Pendidikan

Penelitian Untag Surabaya: Warga Mampu Kendalikan Emosi Saat Pandemi

Minggu, 06 Desember 2020 - 22:40 | 93.05k
Poster hasil riset Dosen Untag Surabaya. (Foto: dok. Untag Surabaya)
Poster hasil riset Dosen Untag Surabaya. (Foto: dok. Untag Surabaya)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Tahun 2020 telah berada di ujung bulannya. Tahun 2020 menjadi tahun yang tak biasa dan penuh dengan pembelajaran. Kehadiran Covid-19 menjadikan banyak negara di dunia mengalami masa krisis. Universitas 17 Agustus 1945 atau Untag Surabaya meneliti kondisi masyarakat saat pandemi.

Tak hanya di sektor kesehatan, dampak dari pandemi Covid-19 juga merambah pada sektor perekonomian, sosial pendidikan bahkan sektor kesehatan psikologis masyarakat.

Advertisement

Dengan adanya aturan physical distancing atau pembatasan fisik di dalam kebijakan new normal, kota Surabaya sebagai kota dagang dan industri juga merasakan dampak yang cukup signifikan pada penurunan sektor ekonomi selama masa pandemi Covid-19.

poster.jpg

Dari permasalahan tersebut, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya mengadakan riset yang dilaksanakan oleh dosen Untag, Eko April Ariyanto, M.Psi., Sayidah Aulia ul Haque, M.Psi., Psikolog Ricky Alejandro Martin, Muchammad Rizal, dan Amalia Eka Kurnia Sari tentang bagaimana kemampuan warga Surabaya dalam bertahan menghadapi masalah dari dampak adanya kebijakan new normal selama masa pandemic Covid-19.

Kemampuan bertahan atau resilien warga Surabaya kali ini ditinjau dari status sosial ekonomi warga Surabaya. Status sosial ekonomi memiliki arti suatu keadaan yang menunjukkan pada kemampuan finansial keluarga dan kelengkapan material yang dimiliki, dimana keadaan ini bertaraf baik, cukup dan kurang.

Menurut ketua riset, Sayidah Aulia ul Haque, M.Psi., status sosial ekonomi ini dibagi menjadi 3 kelompok masyarakat, yaitu masyarakat dengan status sosial rendah, masyarakat dengan status sosial sedang dan masyarakat dengan status sosial tinggi.

"Hasil riset yang didapatkan menyatakan bahwa kelompok masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah selama penerapan kebijakan new normal ini berpotensi menyebabkan rentan memiliki ketahanan psikologis yang relatif rendah. Potensi yang mereka miliki nyatanya tidak benar-benar mampu menghindarkan mereka dari berbagai tekanan lingkungan yang ada," jelasnya, Minggu (6/12/2020).

Kelompok tersebut tidak memiliki kemampuan bertahan yang baik karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup, keterampilan yang baik, akses yang terbuka serta lemahnya kemampuan mereka mengelola diri menjadi lebih baik.

"Sedangkan untuk kelompok masyarakat dengan status ekonomi tinggi tampaknya juga kurang mampu bertahan di tengan pandemi Covid. Meskipun sebenarnya mereka memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat yang berada pada status sosial ekonomi rendah," terang Aulia.

Masyarakat pada lapisan sosial atas ketika terjadi pandemi lebih merasakan dampak ekonomi karena berhentinya berbagai bisnis yang dijalani. Selain itu, pola hidup yang terbiasa membuat mereka mudah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, selama masa pandemi tidak dapat mereka lakukan meski mereka memiliki uang yang cukup, seperti layanan kesehatan agar terbebas Covid-19, berwisata, atau berkumpul dengan teman-teman dengan lebih leluasa seperti sebelum pandemi.

Kelompok masyarakat yang paling mampu bertahan adalah lapisan masyarakat yang berada di level sedang. Mereka cenderung lebih fleksibel menghadapi tekanan-tekanan selama masa pandemi. Kelompok ini rata-rata adalah para pekerja, berpendidikan tinggi serta ada di usia produktif.

"Ketika terjadi pandemi, masyarakat di kelompok ini lebih memiliki keterbukaan pada berbagai informasi, lebih mudah menyesuaikan diri serta mampu mengelola diri untuk menghindar dari tekanan-tekanan lingkungan," ujarnya.

Aulia menjelaskan dalam menghadapi suatu masalah atau masa krisis, bukan hanya resiliensi saja yang dibutuhkan tetapi cara atau strategi individu dalam menghadapi masalah dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya juga harus diperhatikan, strategi itu disebut dengan istilah strategi coping.

Strategi coping merupakan upaya mengelola keadaan dan mendorong usaha untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan seseorang, dan mencari cara untuk menguasai dan mengatasi stress.

"Strategi coping ini dibedakan menjadi dua macam yaitu problem focus coping (PFC) dan emotional focus coping (EFC). PFC adalah strategi untuk menghadapi masalah secara langsung melalui tindakan nyata yang ditunjukan untuk menghilangkan atau mengubah sumber-sumber stress atau masalah," ungkapnya.

Sehingga kata Aulia, ketika individu melakukan tindakan nyata secara langsung dalam menyelesaikan masalahnya, maka dapat menghasilkan output yang lebih efektif. Sedangkan EFC adalah strategi untuk meredam emosi individu yang diakibatkan oleh stressor (sumber stress), tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stress secara langsung. Individu yang menggunakan strategi ini lebih berusah untuk mengatur perasaannya serta sikap positif dalam menghadapi masalah.

Dari kedua strategi tersebut Dosen Untag itu menjelaskan, dalam meningkatkan resilien warga Surabaya, strategi PFC tidak banyak memberikan kontribusi pada ketahanan warga Surabaya. Hal ini dapat disebabkan karena strategi EFC yang menjadi lebih efektif untuk diaplikasikan kepada warga Surabaya dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Hal ini dikarenakan ciri khas warga Surabaya yang terbuka, berjiwa berani, optimis dan terus terang dalam mengekpresikan perasaan sehingga mampu mengendalikan kondisi emosional dan perasaan mereka.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES