Bermain dan Belajar Permainan Tradisional di Kampung Budak Capetang

TIMESINDONESIA, TASIKMALAYA – Jauh dari riuh suara knalpot di jalan raya, terdengar suara puluhan anak usia Sekolah Dasar. Sebagian dari mereka, ada yang sedang berenang, memasak telur dadar mini di atas kompor gas, beberapa anak lainnya berlarian di wahana edukasi Kampung Ramah Anak atau dikenal dengan Kampung Budak Capetang. Wahana ini berlokasi di Babakan Kalangsari RW 03, Kelurahan Kersamenak, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Begitu sang pengasuh, Wini Sofia Dewi (35) datang, tanpa komando, anak-anak mengerubunginya. Anak laki-laki membawa pentungan masing-masing, sementara anak perempuan hanya berbaris di hadapan mereka. Lalu, seorang anak laki-laki dengan lantang mengajak semua temannya untuk memulai permainan 'kaulinan Sunda'.
Advertisement
Nono Daraono membimbing anak mengenal seni tradisional sunda di Kampung Budak Capetang (KBC) Kota Tasikmalaya (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Di antaranya memainkan 'oray-orayan' dengan lirik kawih "oray-orayan, luar leor ka sawah. Entong ka sawah, parena keur sedeng beukah..." sambil membentuk formasi yang menyerupai liukan-liukan ular sesungguhnya. Tak lama, Wini berteriak dengan lantang menyerukan agar anak-anak mengubah formasi.
Dengan sigap dan kompak, anak-anak mengubah formasi. Anak laki-laki membawa pentungan, berhadapan dengan anak-anak perempuan yang menari diiringi lagu "Trang-trang Kolentrang" yang mereka nyanyikan bersama. Saat ada anak pempuan yang terlihat tidak serius menari, dengan suara seraknya Wini berseru. "Yang bagus kuda-kudanya, lenturkan badan dan tangannya.”
Di tengah keseruan anak-anak yang dibimbing Wini, datang Nono Darsono (68) yang berpakaian serba hitam dipadu topi berwarna merah. Ia kemudian mengeluarkan alat musik kecapi yang terlihat hitam legam. Lelaki beruban itu menuju sebuah sudut wahana edukasi Kampung Ramah Anak, lalu duduk bersila menghadap kecapi.
Setelah Nono duduk dengan kecapinya, anak-anak turut duduk di dekatnya dengan membentuk lingkaran. Jemari Nono mulai memetik dawai-dawai kecapi yang menghasilkan suara khas yang nyaring. Dentingan kecapi yang dipetik Nono itu mengiringgi anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu khas Sunda lawas yang kerap dinyanyikan bersama dalam sebuah arena permainan.
Di wahana edukasi ramah anak tersebut, setiap hari dijadikan tempat mengisi luang anak-anak yang bersedia mengikuti arena belajar sambil bermain. Sebelum bermain, anak-anak selalu diarahkan untuk membaca buku pelajaran dan bacaan lainnya.
Wahana tersebut didirikan atas gagasan Nono dengan kakaknya Uu Ruhiat dan Maman Rukman yang merasa khawatir melihat anak-anak yang aktivitas kesehariannya dihabiskan dengan bermain gawai. Nono mengungkapkan, di kampungnya itu anak-anak sebagian besar tidak terawasi sepenuhnya oleh orang tua masing-masing.
"Orang tua mereka semuanya bekerja, ada yang di kantor, ada yang buruh di konveksi. Makanya, kami arahkan untuk bermain sambil belajar di wahana 'Kampung Budak Capetang'. Mereka diajari, permainan-permainan tradisional yang hampir punah," ungkap Nono kepada TIMES Indonesia, Kamis (25/2/2021).
Kampung Budak Capetang atau KBC itu sebut Nono, dibangun di atas lahan seluas 300 bata atau 4.200 meter persegi. Lahan yang digunakan tersebut merupakan milik keluarganya yang dibangun secara swadaya. Anak-anak yang memanfaatkan wahana tersebut berasal lingkungan rukun tetangga di wilayah RW 03 Babakan Kalangsari.
Wahana Kampung Ramah Anak di Kampung Budak Capetang (KBC), Babakan Kalangsari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
"Biasanya sampai 49 anak yang belajar dan bermain di sini. Kepengurusan KBC mempunyai arti kampung yang memiliki anak-anak yang cerdik, cakap, inovatif, dan penuh inspirasi," harapnya.
Untuk pengasuh, pengurus KBC memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan tersebut seperti guru honorer yang mengajar di madrasah diniyah seperti Wini Sofia Dewi. Ia hampir setiap hari mengajak bermain anak-anak dengan mengenalkan lagu tradisional Sunda yang dikemas dengan permainan berkelompok untuk menumbuhkan budaya gotong-royong pada anak.
Selain lagu Sunda, di KBC juga anak-anak dikenalkan dengan alat musik kecapi oleh Nono Darsono lengkap dengan beberapa kawih tradisional.
Ketua Kampung Budak Capetang, Iwan Herdiawan mengatakan, pihaknya bersama warga sengaja membangun wahana tersebut secara swadaya atas latar belakang kepedulian kepada generasi penerus agar tidak terkena dampak negatif perkembangan teknologi.
"Pengurus lingkungan seperti RT bukan hanya mengurusi surat pindah, pengantar pembuatan KTP dan KK. Kami juga dituntut peduli mencari solusi nyata untuk menangkal dampak negatif penggunaan hp (telepon pintar) yang berlebihan oleh anak-anak," ungkap Iwan yang juga sebagai Sekretaris RW 03 Babakan Kalangsari.
Selain itu, KBC juga bertujuan untuk membantu melestarikan kebudayaan dan 'kaulinan barudak' alias permainan anak tradisional yang kian hari semakin ditinggalkan dan dilupakan karena para orang tua tidak banyak mengenalkan permainan tersebut kepada anaknya.
Setiap hari Minggu, para pengurus Kampung Budak Capetang (KBC) mengabsen anak-anak melalui RT-nya untuk datang ke wahana ini. Anak-anak juga diawasi dengan ketat oleh para pengurus untuk tidak berkata kotor selama di wahana KBC. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |