Sukidi: Visi Baru Islam Penting Dijiwai untuk Kemajuan Umat dan Bangsa

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pemikir Kebinekaan, Sukidi Mulyadi, Ph.D pada Kuliah Umum XIII untuk mahasiswa Program Doktor, Magister dan Profesi UII, mengatakan bahwa pentingnya visi baru Islam sebagai panduan untuk reformasi Islam, sekaligus memberi arah yang jelas kepada umat Islam dalam menjalani kehidupan di negeri yang mejemuk seperti Indonesia ini.
Visi Baru Islam menurut Sukidi dalam kuliah umum bertema Visi Baru Islam untuk Indonesia Maju yang diadakan secara daring, Sabtu, (30/10/2021) yaitu Islam sebagai Agama Kebhinekaan, Islam sebagai Agama Persatuan, Islam sebagai Agama Kesetaraan, Islam sebagai Agama Kebebasan, dan Islam sebagai Agama Kemanusiaan.
Advertisement
Ia menilai lima visi tersebut sangat penting untuk disampaikan ke setiap sanubari umat Islam agar menjadi kesadaran yang menjiwai setiap tingkah laku seorang Muslim.
Visi Pertama, Islam sebagai Agama Kebhinekaan, merupakan refleksi dari pesan Allah dalam surat Al-Hujurat: 13 yang berbunyi: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Gagasan ini lantas menjadi inspirasi para pendiri bangsa untuk merumuskan dasar negara yang menjunjung tinggi kebhinekaan. Prinsip ini selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berasal dari Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa karya Empu Tantular dalam Kitab Kakawin Sutasoma.
“Motto ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia diikat oleh satu kesatuan, sekaligus menjadi rujukan historis tentang pentingnya warga bangsa ini menjaga persatuan di tengah kebhinekaan,” katanya dalam siaran pers kepada TIMES Indonesia, Minggu (31/10/2021)
Kebhinekaan mensyaratkan keterlibatan aktif setiap warga negara untuk merawat dan menegakkan kemajemukan. Sebab, jika warga negara berdiam diri, abai, dan tidak mempedulikan kondisi bangsa, keragaman hanya akan berakhir ke arah kutukan kebinekaan (the curse of diversity) yang membawa bangsa ini kepada perpecahan dan polarisasi.
Visi Kedua, Islam sebagai Agama Persatuan adalah gagasan yang harus digelorakan kembali, sebab umat Islam memiliki prasangka negatif yang kerap disiarkan melalui media sosial. Sukidi mendorong umat Islam Indonesia agar belajar dari kegagalan sejumlah negara yang didera perpecahan dan perumusuhan akibat hoaks dan ujaran kebencian.
“Divided society (perpecahan) sama dengan semakin menjauhkan kita dari cita-cita Islam, jauh dari nilai-nilai luhur Islam. Karena itu menegakkan persatuan dalam kebhinekaan bukan hanya komitmen kebangsaan, melainkan komitmen keislaman segenap umat Islam di negeri ini. Perpecahan merupakan bentuk dari pengkhianatan terhadap cita-cita keislaman dan sekaligus kebangsaan,” ungkapnya
Visi Ketiga, Islam sebagai Agama Kesetaraan penting untuk ditegaskan ulang, sebab fakta sehari-hari menunjukkan bahwa kita sering diperlakukan tidak setara atau kerap kita diperlakukan diskriminatif. Visi ini merupakan implementasi dari pesan Al-Quran bahwa Tuhan tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan warna kulit, agama, ras, atau budaya, melainkan ditentukan oleh kedekatan dan kualitas takwanya.
“Karena itu, kita harus bersikap rendah hati untuk tidak menghakimi yang lain sebagai sesat. Sikap kerendahatian ini penting ditanamkan sebab dalam sikap tersebut terdapat kemungkinan bahwa orang lain benar dan kita keliru, begitu juga sebaliknya,” terang Sukidi
Visi Keempat, Islam sebagai Agama Kebebasan. Visi ini lantaran menyaksikan begitu banyak keprihatinan sebagai akibat dari absennya kesadaran umat akan kebebasan berkeyakinan. Padahal, jika mau menelisik lebih dalam, Islam adalah agama yang memberikan kebebasan penuh kepada setiap umat manusia untuk beriman atau tidak beriman sekalipun. Dengan kata lain, Allah tidak pernah memaksa hambanya untuk beriman dan berpaling dari-Nya.
Nah, penting untuk ditegaskan bahwa Indonesia didirikan para pendiri bangsa yang menyadari betul pentingnya kebebasan, bukan hanya terbebas dari penjajahan, melainkan juga kebebasan berkeyakinan. Fakta ini menunjukkan visi yang brilian bahwa negara Indonesia dibangun di atas satu fondasi kebebasan, yakni kebebasan sebagai jati diri bangsa.
“Siapapun yang mempersekusi, melakukan tindakan intoleransi, menyerang rumah ibadah orang lain, sama artinya melakukan dua pengkhianantan sekaligus, yakni mengkhianati titah Tuhan dan mengkhianati komitmen kebangsaan,” tutur Doktor Kajian Islam lulusan Harvard University Amerika Serikat pada 2009 lalu.
Visi kelima, Islam sebagai Agama Kemanusiaan. Gagasan ini penting dikumandangkan sebab umat Islam kini tengah menghadapi semacam krisis kemanusiaan. Bagi Sukidi, kemanusiaan harus menjadi komitmen bersama sebab setiap individu wajib memberikan respek terhadap harkat dan martabat manusia.
Sekalipun kita berbeda secara agama, suku, etnis, tetapi kita diikat oleh satu visi baru yakni kemanusiaan bahwa kemanusiaan adalah satu dan setara. Penegasan Islam sebagai Agama Kemanusiaan merupakan komitmen dari sebuah prinsip yang sangat masyhur, bahwa ‘sebaik-baiknya manusia adalah yang dapat memberikan manfaat kepada yang lain’.
Sukidi menambahkan, jika umat menjiwai spirit Islam di atas, ia meyakini bangsa Indonesia akan bergerak maju dan memberikan kemakmuran bagi warga negaranya. “Kita harus berbenah mulai hari ini agar kebanggaan sebagai umat terbesar berbanding lurus dengan kemajuan umat dan bangsa,” tegasnya
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T M.Sc Ph.D mengemukakan bahwa permusuhan atas nama agama, apapun agamanya, tidak dapat diterima. Nilai-nilai perenial agama justru seharusnya, membawa manusia kepada kebaikan, sikap saling menghormati, dan perdamaian.
“Jika ada sebagian kecil pemeluk agama yang cenderung kepada permusuhan itu adalah fakta sosial, dan bisa terjadi di semua agama. Tetapi, itu bukan dasar yang valid untuk melakukan generalisasi yang membabi buta,” papar Fathul, dalam kuliah umum UII bersama Pemikir Kebhinekaan sekaligus Cendekiawan Muhammadiyah, Sukidi. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |