarta ini merupakan bagian dari kearifan lokal di tengah era globalisasi. Ketiga mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial UNY itu adalah Azwan, Arista Damayanti, dan Dian Fadillah.

Menurut Azwan, dalam Bahasa Indonesia, tepo seliro diartikan sebagai tenggang rasa. Namun, tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain. Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, tetapi juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya.

Advertisement

“Kota Yogyakarta yang pernah mendapat predikat city of tolerance merasakan penurunan sikap tepo seliro ini,” kata Azwan dalam siaran persnya kepada TIMES Indonesia, Sabtu (25/4/2020).

Azwan menambahkan, pihaknya sengaja meneliti tema ini bertujuan untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan tepo seliro pada masyarakat Yogyakarta.

“Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta dengan mewawancarai sejumlah narasumber. Diantaranya, masyarakat, abdi dalem, dosen dan mahasiswa,” terang Azwan.

Selain itu, Dian Fadillah menilai keberadaan tepo seliro hingga saat ini masih ada, sebagai budaya asli suku Jawa namun tidak dipungkiri bahwa keberadaan budaya tepo seliro sudah mulai terjadi pergeseran.

“Hal ini disebabkan arus perubahan zaman yang terjadi,” jelas Dian.

Ia menyayangkan keberadaan tepo seliro hanya banyak dikenal atau diimplementasikan oleh masyarakat pedesaan terlebih dikalangan orang dewasa dan usia lanjut. Sebab, budaya tepo seliro hanya diketahui oleh kalangan masyarakat tua.

“Seharusnya orang tua sebagai orang yang melahirkan, membesarkan dan selalu berada di samping anak-anak sudah sepantasnya mengajarkan dan menanamkan budaya tolerasi tepo seliro dalam kehidupan anak-anak sejak dini,” tutur Dian, mahasiswa UNY ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Yogyakarta

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES